6.My Wife

1.2K 85 1
                                    

Laila tidur di pinggir kasur, Ghibran berada di antara dia dan Fatimah. Bersyukur kedua anaknya tidak tahu kalau tadi mereka bertengkar, selain Fatimah yang terkejut ketika mendengar teriakan ayahnya untuk pertama kali  ketika memanggil paman David dan Ghibran dan yang menangis.

Laila tidak terlelap, dia berbaring dengan posisi miring menatap kedua anaknya. Menepuk pelan Ghibran sambil sesekali memperbaiki posisi tidur Fatimah yang asal asalan. Benar benar mirip Edward. Dia tersenyum tipis. Rasanya campur aduk. Kecewa, marah, sedih, dan menyesal. Menyesal karena nada suaranya sangat tidak sopan tadi, berani menatap lantang sang suami, dan pertanyaannya tadi baginya sang tidak sopan.

"Laila, boleh aku masuk?". Itu suaminya. Tubuhnya menegang, menenangkan dirinya dia menoleh lalu mengangguk pada suaminya.

Edward duduk berjongkok menghadap Laila yang duduk di pinggir kasur. Matanya bertemu dengan mata Laila namun istrinya memilih membuang pandangannya. Raut wajah Edward melunak, terlihat sedih. "Maafkan aku. Tidak seharusnya aku memperlakukanmu seperti tadi", ucap Edward penuh dengan penyesalannya.

Laila diam sejenak sebelum mengangguk. "Aku juga minta maaf karena nada bicara ku seperti itu dan ucapanku yang menyakitimu", ucap Laila. Keduanya saling meminta maaf, itu indah tapi... Keduanya masih harus berdamai lagi.

"Laila, ayo berlibur. Hanya kita berdua", ucap Edward sambil menggenggam tangan Laila yang berniat melepasnya tapi dia tahan.

"Anak anak masih terlalu kecil untuk jauh dariku".

Edward menutup matanya lalu mengecup tangan istrinya guna menenangkan dirinya.

"Laila, ini salahku dan aku sangat menyesalinya. Aku ingin menjelaskannya, tapi kita butuh berdua. Kau mengerti kan maksudku?",ucap Edward sambil menatap Laila dengan pandangan memohon. Bidadari ku, tolonglah. Tidakkah kau ikut merasakan keresahan ini?










Keduanya pergi ke Mesir. Bukan soal cocok atau tidak, tapi karena ini adalah tanah kelahiran Edward. Edward merasa tenang di sini, selain di sisi Allah dan Laila tentunya. Sorban melilit kepala Edward sedangkan Laila tetap dengan pakaian berwarna gelapnya. Keduanya menaiki mobil menuju Hotel untuk mereka tempati di sini. Edward menggenggam erat tangan Laila begitu akan masuk ke hotel.

Di dalam kamar mereka, Edward mandi terlebih dahulu dan Laila membereskan bawaan mereka. Tak cukup lama Edward selesai dan membantu Laila. Setelah selesai Edward mengajaknya untuk duduk di dekat jendela. Dari tempat mereka, mereka bisa melihat pemandangan di luar. Dan ini menenangkan bagi Edward.

"Ayahku seorang petani, beliau meninggal saat aku masih dikandung ibu. Ibu lalu meninggal saat begitu selesai melahirkan ku. Yah, aku sudah menceritakan ini padamu. Setelah itu aku di asuh kerabat dari pihak ibu, lalu di jadikan babu untuk melayani keluarganya. Aku selalu di pukuli dan jarang di beri makan. Jika bisa memilih, aku sebenarnya tidak ingin terikat apapun. Tapi Islam adalah takdirku, dan itu bagian dari orang tuaku. Aku hanya menjalankan hidup dan tahu belajar dan bekerja hanya untuk bisa pergi dari sini",

Edward jeda sebentar sebelum menatap istrinya.

"Aku berteman dengan anak dari anggota mafia. Dia sering mengajakku melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, menipu, dan untuk pertama kalinya aku membunuh. Yang aku tahu hanyalah aku harus bertahan hidup. Karena itu lah aku sekolah sambil diam diam menjadi anggota mafia. Saat SMA aku mengkhianati bosku dan membunuh mereka semua lalu mengambil semua hartanya dan mendirikan kelompokku sendiri. Semua itu hanyalah untuk bertahan hidup, jika aku selalu menjadi bawahan aku hanya akan berakhir untuk tewas.....

......Aku berhasil di usia 20. Dan aku bermaksiat selama itu hingga 8 tahun kemudian engkau datang. Ku pikir aku hanya akan bermain main denganmu karena aku tidak pernah serius dengan wanita. Bagiku aku hanya perlu memikirkan diri sendiri. Tapi aku tidak bisa. Kau sudah menarik perhatianku sejak mata kita bertemu untuk pertama kalinya."

Edward tersenyum tulus mengingat saat itu.

"Melihat kau yang selalu menjaga ibadah, itu membuatku jadi terikut. Tapi aku sholat di mesjid dan mengaji di ruang kerjaku. Sama seperti kau yang senang beribadah tanpa mengatakan, aku mengikutimu",

Mendengar itu Laila tersenyum, Mesjid dari rumah mereka cukup jauh. Pantas saja sebelum waktu sholat Edward selalu keluar. Dia percaya suaminya.

"Aku baru ingat tentang Sunnah ketika kita sudah sah waktu itu. Ada doa dan ketentuan ketika akan menjadi suami istri. Karena itu lah aku cukup lama ketika akan masuk ke kamar. Aku mempelajari dan menghafalnya. Karena itu lah aku bisa memimpin ketika kita pertama kali memulainya. Maaf atas perkataan ku waktu itu",

Laila tersenyum lagi. Dia jadi teringat saat dia terkejut suaminya tahu adab berhubungan badan dulu.

"Sebelum kita sah, aku mengganti dapur. Menggantikannya dengan barang dan bahan yang aku beli dengan uang dari perusahaan yang ku kelola. Itu uang halal. Tidak ada riba ataupun campur tangan urusan mafia di dalamnya, aku bersumpah. Semua yang aku berikan padamu, itu dari penghasilan perusahaan. Demi Allah Laila. Kemarin aku emosi karena itulah aku mengiyakan saja. Maaf".

Laila menegang mendengarnya, dia merasa sangat menyesal.

"Tapi aku tetap tidak bisa meninggalkan mafia Laila. Aku sudah terlanjur mendirikannya dan banyak yang mengenal diriku dan kalian. Aku memiliki banyak musuh, satu satunya alasan aku mempertahankannya karena untuk bisa melindungi kalian. Jika aku melepaskannya, mereka akan tetap mengincar kita."

"Orang orang yang aku siksa semuanya adalah mereka yang ingin mencelakai kalian. Bahkan yang meracuni dulu juga aku menghabisinya. Demi Allah aku melakukan itu untuk melindungi kalian".

Laila terpekur, suaminya melindungi mereka. Hal yang di tanggung suaminya sendirian sudah pasti sangatlah berat. Dia... Ingin berbakti dan apakah ini tidak membuat Allah marah? Bagaimana jika di laporkan pada polisi atau di urus pihak berwenang? Tapi Laila segera sadar, mereka yang di maksud Edward bukan penjahat biasa. Mereka mafia, urusannya bisa menjadi semakin parah jika membawa ke jalur itu.

"Laila, maafkan aku. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Ku mohon tetaplah bersamaku", mohon Edward sambil menggenggam tangan Laila.

Harus bagaimana dia? Dia takut Allah tidak ridho jika suaminya melindungi dengan cara mengambil nyawa seperti itu. Tapi dia menghormati dan menghargai suaminya.

"Apa tidak ada pilihan lain?", tanyanya pada Edward yang terdiam.

"Ku mohon maafkan aku. Tetaplah bersamaku meski menyakitkan. Maafkan aku, aku akan memindahkan itu semua. Mereka tidak akan berada di rumah kita. Aku akan menjauhkan mereka dari kalian. Ku mohon Laila".

Laila ikut merasakan keresahan suaminya.  Dia tersenyum lembut lalu berdiri dan memeluk suaminya yang masih duduk. Edward balas memeluknya erat. Laila mengelus punggung Edward dan mengecup lembut kepala suaminya.

"Aku tidak akan pergi. Aku akan bersama dengan mu", ucapnya yang di balas pelukan erat oleh Edward.

He is Mafia [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang