Melupakan

4 0 0
                                    

" Anjing, mahal banget gila iurannya," teriak Bagas dari belakang.

" Hei, apasih emang segitu bege, lagian kasihan Mitha harus urus tuh kaos Lo Lo pada anjir, bayar laundry juga lah. Lo mau gue suruh nyuci anjing," sahut Viska dengan wajah garangnya.

" Ya—ya kaga lah, apasih nyuci doang pake acara loundry segala, tinggal nyuci sendiri-sendiri apa susahnya?" Lanjut Bimo guna membela temannya.

Bagi mereka teman adalah segalanya, walau satu kelas tapi antara siswa cowok sama cewek selalu saja membuat onar, disini nggak bakal numuin cewek cowok duduk berdua. Di sisi cowok, cewek adalah makhluk yang ribet, berbelit, nan rumit. Sebaliknya cewek menganggap cowok di kelasnya nggak ada yang cool sama sekali yang ada hanyalah gerbolan cowok yang nggak peka, maunya menang sendiri, serta menganggap hal-hal penting seperti saat ini sebelah mata. Mereka adalah hujan dan senja mereka nggak bakal menyatu, namun salah satu mereka berhak mengalah terhadap yang lain, serta angkasa adalah kelas mereka.

Namun hal hangat seperti ini tak bisa di rasakan Mitha, ia masih menggap dirinya berbeda. Belum ada satupun orang yang benar-benar ada di hidupnya saat ini, bahkan untuk sahabatnya, Rahma.

" Lagian nggak masuk akal kali, kalo iuran dua puluh lima ribuan, coba deh di hitung tiga puluh siswa loh di sini, totalnya tiga per empat juta gila kan?" Timpal Bagas yang baru selesai dengan hitungannya

"Emang mau sewa sehari aja apa?— oh mau langsung surend?— yaudah sih pake acara juta-juta,hyperbola tau. Yaelah cuma tujuh ratus lima puluh ribu, toh iuran cuma sekali aja, miskin banget sih hidup Lo," emosi Viska tersulut.

" Ya nggak gitu lah, tau ah semua cewek ngeselin emang nggak bakal menang, kalopun iya cuma di anggap cupu," Bimo berusaha mereda Bagas.

Sebagai kaum cowok Bagas tau melawan cewek adalah tindakan yang bodoh, ntah  seperti apa cara mereka mengasah mulutnya, tajam bak pisau.

"Nah gitu dong sadar diri, beraninya kok sama cewek," gerutu Viska

" Oke semuanya diam," Viska marapihkan sikapnya, kini Viska sudah mengantongi keputusan musyawarah.

" Untuk iuran nggak ada masalah yaaa— semuanya setuju kan?" Sorot matanya tertuju kepada semua siswa.

Yang berarti mau tidak mau semuanya harus patuh terhadap kata-katanya, seperti yang di ketahui Viska adalah seorang yang teguh pada sikapnya, selagi ia anggap benar semuanya wajib patuh. Bisa di bilang agak otoriter.

" Iya setujuuuu Ika cantik," sahut beberapa siswi putri bersamaan termasuk Mitha.

Hal ini membuat wajahnya tersipu, terlihat pipi putih itu memerah, serta senyuman yang yang tak dapat ia bendung pun tak luput dari pandangan siswa.

Ia membalikan badannya dengan cepat, ia berusaha menormalkan sikapnya. Bibirnya menekan satu sama lain serta matanya yang tertutup menjadi caranya untuk menghilangkan rasa grogi. Ia kembali menghadap kelas.

" Ehem, oke pengumpulan uang di mulai hari ini, yang sudah ada bisa langsung di setorkan ke gue, ntar gue catet. Yang terakhir bayar dobble oke," ucap Viska mengakhiri pembicaraan.

" Suka-suka Lo aja lah anjir, bete gue," ucap Bimo kesal.

"Nggak dong bercanda Bimo sayang," rayu viska.

"Cieeeeeeeeee, Bimo salting woooy," teriak Galang yang sedari tadi diam menyimak. Semua siswa tertawa.

Viska duduk di bangkunya dengan elegan, beberapa siswa putri langsung mengerubung mejanya.

"Hey bim gue ngerasa viska beneran sayang ama Lo tau," ledek Bagas

Bimo yang sedari tadi duduk di meja pun risih, ia kembali menuju bangkunya.

"Yaelah baperan amat loh bim, udah dua tahun bareng tetep aja kek anak kecil," teriak Bagas

"Apasih gue mau ambil dompet, bayar iuran biar nggak di sangka miskin kaya Lo," sahut Bimo enteng

Bagas kehilangan kata-kata, bahkan mungkin harga dirinya. Siswa yang lain hanya tertawa, terlihat Galang yang di samping Bagas pun menepuk-nepuk punggungnya.

Setelah menggambil dompet, Bagas menuju ke bangku paling depan tempat duduk viska. Beberapa siswipun sudah kembali ke singgasananya, yang berarti hanya ada Viska dan Bimo.

" Vis—Ini," mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dompet.

"Buat gue?" Sahut viska polos

" Iya buat Lo— tapi gue bayari iuran yaa," timpal Bimo

"Bener loh," ia tanpa ragu menarik lembaran warna biru tersebut.

"Gue catet nomer tujuh Bimo sayang, pake love nggak nih belakangnya?" Tanya viska.

"Terserah," ketus Bimo

"Berarti iyaa, nah nomer delapan Viska cantik— makasih ya bim," ucap viska berterima kasih terlihat pula lingkaran sabit di wajahnya. Bimo tersenyum lalu kembali ke teman-temannya.

Dari belakang terkesan obrolan itu biasa saja, namun tak di sangka ternyata memang Bimo dan Viska sedang dekat saat ini.

Baru saja kembali duduk di meja, tiba-tiba seorang berumur empat puluhan itu masuk keruangan. Beberapa sisiwa panik kembali ke tempat duduknya masing-masing termasuk Bimo.

"Selamat pagi anak-anak,"

"Pagiii buuu,"

" Tadi siapa yang duduk di meja? Kaya di warung aja,"sindir Bu Wati

"Di warung nggak boleh kali Bu duduk di meja," Sahut Bimo membela diri

"Berarti kamu lebih buruk dari itu, nak," Bu Wati terkekeh, beberapa siswa juga tertawa.

" Udah- udah kasihan nak Bimo, kita sebagai orang terpelajar harus mempunyai adab, paham ya anak-anak,"

" Paham Buu,"

"Sebelumnya berdoa dulu coba nak Bimo pimpin doa,"

Bimo sudah menduganya,

"Baik bu, sebelum mengawali pembelajaran pada pagi hari ini, sebaiknya kita berdoa semoga tuhan meridhoi ilmu yang kita dapat, berdoa sesuai agama dan keyakinan masing-masing— mulai,"

Beberapa siswa menundukkan kepalanya sembari menadahkan kedua tangan, setelah selesai mereka mengucap aamiin sembari mengusap wajahnya.

"Materi kita hari ini apa anak-anak?— Bimo apa?"

" Kok saya lagi sih Bu, Bagas juga tadi Bu," protes Bimo yang merasa dirinya di rugikan.

"Bagas apa?" Suara lembut keluar dari mulut ibu berumur empat puluh tahun itu

"Medan magnet Bu," ucap Bagas

"Kan itu pembelajaran kemarin Bagas, hari materinya induksi Magnetik, ohya materi kemaren kelas ini belum ulangan ya mau UH dulu?" Tanya Bu Wati

"Nggak Bu,"

"Dadakan sih Bu,"

"Ih jangan Bu,"

Teriak beberapa sisiwa protes sahut menyahut termasuk Mitha.

"Yang mau ulangan dulu siapa?"

Semuanya memandang satu sama lain mengisyaratkan jangan.

Seperti yang di ketahui, sikapnya yang lembut pun agak menyeramkan pasalnya jika ada satu siswa memilih siap, maka siswa yang lain pun harus tunduk terhadap keputusannya. Agak aneh bisa di bilang Bu Wati melawan guru yang lain, jika mereka memilih mayoritas, ibu tiga anak ini malah memilih minoritas sebagai acuan pengambilan keputusan.

Kini mereka harus satu suara.

"Yaudah jika nggak ada yang mau, kita lanjut materi berikutnya, Ada yang mau ditanyakan tentang materi saat ini?"

Beberapa siswa mulai aktif satu per satu menanyakan materi. Bu Wati pun merasa metode seperti ini sangat efektif di banding lainnya. Kini iya menjelaskan satu persatu dengan jelas kepada muridnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KAU HARUS MENCINTAIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang