Wordcount: 1.671 words
Aku lelah. Sangat lelah. Namun, mulutku tertutup rapat. Tak ingin memicu pertengkaran sekecil apa pun. Semuanya pasti lelah. Malam hari harusnya istirahat, tetapi lihatlah kami, malah berkeliaran di tengah hutan tanpa arah dan tujuan supaya tidak ditangkap organisasi gila.
"Kita belum makan malam, ya," celetuk Aiden lesu.
Langsung Julian menyahut, "Di tas ada banyak makanan. Makan aja itu, gak usah ngeluh."
"Makanan beku. Nanti sakit perut," ucapku cemberut, memegang erat tali ransel. "Aku sih gapapa, tapi gak mungkin kubiarin adekku makan yang begitu."
"Pilih sakit perut atau mati kelaparan?" tanya Julian tanpa menoleh. Mungkin dia tidak ingin tenaganya terkuras lebih banyak hanya dengan bertukar pandang denganku. "Lagian dia belum sadar, tuh."
Sebelum aku sempat membalasnya, seseorang meraih pundakku. Terperanjat kaget aku menoleh seraya melangkah menjauh. Mataku yang membelalak kembali normal kala mendapati Theo yang baru saja menepuk pundakku.
Dia masih dibopong Marlo. Dengan mata sayu menatapku. "Gapapa, Kak," katanya. Theo membenamkan wajah pada punggung Marlo, membuat cowok itu bergidik geli. "Asal makan gapapa. Aku laper ...."
"Oke, gimana kalau kita istirahat makan dulu?" usul Aiden memperlambat jalan. Dia menyejajarkan langkah denganku. "Gimana, Yan?"
Julian, Ian, sampai Yan. Berani sekali Aiden menyingkat nama cowok pemarah itu, padahal jelas-jelas dia tidak suka namanya disingkat-singkat. Atau karena mereka sudah lama berteman? Entahlah.
Diam sejenak baru Julian menjawab, "Kita cari tempat aman dulu." Kurasa dia butuh waktu untuk menyadari auman perutnya.
"Hmn ... mungkin di dekat sini ada gubuk. Biasanya kan ada orang-orang yang nanam sayur terus bikin gubuk atau rumah kecil buat istirahat," ujar Aiden celingak-celinguk, berharap menemukan sesuatu di antara pepohonan yang diselimuti kegelapan.
Sementara mereka yang barangkali bisa melihat dengan jelas di malam hari mencari penampakan gubuk, pandanganku jatuh pada bocah tadi. Zenia namanya. Sejak keluar dari vila, Julian tidak pernah melepas tangannya.
Supaya dia tidak macam-macam, katanya. Aku setuju. Jujur, aku masih takut bocah itu akan tiba-tiba dirasuki atau menyerang kami dengan kemauannya sendiri.
Kalau itu terjadi sekarang, di tengah hutan, dalam gelapnya malam, celakalah kami. Ditambah kami sedang kelelahan dan kelaparan. Sungguh, ini kesempatan bagus untuk musuh menyerang. Bukan berarti aku berharap kami diserang musuh. Aku ingin istirahat makan.
"Di sana," kata Julian memecah hening. Tangan kirinya terangkat, menunjuk siluet yang terhalang pohon-pohon pisang.
Jeritan bahagia kutahan dalam hati. Wajah yang semula sangat kusam jadi agak cerah. Akhirnya kedua kakiku ini bisa istirahat dan perutku bisa diisi meski dengan makanan beku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccentric Teens: New Reality [✔]
AventuraBeruntung atau sial. Felisia tidak paham. Orang tuanya tewas dalam kecelakaan dan adiknya hilang tanpa jejak. Hanya dia yang selamat. Tinggal di rumah pamannya, Felisia memulai kehidupan baru di kota. Sekolah baru, teman baru, juga masalah baru. Tak...