Wordcount: 1.710 words
"Oke, hari ini jatah Riel cuci piring!" Natha bangkit dari duduk, merangkul bahuku. Beralih pada teman-temanku, dia berkata, "Temen kalian aku pinjem dulu, ya. Da-dah!"
Dia menyeretku keluar tanpa ba-bi-bu. Aku bahkan tidak sempat melihat reaksi Theo dan yang lain.
"Nah, sekarang kita cari tempat yang tenang," Natha menarikku berjalan memutar ke belakang rumah.
"Tempat yang tenang?" tanyaku spontan. Buru-buru aku menyelaraskan langkah dengannya. Natha hanya mengangguk dengan pandangan lurus ke depan.
Aku mengikuti arah pandangnya yang jatuh pada danau nan sepi. Sempat kulihat sekilas dari atas bukit ketika kami baru tiba kemarin hari. Tidak kusangka danaunya seindah ini.
Di sebelah kanan terdapat dermaga kecil dengan dua bangku pendek yang terbuat dari kayu. Di permukaan danau tidak terdapat angsa atau bebek, tetapi ada daun teratai yang tersebar jarang-jarang. Beberapa sudah tumbuh bunganya, berwarna merah muda cerah.
Sungguh, pemandangan ini mirip dengan yang ada dalam buku cerita bergambar. Tidak kusangka aku bisa melihatnya secara langsung.
Kami berjalan melewati dermaga kecil yang cukup lama kuperhatikan. Natha menuntunku ke suatu area kecil di antara hamparan rumput hijau yang ditumbuhi bunga-bunga mungil berwarna kuning dan putih. Terlalu kecil sampai aku tidak menyadarinya dari kejauhan.
Natha melepas pegangan, duduk di atas area tersebut, lantas menepuk-nepuk tempat kosong di hadapannya. "Duduk sini."
Aku menurut saja dan duduk bersila di hadapannya. Rerumputan di bawah bokongku terasa lembab. Ujung-ujung rumput menggelitik paha bawahku yang tidak sampai dibalut celana.
"Kamu bisa liat ini nggak?" tanya Natha, menarik perhatianku kembali padanya yang sedang menangkupkan tangan di depan dada.
Kepalaku terteleng dengan sendirinya dan aku menggeleng. "Nggak. Tanganmu kosong."
"Begitu, ya." Dia mengembuskan napas gusar, kemudian menyatukan kedua telapak tangan.
Mendadak aku tersentak, merasakan sesuatu seperti embusan angin hangat menerpa wajahku. Aku pun mematung dalam posisi kaku untuk beberapa detik. Mengerjap-ngerjap, aku bertanya, "Barusan itu ... apa?"
Netra Natha seketika berbinar kala ia mencondongkan badannya ke depan. "Apa? Apa? Kamu ngerasain sesuatu barusan?"
Aku butuh waktu sebentar, memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan sensasi yang baru saja kurasakan. "Kayak ada sesuatu yang ... pecah? Di tanganmu."
Tangan kuangkat ke depan dada seperti sedang memegang sebuah bola basket, lalu mempertemukan kedua telapak tanganku dengan gelagat kesusahan. "Kayak balon atau bola pecah, terus anginnya kena muka aku. Anginnya kerasa ... anget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccentric Teens: New Reality [✔]
AventuraBeruntung atau sial. Felisia tidak paham. Orang tuanya tewas dalam kecelakaan dan adiknya hilang tanpa jejak. Hanya dia yang selamat. Tinggal di rumah pamannya, Felisia memulai kehidupan baru di kota. Sekolah baru, teman baru, juga masalah baru. Tak...