Ch. 7: Jalan yang Kupilih

89 24 420
                                    

Wordcount: 1.362 words

Setelah membicarakan garis besar rencana dan bersantai cukup lama, Erna mengantarku pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah membicarakan garis besar rencana dan bersantai cukup lama, Erna mengantarku pulang. Kami langsung muncul di depan pintu rumahku. Dia kembali berteleportasi setelah mengucapkan sampai jumpa. Efek sampingnya masih terasa, hanya tidak separah yang sebelumnya.

Hari sudah gelap. Bunyi serangga-serangga malam mengisi kesunyian. Rumah Paman jauh dari jalan raya jadi tidak ada bising kendaraan.

Pintu masih dikunci. Untung aku diberikan kunci cadangan jaga-jaga Paman lembur. Dari membuka pintu rumah sampai pergi ke kamar, aku terus memikirkan rekaman kejadian yang diperlihatkan kepadaku. Satu sisi diriku masih menolak memercayainya, bahkan berpikir Aiden dan yang lain memalsukan semua itu.

Aku mendongak menatap jam dinding. Katanya Paman pulang jam sebelas. Ini masih jam tujuh. Empat jam lagi baru dia pulang.

Banyak hal yang kulakukan untuk menghabiskan waktu. Mandi lama-lama, makan malam sendiri, sampai mengerjakan pekerjaan rumah, Paman belum juga pulang. Lima belas menit lagi jam dua belas. Kuputuskan untuk menunggu sambil menonton televisi.

Melihat siaran berita, tidak ada yang aneh. Semuanya biasa saja, padahal katanya dunia sudah berubah.

Ya, memang sudah berubah. Anak-anak berkekuatan aneh (katanya) tersebar di segala penjuru dunia, bermunculan sejak sepuluh tahun lalu. Aku salah satunya. Mereka bilang adikku juga seorang Eccentric.

Jendela Masa Depan. Mungkin itu merujuk pada echros yang Theo miliki. Mungkin dia bisa melihat masa depan. Entahlah. Aku tidak pernah mengonsumsi cerita fiksi dengan tema kekuatan super.

Lama-kelamaan bukannya menonton, aku malah ditonton televisi. Tenggelam dalam pikiran. Banyak sekali informasi yang kuterima hari ini. Pun semuanya sulit dicerna karena tidak masuk akal.

Bosan mendengar suara televisi, kupencet satu-satunya tombol merah pada remot. Suara terputus dan layarnya menghitam bersamaan dengan bunyi pintu depan mengayun terbuka. Sontak aku menoleh, mendapati Paman Val dengan setelan kaus oblong dan celana jeans longgar. Ransel kecil tersampir pada bahu kanannya.

"Loh, Feli?" Paman terheran-heran setelah menutup pintu. Ia berderap mendekat sambil bertanya, "Kok jam segini belum tidur? Besok kamu sekolah, loh."

Aku hampir kelepasan. Untung saja peringatan dari Aiden dan yang lain masih tersangkut dalam benakku. Kuhela napas panjang sebelum membuka mulut dan dengan lirih berucap, "Paman. Sebenarnya aku ini ... apa? Kenapa aku masuk ke kelas itu?"

Paman Val terdiam. Ranselnya hampir jatuh ke lantai kala bahu lebar itu melorot. Alisnya tertekuk dan kerutan pada dahinya kian jelas.

Aku sudah tahu. Aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan itu. Hanya saja, aku ingin mendengarnya langsung dari Paman, seseorang yang telah menyembunyikan fakta ini sejak lama.

Eccentric Teens: New Reality [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang