3.5

115 15 0
                                    

Joohyun

Rasanya bulu kudukku meremang ketika aku mendengar nama yang disebutkan oleh Jaehyun.

Aku memang tidak mendengar suara si peneleponnya—karena yang bisa mendengar itu hanya Seokjin dan Jungkook yang saat ini sedang berada di dalam van dan duduk manis depan layar monitor—namun aku dapat mendengar dengan jelas percakapan Jaehyun dan si peneleponnya. Memang, hanya ada satu Jackson yang aku kenal di dunia ini, tapi dari segala kemungkinan yang ada, ada berapa banyak sih Jackson lainnya di kota ini?

Namjoon tampaknya menyadari keterkejutanku, karena selama beberapa saat, ia melemparkan tatapan penuh tanya yang hanya aku balas dengan sebuah gelengan kepala pelan—bagaimanapun juga kita harus tetap dalam karakter sampai rencana hari ini selesai, kan—kemudian aku buru-buru meneguk sisa wine dari gelasku. Aku berjaga-jaga agar terlihat tetap elegan di depan si Jaehyun ini, dan kalaupun kegelisahanku terlihat jelas dari gestur badanku, dia pasti akan menganggapnya bahwa aku juga ingin membeli istal kuda dari Namjoon.

Ketika cowok itu menyelesaikan teleponnya, dia kembali untuk duduk di hadapanku dan Namjoon—kali ini, tampangnya sedikit lebih tegang daripada sebelumnya.

Uh-oh. Aku rasa ada sesuatu yang tidak beres antara dia dan siapapun yang baru saja meneleponnya tadi. Sial, aku masih ingin berbaik sangka bahwa Jackson yang dia maksud bukan Jackson yang aku temui bersama Seokjin di stasiun beberapa hari yang lalu.

"So? Still in business or not?" tanya Namjoon, dan baru kusadari bahwa dia sudah menyalakan sebatang rokok baru lagi saat ini.

Jaehyun tentu saja tersenyum sopan menanggapi pertanyaan itu—bagaimanapun juga, Namjoon terlihat dan terdengar sangat mengintimidasi saat ini berkat kemampuan make-upku yang keren—, dan itu artinya dia memang masih berniat untuk membeli istal kuda ini.

"Tentu saja, aku mana mungkin melewatkan kesempatan emas ini." jawab cowok itu, kemudian sebuah suara cewek yang imut terdengar menghampiri kami bertiga.

"Jaehyun-ssi~!" seru cewek itu, dan Yeri terlihat berkeringat dengan setelan berkudanya tapi wajahnya yang cantik dan ceria terbukti berhasil membuat Jaehyun kembali salah tingkah.

"Sudah lama datang? I didn't notice you were here!" Yeri menepuk pundak Jaehyun dengan sangat akrab, dan aku dapat melihat sinar mata Jaehyun yang dipenuhi kekaguman untuk adikku itu.

Dalam kata lain, Jaehyun terlihat benar-benar jatuh hati dan jadi tergila-gila pada Yeri. Tampaknya aku tidak perlu cemas-cemas amat dengan Jackson dan hubungannya dengan si cowok matre dan penipu ini, dan tampaknya, rencana kami juga akan berhasil seratus persen.

*

Kami kembali ke markas tepat jam satu siang.

Setelah berkeliling istal kuda settingan yang kami siapkan, Jaehyun tampak benar-benar tertarik. Aku tidak berbohong bahwa selama kami berkeliling, cowok itu sesekali berdecak kagum dengan mulut menganga dan tampang yang tolol. Aku juga tahu bahwa dia sempat mencuri-curi kesempatan untuk merangkulkan lengannya di bahu Yeri—dan untungnya adikku yang manis ini sama sekali tidak menolak perbuatan manis garis miring menggelikan dari cowok itu. Yah, meskipun sepanjang perjalanan pulang dari istal kuda menuju markas Yeri sama sekali tidak berhenti mengeluh tentang betapa menggelikannya cowok itu.

Namjoon dan Jaehyun sudah bertukar nomor ponsel, jadi saat ini kami tinggal menunggu waktu sampai Jaehyun menelepon Namjoon untuk mengadakan transaksi dalam bentuk cash. Tentu saja kami ingin seluruh uang itu kami dapatkan dalam bentuk cash—bagaimanapun juga, nominal dalam akun rekening dapat dimanipulasi dengan begitu mudahnya dan kami tidak seceroboh itu. Sebagai Mr. Roy, Namjoon meminta dengan sedikit mengancam bahwa dia tidak mau berlama-lama, jadi dalam waktu satu hari ini Jaehyun sudah harus mengambil keputusan.

Aku sih, seperti yang sudah pernah kukatakan sebelumnya, sangat yakin bahwa sebentar lagi rencana kami akan berhasil. Itulah yang membuatku tetap santai dan tenang saat kembali ke markas. Berbanding terbalik dengan Seokjin, yang lagi-lagi tampak sangat serius dan sedikit tegang bahkan ketika kami sudah kembali ke markas untuk istirahat.

"Lagi liatin apa sih?" tanyaku, berpura-pura untuk tidak serius dengan pertanyaanku ketika Seokjin sedang mengamati layar tabletnya di ruang rapat kami dengan tampang serius.

Kepalanya mendongak sedikit untuk melihat kedatangnku.

"Joo, kayaknya kamu harus lihat ini." ia menggeser sedikit laptopnya, dan aku duduk di sampingnya untuk melihat apa yang sebelumnya sedang ia lihat.

Di layar itu, terpampang sebuah data yang tampak seperti history chat antara dua orang. Keduanya menggunakan nama samaran, tapi aku yakin banget bahwa ini adalah percakapan antara Jaehyun dengan siapapun yang berada di atasnya.

"Kurasa benar dugaanku, Jaehyun nggak bergerak sendirian. Dia dapat perintah, lihat?"

Seokjin menunjuk salah satu bubble chat.

Hari ini jangan lupa untuk kerjakan skenario 1, babak 2. Malam ini cerah, kita bertemu di tempat air terjun.

"Skenario 1? Babak 2? Kayak script drama aja." komentarku singkat. Sebagai mantan aktris kurang laku di layar kaca, aku cukup paham mengenai hal-hal seperti itu.

"Exactly, berarti semua tindakan yang dia lakukan itu sudah sesuai skenario seseorang." Seokjin menjentikan jarinya.

"Maksudmu Jackson?" tanyaku, dan sesuai dugaanku, Seokjin tampak sedikit menegang ketika mendengar nama sobatnya itu disebutkan. "Kamu yakin dia terlibat dalam semua ini?"

Seokjin menghela napasnya keras-keras kemudian sedikit menutup layar laptop. Aku tahu, dia masih kesulitan untuk menerima kemungkinan terburuk itu.

"Aku nggak mungkin salah dengar suara orang, Joo...."

Aduh, gawat. Tampaknya Seokjin benar-benar terkejut dan kecewa dengan fakta mengejutkan yang kami dapatkan hari ini. Aku tahu banget dia sangat menyayangi sobatnya itu, tapi setelah bukti yang kami dapatkan hari ini, aku ragu dia masih bisa menganggap Jackson sebagai sobatnya.

Itupun kalau Jackson juga benar-benar menganggap Seokjin sebagai sahabat.

"Well, hanya ada satu cara untuk memastikannya kan?" aku bertanya lagi, dan Seokjin menatapku dengan sedikit kebingungan.

"Namjoon masih cedera, dan kita sudah pernah bahas soal jangan melibatkan tim ini dalam bahaya lagi. Jadi, saat ini hanya kita berdua yang bisa melakukan pengintaian kecil-kecilan untuk Jaehyun dan Jackson yang kemungkinan akan bertemu hari ini. Gimana? Sounds fun, kan?"

Aneh juga sih mengapa aku menggunakan kata fun untuk menyinggung misi pengintaian yang sifatnya sangat serius dan berpotensi besar mencelakai kami berdua. Tapi, ini satu-satunya cara untuk membuat Seokjin dapat berpikir jernih sekaligus mau membawaku menemaninya dalam melakukan aksi-aksi serius—karena percaya deh, cowokku ini bisa tiba-tiba saja pergi sendirian dengan cerobohnya dan aku sudah sangat capek mengomelinya.

"Kamu benar, kita masih punya waktu." Seokjin melirik jam tangannya. "Dari percakapannya, dia bakal bertemu dengan Jackson sekitar jam lima. Kita masih punya waktu sekitar satu setengah jam lagi."

"Okay! Ayo kita siap-siap!" aku bangkit dari tempat dudukku sambil sedikit menggebrak meja, tanda bahwa aku sangat antusias untuk misi mengintai sambil menyamar ini.

"Tapi itu berarti kita harus menyamar agar bisa menguping dari jarak yang cukup dekat."

Aku tersenyum melihat wajah kebingungan Seokjin.

"Tenang, aku punya penyamaran yang bagus."

LEVERAGE [Book 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang