3. love? we just know how to value each other

1.6K 112 0
                                    

"Assalamu'alaikum wr...."

"Assalamu'alaikum wr...."

Entah kenapa, kali ini setelah salam Laila langsung melirik ke arah Edward yang tidur membelakangi posisinya sekarang. Masih dengan mukenah yang melekat di tubuhnya, Laila mendekat ke arah suaminya. Matanya membulat melihat wajah suaminya yang berwarna pucat dan bibir yang membiru. Dengan segera dia keluar menuju dapur berniat mengambil baskom air dingin dan handuk padahal dia saja belum mengecek apa Edward demam atau tidak. Itu refleks begitu dia melihat wajah suaminya. Kemudian dia teringat mereka memiliki alat kompres sehingga tidak perlu baskom dan handuk lagi. Dengan segera dia kembali ke kamar, beruntung tidak ada orang selain dia yang berkeliaran di jam segini karena saking paniknya dia sampai lupa memakai cadarnya.








Edward merasa pusing yang sangat hebat begitu dia membuka sedikit matanya. Perutnya bergejolak, seakan ingin memuntahkan sesuatu dari dalamnya. Dan akhirnya dia memuntahkan isi dari perutnya, sangat menjijikkan. Dan lebih mengesalkan ketika istrinya masuk dan melihatnya yang masih memuntahkan isi perutnya ke lantai kamar mereka. Benar benar memalukan. 

Laila dengan cemas membantu membuat posisi Edward menjadi berbaring. Mata keduanya bertemu, mata elang Edward yang sayu dan mata Laila yang menyiratkan kecemasan.

"Laila?", panggil Edward ketika melihat Laila bergegas membersihkan muntahnya di lantai. Sungguh, jika saja dia tidak sangat lemas sekarang dia akan membentak dan menjauhkan istrinya dari hal itu. Matanya tanpa sadar menatap tajam Laila yang sudah selesai dan kini menuju ke arahnya setelah mencuci tangan.

"Itu menjijikkan. Kau bisa menyuruh Annie, aku menggajinya bukan dirimu", bahkan meski sakit suara Edward masih bisa datar dan dingin. Laila duduk di samping Edward yang masih menatapnya tajam tidak suka dengan tindakannya barusan.

"Beliau janda dan sudah tua. Sedangkan aku masih muda dan bisa melakukannya. Bukankah sangat tidak sopan membiarkannya membersihkannya sedangkan ada aku sebagai istrimu?", jelas  Laila sambil melepaskan baju Edward dan memakaikan baju bersih. Edward terpekur sejenak, tatapan tajamnya meredup berganti dengan tatapan lain. Dengan lembut matanya menatap istrinya yang menyiapkan obat untuknya minum.

"Apa kau tidak jijik?", tanya Edward sambil membuang pandangannya ke arah lain.

"Aku tidak punya waktu untuk itu ketika suamiku sedang sakit. Lagi pula, pertanyaanmu aneh sekali. Itu bukanlah hal yang berdosa atau merugikan", jelas Laila lagi tanpa sadar bahwa Edward menatapnya dengan sorot terkejut kemudian seulas senyum tulus terbit di wajah tampannya yang pucat.

"Apa Fatimah bersama Annie sekarang?", tanyanya sambil memainkan ujung jilbab istrinya. Laila memberikan obat dan Edward meminumnya. Dia terdiam sebentar sebelum menatap Edward dengan sedikit takut.

"Fatimah sudah tidur. Soal Annie, aku menyuruhnya pulang dulu. Anaknya kecelakaan. Maaf aku bertingkah seenaknya.", sesal Laila membuat Edward mengernyit bingung.

"Kenapa kau minta maaf? Kau melakukan hal yang benar. Kau memberinya uang juga?", tanya Edward sambil membaringkan tubuhnya.

Laila mengangguk lalu berpindah tempat lebih dekat dengan Edward. Tangannya memijat lembut kepala sang suami membuat Edward merasa lebih baik.

"Laila, istriku. Bagaimana jika kau tahu aku sudah mencintaimu? Bidadari ya, kalau begitu aku sangat beruntung mendapatkan dirimu. Sangat mengesankan."











2 tahun berlalu dan Fatimah semakin aktif hingga membuat Edward uring uringan karena cemas dengan putrinya.  Seperti sekarang ini, Fatimah dengan senang mengobrak Abrik koleksi mainan mahal yang Edward berikan dan merangkak sembarangan hingga beberapa kali terjatuh membuat Edward panik untuk kesekian kalinya. Tak lama Fatimah berhenti dari kegiatannya dan mulai merangkak mencoba memeluk sang ayah. Edward yang paham pun langsung menggendong Fatimah dan sesekali menepuknya membuat Fatimah tertidur.

Merasa putrinya sudah tertidur Edward dengan perlahan menuju kamar mereka dan dengan penuh kehati hatian menidurkan Fatimah. Dia yang akan melangkah keluar tiba tiba tubuhnya menegang begitu merasa ada pergerakan dari Fatimah, dia menoleh dengan wajah panik kalau Fatimah terbangun. Dia menghela nafas lega begitu Fatimah tidak terbangun dan tertidur pulas.

Dengan segera dia melangkah keluar. Sesampainya di tempat tadi putrinya bermain, dia langsung membereskan kekacauan yang di buat putrinya. Dia memang sering membereskan apapun sekarang untuk membantu istrinya. Laila membagi tugasnya dengan Annie dimana Annie membersihkan rumah dan taman dan belanja keluar,memasak juga hal lain sedangkan hal yang berhubungan dengan privasi mereka berdua semuanya di urus Laila. Seperti mencuci baju, membersihkan kamar mereka, mengurus Fatimah dan dirinya. Sempat mereka berdebat akan hal itu hingga Edward memilih mengalah. Tapi dia tidak terlalu senang karena melihat Laila yang kerepotan dan kelelahan. Karena itulah dia sering membantu membereskan hal yang berantakan agar tidak terlalu membebani istrinya. Selain karena agar 'kegiatan' mereka berjalan lancar.

Ah, istrinya sedang mencuci baju sekarang. Dan dia lihat sekarang baju baju mereka sudah di jemur, dan Laila yang baru masuk dari belakang menuju ke arahnya. Dia tersenyum miring, ini kesempatan untuk bermanja ria dengan istrinya.

"Apa makanan sudah siap Annie?", tanya Laila yang melewati Edward menuju dapur di mana Annie sedang bertempur di sana. Edward kembali berwajah datar dan dengan agak kesal menarik Laila menuju ruang keluarga. Dia mendudukkan Laila di karpet bulu domba berwarna silver kemudian dia mengambil bantal sofa yang sangat empuk meletakkan di punggung Laila yang menyandar di kaki sofa. Setelah melihat Laila nyaman dia langsung tidur di paha istrinya menghadapkan wajahnya ke perut Laila. Laila tersenyum kemudian mengelus lembut kepala Edward.

Setelah agak lama keduanya dalam posisi itu, Laila merasa sangat lapar. Dengan pelan dia memegang wajah Edward dan melihat rupanya Edward telah tertidur. Melihat itu Laila mengurungkan niatnya untuk berdiri dan tetap membelai suaminya. Tanpa dia sadari, Edward terbangun dan berpikir tentang istrinya yang bisa saja sedang lapar. Dia pun tanpa bangkit dari posisinya mengambil telfon di meja dekat posisi mereka lalu menelfon Annie menyuruhnya membawa makanan pada mereka.

"Makanlah. Tapi jangan merubah posisi, aku masih  mengantuk", itu tidak sepenuhnya benar. Karena alasan besarnya adalah dia merindukan istrinya dan ingin berduaan saja dengan Laila sebelum...

Tangisan Fatimah.

Edward menggeram begitu Laila dengan pelan memindahkan kepalanya dan dengan segera berdiri berniat menuju kamar. Bahkan makannya belum di sentuh sama sekali. Edward menahan Laila.

"Biar aku yang mengurusnya. Kau makanlah", pintah Edward lalu menuju kamar mereka.









"Zainab akan menikah hari ini, kau tidak lupa kan? Kau yakin tidak ingin ikut denganku?"

Edward menatap Laila yang sibuk memakai pakaiannya. Di kasur Fatimah dengan dua bantal di sisinya tertawa bermain main dengan sprei. Edward tanpa sadar memberikan dasinya pada Laila padahal dia berniat akan memasangnya sendiri. Mungkin karena terbiasa dia jadi tidak sadar. Laila dengan sigap memasang dasinya dan merapikan bajunya sebelum memakai jilbab panjangnya lalu mengenakan cadar.

Edward menatap lamat penampilan Laila lalu terlihat tidak senang. Dia lalu mengambil tisu basah dan menghapus maskara atau apa lah itu di mata indah istrinya. "Apa perlu ku Carikan pembantu yang banyak agar kau bisa fokus dan tidak lengah seperti ini?" Edward sadar nada suaranya terdengar sangat dingin membuat Laila sedikit takut. Tapi kemudian Laila beristighfar.

"Astaghfirullah maafkan aku. Aku pikir kau tidak akan marah dan...", Laila tidak berani melanjutkan ucapannya. Dia benar benar termakan godaan setan. Bagaimana bisa dia berani berhias untuk di lihat orang lain selain suaminya? Penyesalan yang besar menghinggapi hatinya membuatnya sangat takut dengan murka sang suami. Jika suaminya saja murka, lalu bagaimana dia bisa mendapat ridho Allah?

"Sayang, maafkan aku. Tolong maafkan aku. Aku tidak akan pergi. Tolong maafkan aku". Edward di tengah kemarahannya berhasil merasakan penyesalan sang istri dan mata istrinya terlihat berkaca kaca membuatnya luluh. Dengan segera dia memeluk Laila dan segala puji bagi Allah dia merasa sangat tenang seolah olah kemarahan tadi lenyap. Dia mengelus pelan punggung Laila dan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Laila.

"Aku sudah memaafkanmu. Kau tetap pergi, dengan aku tentunya", ucapnya lalu mengecup sayang pipi Laila. Tak jauh dari mereka, Fatimah tertawa senang melihat keromantisan orang tuanya

He is Mafia [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang