Beruntung atau sial. Felisia tidak paham.
Orang tuanya tewas dalam kecelakaan dan adiknya hilang tanpa jejak. Hanya dia yang selamat.
Tinggal di rumah pamannya, Felisia memulai kehidupan baru di kota. Sekolah baru, teman baru, juga masalah baru.
Tak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Suaranya ...."
Julian bangkit berdiri, segera menyambar radio dari tangan Marlo. "Ini pasti prank atau jebakan!"
Radio tersebut Julian angkat tinggi-tinggi, siap dibanting ke lantai. Marlo tidak tinggal diam. Ia berusaha merebut benda itu meski tenaganya tidak seberapa. Dengan mudah dia dijatuhkan oleh Julian.
Julian mengayunkan tangan seraya melepas radio tersebut. Namun, bukannya jatuh terus hancur berkeping-keping, radio itu justru memelesat ke tangan Aiden. Sayang sekali gagal ditangkap karena momentum. Benda kotak itu menghantam wajah Aiden, kemudian jatuh ke atas sofa.
"Apa-apaan kalian?!" Tatapan Julian beralih pada Aiden. Tatapan nyalang. Tampaknya dia sudah siap untuk mengubah kami semua menjadi manusia panggang.
Sambil memegangi dada yang disikut Julian, Marlo balas berseru, "Kau yang apa-apaan! Radio itu bisa jadi petunjuk penting! Jangan main banting karna emosi doang!"
Julian kembali menatap Marlo. Kerutan wajahnya makin kentara. "Petunjuk apaan, hah! Rongsokan mencurigakan gitu bisa jadi petunjuk apaan?!"
"Duh ... keknya hidungku patah." Aiden berucap lirih di tengah keributan sambil memijit pangkal hidung.
"Y-ya gak tahu! Makanya mau cari tahu, jadi jangan asal banting!" Suara Marlo pecah saat berteriak. Pun badannya menempel pada sofa.
Aura panas menguar dari tubuh Julian. Rahang cowok itu mengeras, matanya mendelik. Tangan bergerak ke depan, menyambar bagian leher kaus Marlo, lalu menariknya ke atas.
Menyaksikan itu, seketika aku teringat akan hari pertama sekolah. Ini berbeda, tetapi suasananya mirip. Aku ingin menolong Marlo. Hanya saja, aku tak mampu bergerak barang satu senti saja. Apa ini yang dirasakan Marlo waktu itu?
"Woi, Julian, stop!" jerit Aiden dengan suara melengking.
Jeritan itu membuat kami semua, bahkan Theo, tersentak kaget. Benar-benar nyaring sampai meninggalkan gema.
Aura panas berangsur hilang. Julian menghempaskan Marlo hingga terduduk kembali di atas sofa yang nyaris terjungkal. Tanpa kata maaf atau sekadar gerutuan, Julian beranjak meninggalkan ruang tamu. Barangkali di pergi menenangkan diri di bawah pohon tadi.
Kudapati diriku mengelus dada dengan arah mata terkunci pada punggung Julian sampai cowok itu menghilang dari pandangan. "Dia emang sering gitu atau ...."
"Dari sebelum kamu muncul dia emang sering gitu," kata Marlo sambil memperbaiki kausnya yang jadi kusut.
"Fuh!" Aiden menjatuhkan diri di atas sofa. Nyaris menduduki radio keramat. "Setidaknya udah mendingan dari yang dulu. Echros-nya nggak meledak-ledak lagi. Dulu sering, sampai pernah kelas kebakaran."