Beruntung atau sial. Felisia tidak paham.
Orang tuanya tewas dalam kecelakaan dan adiknya hilang tanpa jejak. Hanya dia yang selamat.
Tinggal di rumah pamannya, Felisia memulai kehidupan baru di kota. Sekolah baru, teman baru, juga masalah baru.
Tak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cewek bodoh ini perlu tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Saat aku sedang menyendiri, tidak tahu harus bercerita pada siapa, seorang cowok yang bisa membaca pikiran muncul. Tanpa menyapa terlebih dahulu, dia langsung duduk di sampingku.
Kami duduk di atas papan yang menjorok ke danau, kira-kira sepanjang empat sampai lima meter. Ada jarak yang bisa ditempati satu orang lagi di antara kami.
"Mau cerita?" tanya Marlo.
Refleks aku mencebik. "Yang ngintip tadi itu kamu, kan?"
Marlo cengar-cengir, mengalihkan pandangan sambil mengelus tengkuk. "Ya ... kebetulan tadi aku lagi di ruang tengah bareng Kak Will sama Pak Ito."
"Pas aku teriak tadi, kedengeran sampe sana?"
Cowok di sampingku mengangguk, lantas memperagakan gerak mencubit. "Dikit."
Sejenak aku termenung. Kedua kakiku ujungnya tercelup ke dalam danau, berayun-ayun pelan membuat air beriak. Refleksi kami di permukaannya jadi terlihat aneh.
Marlo sudah sering menjadi tempatku untuk bercerita, tetapi kadang aku masih merasa tidak enak. Soalnya aku ini merepotkan, apalagi kalau topiknya tentang seseorang.
"Nggak ngerepotin, kok. Emangnya Aiden kenapa?" tanya Marlo yang lagi-lagi membaca pikiranku. Setelah cukup lama berteman dengannya, aku mulai terbiasa sampai tidak begitu sering memedulikan hal itu.
Aku menghela napas dan mengembuskannya dengan gusar. Masih mengayun-ayunkan kaki, aku menelengkan kepala sambil memperhatikan riak air. "Katanya dia mau nyerah aja."
Marlo menoleh. Sebelah alisnya terangkat. "Soal balas dendam sama BPE?" Aku mengangguk, lalu dia melanjutkan, "Bukannya itu bagus? Bergerak karena didorong dendam itu nggak bagus."
Aku hendak menjawab dengan segera; mulutku sudah terbuka. Namun, kukatupkan lagi dan mengambil jeda sebentar. Satu menit berlalu barulah aku menyahut, "Iya. Aku sendiri nggak ngerti kenapa aku marah."
Embusan angin hangat menerpa, membuat rambutku menari-nari di udara, mengeringkannya. Di sampingku, Marlo melepas sendalnya, ikut mencelupkan ujung kaki ke dalam air danau.
"Mungkin kamu marah karena dia bilang dia 'nyerah'," ujar Marlo.
Mendengar kata itu, rasa kesal kembali berkobar. "Habisnya, kita udah sejauh ini terus dia bilang mau nyerah. Aku nggak pernah mikir dia bakal nyerah karna dikalahin beberapa kali sama musuh. Kalah itu kan wajar, bukan berarti kita harus nyerah."
Aku menendang air danau yang tak bersalah sambil berseru, "Sebel! Memangnya mau apa kalau nyerah!?" Cipratan air tak dapat mendinginkan hati. Rasanya ingin bercebur saja, siapa tahu bisa langsung dingin. Akan tetapi, tatapan Marlo langsung membuatku mengurungkan niat.