Seokjin
Seharusnya aku tahu aku tidak akan bisa berlibur terlalu lama, terlebih ketika aku meninggalkan dua anggota termuda dalam tim tanpa pengawasan ketat.
Begitu Joohyun mengatakan dengan sedikit panik bahwa Jungkook, hacker dalam tim kami yang canggih namun sedikit ceroboh itu sedang tertimpa masalah besar, aku langsung memutuskan bahwa kami berdua harus segera kembali ke Seoul. Bagaimanapun juga, Jungkook adalah tanggung jawabku, dan jika ada sesuatu yang terjadi menimpanya aku harus membantunya sebisa mungkin.
Aku dan Joohyun keluar dari kedai ramyun dan berusaha unutuk tidak menarik perhatian Jackson, sekalipun aku masih mencuri-curi pandang sedikit untuk melihat dengan siapa sobatku itu berbicara. Ini sesuatu yang aneh mengingat Jackson tidak pernah terlihat setegang itu selama aku mengenalnya, dan hanya dengan melihat raut wajahnya saja, aku tahu ada sesuatu yang sedang terjadi.
Tapi sialnya, perasaanku mengatakan bahwa sesuatu itu adalah hal yang buruk.
Jadi, dengan perasaan mengganjal di hatiku aku bergegas menuju rumah, mengemasi barang-barang, kemudian pamit dengan terburu-buru kepada bibi yang menatap aku dan Joohyun dengan kebingungan.
"Kalian baru sampai kemarin lho, masa sudah mau pergi lagi?" tanyanya, dan jujur saja, aku juga tidak ingin meninggalkan bibi sendirian padahal aku baru saja pulang setelah sekian lama.
"Iya, kami juga inginnya tinggal lebih lama lagi." jawab Joohyun, terlihat sangat kecewa. "Tapi ada hal mendesak yang terjadi yang mengharuskan kami kembali ke Seoul saat ini juga."
"Astaga, kelihatannya ini sesuatu yang sangat genting ya?" tanya bibi, membuatku seketika membayangkan bagaimana raut wajah Jungkook saat ini. Sebenarnya bocah itu terjebak dalam masalah apa, sih?
"Kurang lebih begitu deh." jawabku. "Tapi kalau masalahnya sudah selesai, aku janji aku akan pulang kesini lagi, kok."
Bibi menatapku, sorot matanya seolah-olah berusaha untuk menahanku agar tetap disini dan jujur saja, aku sendiri nggak mau pergi secepat ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak akan bisa tenang di sini sementara aku tahu anggota tim-ku berada dalam masalah.
Setelah berpamitan dengan cukup lama kepada bibiku—serta setelah beliau membekaliku sekotak makan besar berisi daging barbecue yang dia masak dengan bantuan Joohyun tadi pagi, aku dan Joohyun berangkat menggunakan taksi menuju stasiun. Kami berdua tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, dan begitu tiba di stasiun pun, Joohyun menjadi yang paling cepat melangkah menuju loket untuk memesan tiket keberangkatan ke Seoul untuk dua orang yang tersedia dalam waktu terdekat.
Beruntungnya kami, keberangkatan terdekat tersedia dalam waktu sepuluh menit lagi.
"Untung kita cepat-cepat ke stasiun, ya? Kalau nggak, mungkin kita harus nunggu dua jam lagi." kataku kepada Joohyun, ketika kami tengah duduk manis di tempat duduk kami di dalam kereta sambil menunggu keberangkatan.
"Iya, beruntung banget." Joohyun menanggapi perkataanku, wajahnya terlihat agak capek dengan beberapa peluh yang mulai menghiasi keningnya.
"Memangnya Jungkook kenapa, sih?" tanyaku, membuat Joohyun menghela napasnya kemudian menyenderkan badannya kepada kursi.
"Dia kena tipu." jawab Joohyun, dan tadinya aku berniat untuk menanyakan sesuatu lagi tapi Joohyun keburu menyela. "Kata Yeri sih, uangnya dibawa kabur oleh seorang investor saham muda yang abal-abal."
"Terus? Berapa uang dia yang dibawa kabur itu?"
"Dua juta."
"Won?"
"Dollar, lah."
Aku nyaris tersedak air liurku sendiri ketika mendengar Joohyun menyebutkan nominal itu. Dua juta dollar? Yang benar saja? Itu kan, bukan jumlah yang sedikit!
"Kamu ingat uang hasil pekerjaan kita beberapa minggu yang lalu, kan? Nah, Jungkook memutuskan untuk menginvestasikan semua uang miliknya itu ke si investor yang sekarang statusnya berubah jadi penipu itu. Dia memang nggak bilang-bilang sama kita semua tentang investasinya itu, tapi kata Yeri, tadi pagi tiba-tiba saja Jungkook berteriak dari kamarnya di markas kita dan membuat heboh. Dia bilang, semua uang di rekeningnya hangus secara tiba-tiba."
"Terus sekarang Jungkook gimana?"
Joohyun menghela napasnya, tangan kanannya yang tidak memegang ponsel memijit-mijit pelipisnya pelan sebelum menjawab pertanyaanku.
"Kata Yeri, dia menangis meraung-raung sepanjang hari. Namjoon sampai menyerah untuk mengurusnya. Nggak tahu deh."
Sekarang, aku jadi membayangkan bagaimana suasana markas saat ini. Jungkook yang menangis meraung-raung sambil meratapi uangnya yang hilang, Yeri yang kebingungan dan menelepn Joohyun, dan Namjoon yang barangkali sedang memukul-mukul sandsack saking kesalnya dia mendengar suara tangis Jungkook.
Ya tuhan. Pasti kacau banget. Sepertinya aku sudah membuat keputusan yang salah dengan menitipkan markas kepada ketiga anggota termuda kami.
"Tadi Yeri nyebutin nama si investor abal-abal itu, nggak?" tanyaku lagi, membuat Jooyun yang semula sedang memainkan ponselnya menatapku.
"Hmm... Kalau nggak salah namanya Choi Jaehyun?" jawab Joohyun, menyebutkan nama seseorang yang terdengar asing di telingaku.
"Aku lagi memeriksa siapa si Jaehyun ini, siapa tahu kita bisa dapat informasi tentang dia dari internet." lanjutnya, dan aku mengacungkan jempolku kepada Joohyun tanda bahwa aku mengapresiasi tindakannya.
Kami tidak berbicara lagi setelah itu. Joohyun sibuk dengan ponselnya, sementara aku berusaha untuk mengalihkan pikiranku juga dengan ponselku sambil memerhatikan situasi sekitar. Kami naik kursi kelas bisnis di kereta ini karena hanya itu satu-satunya tiket yang tersisa. Sekarang memang baru jam dua siang, tapi penumpang yang menaiki kereta ini cukup ramai padahal ini bukan jam pulang kerja ataupun hari libur. Kebanyakan penumpang yang aku lihat memakai pakaian semi-formal, seperti seseorang yang baru pulang dari kantor, tapi ada juga yang memakai pakaian santai seperto hendak liburan.
Tepat ketika suara pengumuman bahwa kereta akan berangkat, seseorang masuk ke dalam gerbong.
Pria itu terlihat berusia lanjut, barangkali usianya sekitar empat puluhan, dengan rambut yang mulai memutih dan wajah yang agak berkerut. Tapi, setelan jas yang dikenakannya seakan-akan menyuarakan bahwa dia adalah orang kaya dan penting. Di belakangnya, berdiri dua orang cowok berusia jauh lebih muda darinya dengan setelan jas yang terlihat jauh lebih murah daripada yang dikenakan pria itu. Kedua cowok di belakangnya berwajah serius, cenderung seperti preman, dan untungnya aku sempat mendengar apa yang mereka katakan kepada pria itu.
"Kursi anda ada di ujung gerbong, tuan."
Aku berusaha untuk tidak terlihat sedang mengamati pria itu dengan berpura-pura fokus pada ponselku, dan membiarkan mereka lewat di sampingku tanpa harus menoleh untuk melihat mereka dengan lebih seksama. Tapi, begitu aku secara tidak sengaja beradu pandang dengan pria yang kelihatannya seperti seorang ketua gangster itu, aku merasa selama beberapa detik jantungku nyaris berhenti berdetak.
Pria ini, aku yakin sekali dia adalah pria yang sama yang ditemui Jackson di kedai ramen beberapa jam yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEVERAGE [Book 1]
ActionKim Seokjin adalah seorang mantan detektif yang kini menjadi otak dari semua kasus penipuan besar tanpa pernah ketahuan. Bae Joohyun adalah seorang aktris yang kurang laku, namun, ia telah menjelma jadi puluhan karakter yang berbeda dan menipu banya...