8. destiny

1.5K 92 10
                                    

"Asyhadu An laa ilaaha illallah waasyhaduanna Muhammadarrasuulullah," ucap Laila sebelum matanya tertutup untuk selamanya. Fatimah sudah lebih dulu kembali dan disusul olehnya. Ghibran menangis kencang beberapa saat sebelum akhirnya tangisan itu tidak terdengar lagi.

Edward melangkah cepat dengan mata yang memanas, jantungnya berdegup kencang dengan nafas yang memburu. Bangunan itu terlihat seperti tidak bersisa, hanya ada reruntuhan dan debu. Kakinya bergetar ketika sampai di tempat dia menyembunyikan keluarganya.

Paman Laila telah datang dan kini berdiri di sampingnya. Pria paruh baya itu terlihat terpukul saat mengangkat tubuh kedua keponakannya. Membiarkan Edward membawa Laila yang berlumuran darah dengan wajah pucat dan badan yang dingin.

Laila, apa aku boleh meraung? Apa aku boleh berteriak? Rasanya sangat menyakitkan. Hingga rasanya aku kesulitan untuk bernafas. Laila, bisakah aku?

Tangannya merengkuh tubuh itu, dengan perasaan hancur dia mengecup sayang kening istrinya. Istri Solehahnya, Laila yang sangat dia kasihi. Anak mereka yang belum melihat dunia, anak yang belum dia adzani, anak yang belum sempat Laia lihat kehadirannya. Kau selalu kami cintai, nak. Hati yang sedari tadi rapuh kian hancur begitu berjalan dengan tubuh kaku istrinya yang sudah tidak bernyawa. Padahal dia berharap masih bisa merasakan detak jantungnya.

"Fatimah sudah meninggal Edward".

Ucapan itu hampir saja membuatnya jatuh, dengan tegar dia kembali melangkah menuju ambulans lalu meletakkan Laila. Tangannya mengelus sayang wajah Laila lalu beralih pada Fatimah. Putrinya yang tumbuh baik dalam didikan Laila, malaikat kecilnya. Dingin menyambutnya ketika bibirnya mencium kening dan pipi Fatimah.

Di mana Ghibran? Dia lalu keluar dan mengedarkan pandangannya mencari putranya.

"Bayi laki-laki ini bernafas!Dia masih hidup! Segera bawa ke rumah sakit!".

Air matanya langsung luruh saat itu juga. Jantungnya terasa dipompa sangat kencang dan hatinya berdenyut. "Allah, ya Allah", lirihnya dengan suara bergetar. Dia kemudian sujud dan menumpahkan tangisnya dalam penyembahan pada sang Khaliq.

Ampuni hamba ya Allah. Ampuni hamba karena air mata yang deras ini. Ampuni hamba karena hati ini menyayangkan takdir yang telah engkau tentukan. Ampuni ya Allah.

Waktu berlalu dari peristiwa itu. Keadaan berubah. Edward meninggalkan semua hartanya untuk di urus sebagai penebusan dosa-dosanya. Dia juga menyerahkan diri dan sekarang berada di penjara. Tidak ada penyesalan meski dia dipukul dan tidak mendapat lagi kenyamanan. Hatinya sudah sangat lapang dan lega. Dia ingin menebus dosa-dosanya. Soal Ghibran, dia meminta tolong paman almarhum istrinya. Saat ini putranya sudah memasuki usia remaja sepertinya?

Hatinya untuk ribuan kalinya menjerit rindu pada peninggalan Laila yang masih berada dalam pandangannya. Air mata menggenang di pelupuk matanya, dia mendongkak agar air mata itu tidak luruh tapi tetap saja kerinduan ini membuat air matanya selalu jatuh.

Waktu berlalu lagi dan sekarang rambutnya sudah memutih. Badannya sudah tidak tegap, wajahnya kini sudah menua dengan keriput di sekitar matanya.

Tinggal sekitar beberapa langkah lagi dia akan masuk ke ruangan itu. Langkahnya terhenti ketika seorang pemuda berdiri di depannya. Di samping pemuda itu berdiri seorang wanita dan anak kecil yang menatapnya dengan senyum cerah.

Wajah pemuda ini, sangat mirip dengan Laila-nya. Edward menunduk malu ketika bertemu putranya dalam situasi seperti ini. Air matanya luruh ketika pemuda itu memanggilnya ayah. Kerinduan ini semakin membuatnya sesak. Tangannya merengkuh erat Ghibran yang menangis.

"Terima kasih telah tumbuh dengan baik".

Istri dari putranya mencium tangannya penuh rasa menghargai, sama sekali tidak dia dapati rasa jijik atau tertanggung dari istri Ghibran. Lalu anak kecil ini, cucunya yang menatapnya penuh binar memeluknya senang dengan sedikit berceloteh tentang dia yang selalu rindu bertemu dengannya.

Edward mengecup penuh sayang cucunya sebeluk akhirnya masuk ke ruangan itu. Telinganya masih sempat mendengar isak tangis yang lirih dari putranya.

Meski sebuah kain hitam menutupi kepalanya dia dapat merasakan bahwa didepannya, senjata itu mengarah tepat padanya. Menutup matanya, bibirnya melatunkan syahadat dengan hati yang tenang karena akan bertemu dengan Tuhannya. Tuhannya yang telah memberikannya hidayah melalui Laila dan semua hal yang terjadi padanya.

"Laila, putra kita tumbuh dengan baik. Dia bahkan sudah berkeluarga. Fatimah, kau memiliki ipar sekarang. Keponakanmu juga lucu. Aku merindukan kalian".

End

Prakata dari saya:'Jangan tinggalkan doa berlindung dari azab kubur, neraka jahanam, fitnah hidup dan mati, dan fitnah Dajjal'

He is Mafia [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang