Wordcount: 1.275 words
Sehari setelah berbaikan dengan Aiden, kelompok kami sepakat untuk membahas tawaran Lumi, cewek yang mengaku berasal dari dunia paralel. Ada aku, Aiden, Theo, Marlo, dan Nia. Bahkan Julian yang mood-nya sudah sedikit membaik turut ambil bagian dalam pembahasan ini.
Tidak ada yang membuang waktu. Selepas aktivitas pagi masing-masing, kami berenam berkumpul di tepi danau yang berseberangan dengan rumah para pendatang baru. Aku sempat bertanya pada Natha soal kemunculan rumah itu. Katanya, temannya yang tak lagi memiliki ragalah yang membuat rumah tersebut. Sungguh di luar nalar.
"Jadi, si Lumi itu nawarin kita buat ikut dia ke dunia paralel, karena tiga orang ini,"--Julian menunjuk aku, Theo, lalu Aiden--"diincar sama organisasi sinting itu. Dua mau dijadiin aset kayak orang-orang gila hari itu. Satunya mau, entah, mungkin dibunuh."
"Hampir terbunuh, tepatnya," sahutku. Berbeda dari biasa, tidak ada lirikan sinis atau kesal dari Julian. Cowok tempramen itu hanya mengiakan, kelihatan tidak peduli.
Marlo bersedekap. "Ya, intinya begitu. Sama jangan lupain syaratnya."
"Kita mesti bantuin orang-orang sana ngurusin sesuatu yang berbahaya, kan?" tanya Aiden guna memastikan. Dia tengah duduk bersila sambil memegangi kakinya yang terlipat; menarik badan sedikit ke belakang.
Aku dan yang lainnya mengangguk, kecuali Theo. Anak itu tampak sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Melihatnya begitu, aku jadi ingat kalau akhir-akhir ini kami makin jarang berinteraksi. Kurasa karena dia lebih sering bersama Nia juga anak-anak lain di sini.
Mengangkat bahu, Aiden pun berceletuk, "Boleh aja, sih."
Tatapanku langsung berpindah pada Julian. Kukira dia akan menanggapi dengan marah-marah atau mengatai Aiden tidak waras seperti yang biasa terjadi. Namun, Julian justru merespons dengan santai, katanya, "Tetep bakal bahaya, tapi setidaknya nggak ada dari kita yang bakal diburu. Aku setuju."
"Aku juga," sahut Marlo.
"Aku ikut," ucap Nia lewat telepati pada kami semua.
Tersisa aku dan Theo yang kemudian saling tatap saat perhatian yang lainnya tertuju kemari. Dari sorot matanya, aku tidak mendapati rasa takut maupun cemas, hanya bertanya-tanya.
"Gimana?" tanyaku, kedengaran canggung.
"Aku setuju kalau Kakak setuju," jawabnya terus memutus kontak mata. Jemarinya asyik memainkan rumput. "Kalau Kakak nggak mau ikut, aku juga nggak. Tapi ... menurutku kita semua pergi saja."
"Yak! Bocah yang bisa ngintip masa depan telah bersuara," ujar Aiden riang.
Dengan tatapan tajam Theo mengoreksi, "Cuma kemungkinan." Dia lalu memutar bola mata dengan malas.
"Kemungkinan masa depan. Oke," sahut Aiden.
Julian menoleh padaku dengan alis terangkat. "Jadi?"
Aku menghela napas pendek terus mengembuskannya. Melirik Theo sebentar, aku pun memberikan jawabanku. "Aku juga ikut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccentric Teens: New Reality [✔]
AventureBeruntung atau sial. Felisia tidak paham. Orang tuanya tewas dalam kecelakaan dan adiknya hilang tanpa jejak. Hanya dia yang selamat. Tinggal di rumah pamannya, Felisia memulai kehidupan baru di kota. Sekolah baru, teman baru, juga masalah baru. Tak...