[#14]

89 12 0
                                    

Basah. Lengket. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh cairan yang terasa agak pekat. Kesadaran mulai merayapinya.

Begitu matanya terbuka, spontan Amelia menghirup oksigen dengan kalap, terengah-engah, seolah takut udara yang tersisa di muka bumi ini tidak akan cukup untuk memenuhi asupan paru-parunya. Dia menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang menapak lantai Maze. Dadanya naik-turun. Paru-parunya terasa seolah baru melaksanakan fungsinya setelah tadi beristirahat dari tugasnya untuk beberapa jam. Tentu tidak. Saat dia kehilangan kesadarannya, paru-parunya tetap berfungsi seperti biasa. Hanya saja Amelia tidak bisa merasakannya.

Mimpi itu. Thomas. Terasa sangat nyata. Kecurigaan apa yang dia bicarakan pada Thomas. Apa yang dia dan Thomas bahas.

Mimpi. Amelia mengulang. Hal wajar yang dialami oleh setiap manusia ketika tidur. Kebanyakan mimpi berisi hal yang tidak bertaut dengan kehidupan nyata. Tidak berpengaruh. Tidak penting saat kita sadar dan melakukan kegiatan. Itu sebabnya otak mengabaikan dan menghapus memori mimpi kita, sehingga kita akan segera melupakannya.

Tapi ini berbeda, tidak terasa seperti mimpi. Seperti ingatan yang terhapus, lalu kembali lagi. Sangat nyata dan Amelia merasa pernah mengalaminya di satu masa sebelum dia tiba di Glade. Amelia menggeleng, bukan itu yang harus dia cemaskan dan pikirkan saat ini.

Matanya mengawasi sekitar. Dia masih berada tepat di tempat yang sama saat dia kehilangan kesadarannya, lorong Maze yang sama. Tidak berpindah sama sekali. Yang berbeda adalah tubuhnya yang tadinya kering sedikit basah oleh keringat, sekarang menjadi basah dan lembab. Dia mendongak, sepertinya hujan telah turun tadi. Hal berbeda lainnya; cahaya redup bulan yang menerangi langit gelap dan lorong Maze yang sangat suram.

Brengsek. Dia terjebak di tempat mengerikan ini. Neraka adrenalin yang semakin tinggi tingkatannya. Maze telah menelannya.

Tetap tenang. Berpikir jernih.

Dia mengulang kata-kata itu selayaknya mantra dalam kepalanya. Hirup-hembus. Berulangkali dia melakukannya, sampai kepanikan yang dia rasakan menguap pergi.

Beberapa saat dan dia menyadari sesuatu. Kedua sudut bibirnya terangkat. Kesempatannya untuk meregang nyawa di sini sangat besar. Dia tidak perlu bunuh diri. Greiver akan datang dan membunuhnya. Hebat.

Tangan terangkat menyentuh tengkuknya. Capung itu, pasti ada semacam obat bius atau hal semacamnya dari jarum yang menusuknya. Pasti ulah Creator. Apa sebenarnya tujuan mereka menyiksanya dan para Glader lainnya. Brengsek. Tidak ada petunjuk untuk menjawab itu.

Oke, saatnya fokus. Hal pertama yang harus dia lakukan untuk mempertahankan hidupnya; membersihkan luka yang cukup dalam tergores di telapak tangannya. Pendarahannya telah berhenti. Dia melepas ranselnya, untung saja itu anti air, mengeluarkan kantung kecil berisi perban, alkohol dan obat merah. Salah satu perlengkapan Runner untuk antisipasi. Semua Runner memilikinya. Mereka harus bersiap untuk kondisi apa pun.

Amelia mulai membersihkan lukanya menggunakan alkohol. Meneteskan obat merah di sepanjang luka, menahan rasa perih dari efek obat. Lalu, membalut telapak tangan kirinya dengan perban.

Hal kedua yang harus dia lakukan; lari. Dia tidak bisa hanya berdiam diri di sini saja, menunggu kencannya tiba bersama Griever. Benar, dia memang ingin mati. Tapi seperti yang sebelumnya pernah dia jelaskan, dia akan mati dengan mempertahankan hidupnya, mencoba lari dari kematian itu sendiri. Sebab, itulah cara dia menghormati dan mensyukuri kehidupan yang telah diberikan padanya. Tidak waras, memang.

Amelia berdiri setelah membereskan semua perlengkapannya. Mengambil pisau yang tadi terjatuh, menyelipkannya pada kantung ransel yang mengait pada bahunya, dia tidak perlu memotong sulur tanaman untuk membuat jejak. Tidak berguna, dia akan sepenuhnya mengandalkan ingatan otaknya. Setelahnya, dia melakukan perengangan pada tubuhnya yang kaku.

Literally, I'm In Hell || ff TMRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang