Ch. 9: Soal Rencana dan Setelahnya

46 20 321
                                    

Wordcount: 1.461 words

"Oke, karna sekarang udah lengkap, langsung aja kita bahas rencana itu," ucap Aiden dengan senyum lebar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Oke, karna sekarang udah lengkap, langsung aja kita bahas rencana itu," ucap Aiden dengan senyum lebar.

Pembahasan dibuka dengan pertanyaan dari Marlo. "Nanti siapa yang menyusup, siapa yang siaga di luar?"

"Rencanaku sih, yang menyusup sampai ke dalam itu aku, Feli, sama Julian. Erna cukup antar sampai ke jalan masuk terus pergi nyiapin pelarian kita." Aiden menoleh pada cowok yang duduk di atas sandaran tangan sofa. "Marlo, kaubisa nyetir, kan?"

Empat pasang mata langsung tertuju pada si pemilik nama. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangan. Telinganya sedikit merah. "Bisa kok. Tapi ... mobil siapa yang kita pakai?" Dia melirik Aiden.

Seketika jantungku mendobrak tulang rusuk. Sekujur tubuhku menegang. Mataku juga pasti memelotot.

"H-hei, kamu kenapa?!" Erna sontak merangkulku. Tangan satunya menyentuh tanganku yang gemetaran.

Perlahan aku kembali tenang setelah berhasil meyakinkan diri sendiri. Tidak akan ada kecelakaan mobil. Tidak akan ada kecelakaan mobil. Kami semua akan kembali dengan selamat bersama Theo.

Erna menarik kedua tangannya begitu melihat aku sudah tenang, tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya.

Ketakutan itu tidak menghilang. Aku masih dihantui bayang-bayang kecelakaan itu. Berbagai skenario terputar di benakku dalam waktu singkat. Skenario kejadian terburuk yang mungkin saja menjadi kenyataan.

Bagaimana kalau aku kehilangan ... lagi? Aku memang belum terlalu dekat dengan mereka ini, tetapi kehilangan tetap kehilangan. Rasanya sakit. Itu akan membuatku merasa seperti orang paling menyedihkan di dunia.

Di antara tatapan khawatir dan lega, ada satu tatapan yang membuatku merasa dongkol. Itu tatapan Julian. Dilihat sekilas saja aku langsung tahu. Dia sedang mengataiku dalam hati.

"Menyedihkan," ucap Julian dengan tatapan sinis yang jelas tertuju padaku, bukan pada Erna yang duduk di sampingku.

Sepertinya dia tidak sanggup menahan ucapan itu dalam hati. Aku tidak marah. Kenapa? Karena apa yang dia katakan itu benar. Aku memang menyedihkan.

"Perjalanan dengan mobil itu nggak bisa dihindari. Jalan raya juga nggak bisa dihindari." Julian berdecak, mengalihkan pandangan dariku. "Aku tahu kaupunya trauma tapi kau nggak bisa menghindar selamanya."

Semuanya bungkam selama beberapa detik. Aku termenung, sedangkan tiga lainnya menatap Julian cengo.

"Apaan kalian liat-liat?"

Aiden menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. Tatapannya kembali tertuju pada Marlo. "Emangnya nggak bisa pakai mobil orang tuamu? Kami di sini gak ada yang punya mobil."

"Bisa, tapi gimana kalau orang-orang sana sempat ambil foto atau hafal plat mobilnya? Bisa-bisa orang tuaku kena masalah."

"Cabut aja platnya," celetuk Aiden terus terkikik. Tentu saja celetukannya mengundang pelototan dari kami semua.

Eccentric Teens: New Reality [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang