Ch. 23: Orang Asing

19 8 5
                                    

Wordcount: 1.303 words

Langit nan mendung tidak membantu menerangi tempat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit nan mendung tidak membantu menerangi tempat ini. Gelap, tetapi samar-samar aku masih bisa melihat sekitar. Bokongku masih menempel di sofa bersama Theo. Julian terbatuk-batuk berusaha bangun, mungkin Aiden mencekiknya. Di sisi lain, Marlo tergolek seperti orang mati, barangkali badannya remuk.

Berkat pencahayaan yang minim, situasi ini menjadi lebih menyeramkan dari yang semestinya. Aiden kelihatan seperti penjahatnya di sini. Dia yang sedikit pun tidak melirikku justru membuatku makin was-was.

Dengan mata menyala, anak itu memandang ke luar jendela. "Ada yang datang," ucapnya diikuti sambaran petir.

Kakiku tiba-tiba gemetaran. Aku memaksakan diri untuk berdiri karena diam duduk dalam situasi seperti ini lebih membuat gelisah. Julian juga sudah berdiri, kelihatan sedang memijit bahu. Dari tempat Marlo berada, terdengar suara gemeletuk. Pasti tulangnya.

"Ada orang di luar," kata Marlo pun beranjak mendekati jendela. "Nggak keliatan tapi dari isi pikiran yang kudenger, itu bocah cowok."

"Aset yang dikirim buat nangkap kita?" Gumaman Julian terdengar sampai ke telingaku di tengah keheningan. Dia pun menoleh padaku dan Theo. "Kalian berdua cepat sembunyi sama Marlo."

"Kok---"

Sontak Julian berdecak, "Jangan protes. Kalian bertiga yang gabisa berantem mending sembunyi."

"Julian bener," ucap Aiden seraya melangkah menuju pintu depan. "Saranku kalian sembunyi di gudang. Jangan sampai keliatan dari jendelanya."

Daun pintu berayun ke dalam. Aiden melenggang keluar disusul Julian yang kemudian menarik pintu tersebut. "Jangan nekat," pesannya sebelum menutup pintu rapat-rapat.

Kami bertiga diam dalam lenggang yang diisi bunyi jarum jam nan terus bergerak. Yang pertama menyadarkan diri adalah Marlo, dia segera berjalan menghampiri Theo dan aku, tanpa berkata-kata menuntun kami menuju gudang yang Aiden maksud.

Kehilangan penerangan dalam ruangan membuat kami agak kesulitan. Sesekali menabrak sesuatu yang tidak kelihatan apa. Butuh waktu lumayan lama hingga mata beradaptasi dengan keadaan.

Masuk ke dalam gudang, cahayanya lebih minim lagi. Hanya ada satu jendela dan di luar sana matahari tengah dihalau awan kelam. Suasana ini mengingatkanku pada film horor yang tokoh-tokohnya menghilang satu per satu. Namun, aku segera disadarkan bahwa kehidupan kami ini lebih mirip dengan film tentang manusia mutan yang cuma pernah kutonton sekali.

Petir menyambar amat dekat dengan vila. Bunyinya nyaring memekakkan telinga, bahkan tanah sampai bergetar. Getaran lain menyusul disertai bunyi debum. Bumi tak berhenti bergetar ditemani bunyi debum juga sambaran petir.

Aku, Marlo, dan Theo berada dalam posisi meringkuk di bawah jendela. Kalau ada yang menerobos masuk lewat pintu, kami bisa melarikan diri lewat jendela. Begitu juga sebaliknya.

Eccentric Teens: New Reality [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang