1.4

362 48 9
                                    

Joohyun

Suasana peringatan itu berlangsung dengan khidmat.

Aku menemani Seokjin ke pemakaman, sebagian besar karena aku khawatir dia akan melipir untuk minum-minum sepulang dari pemakaman dan aku tidak mau dia kembali dalam keadaan mabuk, tapi sebagian besar lagi karena aku tidak ingin dia sendirian. Kami bersiap-siap sejak pagi buta, aku bahkan sampai sempat membantu bibinya Seokjin menyiapkan makanan untuk kami bawa sebelum kami berangkat ke pemakaman.

Omong-omong tentang bibinya Seokjin, aku terharu banget ketika kami datang dan disambut dengan begitu ramahnya oleh sosok wanita paruh baya itu. Bertahun-tahun terpisah dengan orangtuaku membuatku merindukan kehangatan seorang ibu, dan bertemu dengan bibinya Seokjin cukup mengobati rasa rinduku itu. Aku tahu Seokjin juga merasakan hal yang sama, karena selama ini, hanya bibinya lah yang bisa dia anggap sebagai orang tuanya.

"Aku senang karena ada kamu disini, Joohyun-ssi. Kalau saja kamu nggak ada menemani Seokjin, dia mungkin sudah berakhir di tempat yang buruk dengan orang-orang yang jahat." ujar bibi, ketika aku tengah membantunya untuk menyiapkan makanan pagi itu.

Sekalipun aku sedikit merasa bersalah karena sampai saat ini bibinya menganggap aku dan Seokjin berpacaran—padahal, kami berdua jauh sekali dari status tersebut—aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku.

"Aku juga bersyukur bisa ketemu sama Seokjin di waktu yang tepat." ujarku, membuat bibinya Seokjin tersenyum lebar.

"Setelah semua yang menimpanya, aku khawatir dia nggak akan pernah bisa tersenyum lagi. Kamu tahu waktu dia dipecat dari kepolisian, kan? Astaga, aku khawatir banget waktu itu, Joohyun-ssi."

Seketika itu juga aku jadi teringat dengan Seokjin ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Kalau saja aku tidak ada waktu itu, Seokjin mungkin sudah mati tertabrak mobil karena berjalan di pinggir jalan dan nyaris berbelok ke jalan raya yang padat kendaraan dalam kondisi mabuk berat.

Roda takdir mampu mempertemukan kita dengan orang dalam waktu dan tempat yang tidak terduga, ya?

"Seokjin berhak bahagia, Joohyun-ssi. Dan sepertinya hanya kamu yang bisa memberikan kebahagiaan semacam itu kepadanya."

Nah, perkataan bibinya Seokjin yang satu itu terus terngiang-ngiang di kepalaku sampai saat ini.

Aku memperhatikan punggung Seokjin yang kini tengah menatap pusara di hadapannya dalam diam. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan, tapi aku tahu apa yang sedang dia rasakan saat ini. Keheningan diantara kami berdua seakan-akan menjelaskan semuanya.

Kira-kira kami menghabiskan waktu setengah jam sampai Seokjin akhirnya berbalik menghadapku, matanya merah dan berair.

"Sudah?" tanyaku, dan sekalipun suasananya mendukung banget saat ini, aku mengurungkan niatku untuk meraih tangan Seokjin.

Seokjin tersenyum kemudian mengangguk singkat.

"Aku kirim salam buat mereka dari kamu juga." ujarnya, dan aku mengeluarkan senyum terbaikku untuk merespon perkataan Seokjin.

"Menurut kamu mereka bakal suka sama aku?"

Seokjin berjalan pelan menyusuri makam lain yang berjajar di sisi kiri dan kanan kami, menuju pintu keluar, dan aku mengikutinya dari belakang. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celananya, kepalanya ia dongakkan menatap langit pagi ini yang terlihat cerah dan berawan.

"Pasti." jawabnya pendek. "Mereka berdua tahu aku nggak bisa dekat sama sembarangan orang dengan mudah, dan kamu bukan orang sembarangan."

LEVERAGE [Book 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang