Ch. 22: Diskusi Tidak Pernah Berjalan Lancar

29 10 10
                                    

Wordcount: 1.932 words

Aku dan Julian tidak akan pernah akur. Itu final.

Tiap kali aku terjun ke dalam pembahasan bersama yang lain, dia selalu menyela atau mengolok-olokku. Dengan kata lain, dia selalu saja memancing keributan.

Pembahasan penting tadi tertunda karena cowok itu. Sekarang ini semuanya sedang menyendiri, mendinginkan kepala dan hati. Marlo yang mengusulkan ini. Tindakan yang tepat menurutku.

Kira-kira sudah dua jam berlalu dan belum ada yang mengajak berkumpul. Aku ingin kegilaan ini segera dibahas dan diselesaikan, tetapi aku sendiri merasa belum siap. Selain belum siap, ada pula perasaan buruk lain yang hinggap dalam hatiku.

Meski sempat bersikeras, sekarang aku merasa pesan-pesan itu bukan tipuan atau candaan belaka. Siapa juga yang mau bertindak sejauh ini hanya untuk mengisengi sekumpulan remaja yang melarikan diri dari rumah.

Banyak sekali pertanyaan dan misteri. Alih-alih jawaban, yang kudapatkan justru tepukan di bahu. Sontak aku menoleh ke belakang. Agak terkejut, tetapi sebisa mungkin aku memasang ekspresi biasa. "Oh, Theo. Ada apaan?"

"Disuruh panggil Kakak." Theo menunjuk ke arah ruang tengah berada. "Yang lain udah pada ngumpul."

"Akhirnya!" seruku terus mengekori Theo yang beranjak pergi tanpa basa-basi. Aku pun bertanya, "Ada pesan lagi nggak dari radionya?"

Theo menggeleng. "Nggak."

Ya, dingin. Namun, ini sudah sedikit lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya. Sekarang kami lebih banyak berinteraksi berkat situasi, lingkungan, dan orang-orang sekitar.

Masuk lagi ke ruang tengah, atmosfernya sudah tidak seberat tadi. Sekarang rasanya lebih santai dan tenang, walau ada seseorang yang wajahnya tidak pernah kelihatan tenang.

Lagi-lagi aku dan Theo duduk bersebelahan. Posisi kami tidak berubah dari yang tadi, seolah-olah kami sudah mengeklaim tempat masing-masing.

"Jadi," ucap Aiden membuka pembicaraan, "kita semua yakin Erna terlibat dengan ini, kan?" Kami menjawab dengan anggukan. Dia pun lanjut berkata, "Tadi pas ditanyain langsung, dia ngelak kayak biasa. Tapi ...." Anak itu menggantung kalimatnya sambil mengukir seringai.

Julian mendengkus seraya memutar bola mata. "Pas radionya bunyi, Erna langsung ngilang." Wajahnya jadi dua kali lipat lebih menyebalkan di mataku. Ucapannya tadi masih membuatku kesal.

"Itu kebiasaannya kalau dikagetin." Marlo mengusap dagu sementara tangan satunya terlipat di depan dada. "Tapi dia gak balik lagi, berarti dia langsung pergi ke suatu tempat buat ngelakuin sesuatu."

"Nanya ke orang yang nyuruh dia, misalnya." Aiden menambahkan, masih dengan seringai manis. "Siapa tahu dia emang kaget. Kaget banget sampe langsung pergi ke pemilik radio ini buat mempertanyakan kenapa bisa radio ini ngeluarin suara Riano yang udah lama mati."

Eccentric Teens: New Reality [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang