Selamat datang di konflik, sayang.
Waktu berlalu dan Ghibran sudah berusia 2 tahun lebih. Masih belum ada yang berubah, atau mungkin sedikit lagi perubahan itu akan ada. Tentang sisi lain Edward yang tidak Laila ketahui.
Di malam yang larut, Laila yang kehausan berniat ingin minum air melihat semuanya. Ruang bawah tanah yang tidak pernah dia ketahui keberadaannya selama ini, para penjaga yang selalu menjaga sikap tiba tiba berubah seperti iblis dengan gembira memotong dan menyiksa banyak orang. Lalu, suaminya yang selalu merayunya dan menggoda anak anak mereka, dengan senyum menyeramkan menembak orang orang tanpa rasa bersalah. Laila bersyukur dia tidak berteriak saat itu dan dengan hati hati kembali ke atas. Dia, masih linglung dan tidak tahu harus bagaimana menyikapinya.
Keesokan paginya suaminya berlagak seperti biasa, merayunya dan menggoda anak anak. Pria inikah...yang semalam itu? Laila lengah, dia banyak melamun dan membuat suaminya curiga.
Seperti hal ini. Edward memang terkadang pulang jam 9 malam di saat anak anak sudah tertidur. Namun kali ini, dia tidak mendapati Laila dan Ghibran di kamar. Dengan tatapan datar dia menuju kamar Fatimah dan benar mereka ada di sini. Istrinya, melamun lagi.
Yang dia tahu Edward adalah pengusaha, seorang direktur. Sifat Edward semula congkak dan angkuh tapi sudah berubah. Edward tidak pernah merendahkannya, tidak pernah membentaknya, suaminya selalu baik pada dia dan anak anak. Tapi ini... Apa waktu itu hanya mimpinya? Tapi akalnya menolak bahwa kejadian itu adalah mimpi atau sejenisnya.
Untuk apa suaminya melakukan hal hal itu? Apakah... Itu pekerjaannya juga? Jika begitu.....
Laila dengan segera menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat pasi, dia lalu membasuh wajah dan membersihkan wastafel kemudian melihat cermin dan terkejut.
Edward dengan pelan menuju istrinya yang terkejut melihatnya. Dengan lembut dia menyingkirkan helaian rambut di kening istrinya.
"Apa perlu aku panggil dokter sekarang?", tanya Edward sambil menggenggam tangan Laila lalu mengecupnya pelan.
"Tidak perlu, ini tidak akan lama," ucap Laila lalu tersenyum pada suaminya yang menatapnya lekat lalu tersenyum miring.
"Kalau begitu, aku bisa mengunjungimu kan?". Edward langsung menggendong Laila dan membawanya ke kamar mereka.
Pagi ini Laila dan Edward tidak keluar untuk sarapan. Fatimah dan Ghibran di urus oleh Annie dan hingga sore kedua orang tuanya belum juga keluar dari kamar mereka. Sedangkan di dalam kamar, Laila tertidur dan Edward menunggunya sambil menghisap rokok dengan menyilangkan kaki menatap lamat Laila yang terlihat sangat kelelahan. Bayangan Laila yang ketakutan ketika dia sentuh semalam sangat mengganggunya.
Meremas rokoknya hingga hancur, Edward menuju Laila dan menindihnya. Di tatapnya tajam wajah ayu istrinya. Kenapa? Bukankah mereka sudah saling mencintai? Mereka memiliki pengikat yang kuat sekarang! Tapi kenapa? Kenapa Laila seakan akan ragu sekarang?! Ah, apa dia ketahuan oleh istrinya? Karena itu kah istrinya berubah?
Dia tersenyum jahat sambil mengelus wajah Laila. Apa Laila jijik padanya? Lucu sekali, sangat lucu hingga membuat Edward ingin menangis. Matanya menggelap lalu dengan nafsu dan amarah dia kembali menggauli istrinya.
"Edward?!", panik Laila sambil berusaha mendorong suaminya. Mengabaikan rengekan istrinya, Edward tidak mengindahkan apapun yang dikatakan Laila.
3 hari kemudian,
Laila menutup mulutnya dengan tangannya begitu Edward melempar seorang pria tepat di depannya. Mereka sedang berada di ruang tengah, dimana di ruang ini terdapat kamar Fatimah dan anak anaknya sedang bersama Annie di kamar Fatimah. Tubuhnya bergetar ketakutan melihat bagaimana Edward menyayat tubuh orang itu dengan pisau kecil hingga orang itu penuh dengan luka luka.
Edward tersenyum lalu bergerak menuju Laila yang dengan segera mundur membuat hati Edward panas. Tangannya terkepal kuat dan dengan agak kasar dia menarik Laila hingga menempel di tubuhnya. Tatapan keduanya bertemu. Saling menatap dengan tatapan yang tidak pernah keduanya berikan masing masing. Laila yang ketakutan dan Edward yang memendam kemarahan.
"Apa kau melihatku? Melihat bagaimana aku dan anak buahku membunuh orang orang itu? Karena itu kah kau menjadi seperti sekarang?!". Suara itu sarat akan emosi dan kecewa. Kenapa Edward harus merasa kecewa?
"Jawab!", ucap Edward dengan suara dingin yang bergetar menahan diri untuk tidak berteriak pada istrinya.
"Apa kau memberi kami makan dengan uang dari hasil itu?".
Rasanya Edward ingin menangis dan berteriak mendengar pertanyaan istrinya. Apa... Sebegitu takutnya istrinya? Amarahnya benar benar terpancing sekarang. Dengan senyum sinis, dia menatap intens Laila. Lailanya yang indah, istrinya yang sangat dia cintai. Kenapa rasanya sakit sekali?
"Semuanya. Makanan, pakaian, kebutuhan kita dan anak anak. Kau menggunakan uangku untuk itu. Sumber uangku adalah pekerjaanku untuk membunuh. Kau adalah istri dari seorang mafia, Edward Louis Colegio".
Dia dan anak anaknya, menggunakan uang haram? Anak anaknya yang sangat dia cintai melebihi dirinya sendiri tumbuh dengan uang haram? Sedekah dan amal yang mereka lakukan menggunakan uang haram? Rumah ini, keluarga kecilnya, apakah selama ini tidak mendapat ridho Allah? Karena dosa yang di lakukan suaminya?
Laila, dia tidak pernah membantah dan selalu menurut. Dia menghormati suaminya, sangat menghormati dan menghargainya. Kali ini dia lupa bahwa dia harus melakukan itu semua. Sama seperti Edward, dia juga kecewa pada suaminya.
"Tanda tangani surat cerai itu, itu yang kau pikirkan kan? Kau ingin bebas dari dosa dosaku kan?. Kau tidak akan membawa apapun dari sini, termasuk Fatimah dan Ghibran". Edward hanya sedang marah, dia sedang tersesat karena egonya agar Laila tidak pergi. Dia menggunakan anak anaknya untuk membuat Laila luluh dan memilih bertahan. Tapi kenapa? Kenapa Laila mengambil pena itu?! Lailanya? Lailanya akan meninggalkannya? Sudut hatinya berteriak untuk menghentikan ini semua, berpikir bahwa dia lebih baik memohon mohon agar Laila memaafkannya dan bertahan tapi egonya menahannya. Air mata sedikit menggenang di pelupuk matanya.
Laila tidak ingin melakukan ini. Dia tidak ingin meninggalkan suami dan anak anaknya. Dia menyayangi anak anaknya lebih dari apapun. Tapi, dia tidak mau terus seperti ini. Dengan kalut dia mengambil penanya dan ingin menanda tangani itu tapi...
Bayangan Edward yang sholat malam dan menyebut namanya, kebersamaan mereka, dia yang mengaji saat mengandung Fatimah dan Edward yang mengaji ketika dia mengandug Ghibran, ketika anak anaknya pertama kali menyebut Allah, lalu pertama kalinya mereka memanggil dia dan Edward. Semua hal yang mereka lalui selama ini, apa dia akan melepasnya begitu saja?
Suaminya yang tidak bisa jika memakai sarung, suaminya yang harus dia peluk, yang selalu merayu dan menggodanya, satu satunya pria dalam hidupnya selain paman dan ayahnya. Fatimah yang masih harus diingatkan untuk sholat dan harus dia tegur untuk berlaku lebih sopan pada ayahnya, Ghibran kecilnya yang sangat manja dan rewel.
Segala kelelahan dan kebahagiannya kala mengurus mereka, tangisan anaknya anaknya yang membuatnya terbangun di tengah malam, rengekan Edward ketika manja, kekesalannya karena kejahilan Edward. Apa dia.... Benar benar akan meninggalkan itu semua?
Edward, Fatimah, Ghibran. Allah membenci perceraian. Air mata mengalir dari mata Laila, dia melepaskan pena lalu merobek surat cerai kemudian membuangnya ke tempat sampah sebelum berlari ke kamar Fatimah.
Edward bernafas lega. Hampir saja dia menggila jika seandainya Laila menandatangani surat itu, badannya yang semula menegang perlahan mulai rileks. Dengan tajam dia tatap tempat tempat sampah itu lalu berteriak memanggil David.
"Hancurkan tempat sampah itu dan isinya. Jangan biarkan ada sisa dari benda itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Mafia [END]✅
Romance🥇niqob (10-08-2021) Laila, gadis yang mengikhlaskan dirinya menjadi tebusan hutang keluarga sang paman yang telah merawatnya sejak kecil. Edward, sang pria blasteran Amerika-Mesir menikahi Laila karena ingin mendapat pewaris. Benar benar kisah yang...