17 - Good Morning

105 22 1
                                    

Marah itu level yang berbeda.
Tidak sebanding dengan kesal.

-

-

Semua benar-benar di luar dugaan.

Seulta menggeram saat Ryu tidak mengangkat telponnya. Dua kali menghubungi, dua kali tidak diangkat. Dihubungi kembali, ponselnya langsung tidak aktif. Seulta tahu anaknya pasti punya masalah sekarang. Ada sesuatu yang ingin disembunyikan, atau barangkali tidak mau diberitahu.

“Ada apa dengan anak ini ya Tuhan!” Ponsel yang ia pegang nyaris saja dilempar ke sembarang arah. Emosinya meluap.

Ryu tidak pernah membangkang. Tidak pula mengabaikan Ibunya sendiri seperti ini. Dengan fakta bahwa Ryu adalah anak yang sangat menurut, Seulta menjadi bingung harus bagaimana.

Suaminya juga entah bekerja apa sampai-sampai ponselnya sibuk selalu. Seulta emosi setengah mati. Dengan pribadi tegas dan dingin, Seulta berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menahan umpatannya. Kalau saja dia adalah lulusan sekolah dasar dan lahir di tempat yang minim akhlak, mungkin Seulta sekarang sudah teriak-teriak dengan berbagai macam ucapan kotor.

Seulta akhirnya melangkah keluar rumah untuk memanggil supirnya. Haruskah dia menjemput Ryu? Masih sangat banyak pekerjaan yang harus ia lakukan di luar. Benar-benar memusingkan. Diabaikan oleh anak penurut rupanya sangat menyebalkan, lebih dari yang pernah ia duga.

“Kau cari dia lagi.” Seulta menyuruh supirnya untuk menjemput Ryu untuk kedua kali. “Harus ketemu.”

Supir itu sudah berusaha keras mencari Ryu, tapi gadis itu tidak ditemukan di sekitar sekolah. Ke mana lagi harus dia cari. Terpaksa, harus ia cari sampai dapat.

Kenapa anak tunggal yang amat dapat diandalkan itu  berubah jadi anak tukang kabur dalam satu hari?

-

-

-

Apa aku menginap di hotel? Tidak, tidak. Banyak lelaki hidung belang.

Di rumah Yami? Tidak juga. Aku sudah menolaknya tadi.

Bertanya solusi pada Taehyung? Ah, jangan. Merepotkan.

Isi kepala Ryu berputar semakin jadi. Kenapa dia jadi banyak berpikir begini, sih? Ke mana sosok Ryu yang pintar dan dapat diandalkan itu pergi?

Dia menggendong tasnya dengan langkah yang gontai. Memasuki supermarket dan membeli roti serta susu di sana. Keluar lagi masih dengan gelagat yang sama. Apa pun yang terjadi malam ini, Ryu tidak akan pulang.

Ponselnya bahkan tidak ia hidupkan sejak siang tadi.

“Ibu pasti marah besar,” gumamnya pada diri sendiri.

Yang jalan kaki, yang lelah pikiran. Ryu mengutuk dirinya sendiri yang seperti gembel melangkah di pinggir jalan dengan tatapan yang menyedihkan. Memikirkan tidur di mana jauh lebih baik daripada harus berkutat dengan, kenapa aku bisa di peringkat 6?

Ryu muak mengingatnya.

Dia lemah hanya karena sebuah nilai. Ryu benci fakta itu.

Kakinya sontak berhenti setelah berjalan cukup lama entah ke mana. Dia menutup matanya sebentar, dan kemudian berbalik arah. Tatapannya masih sama, menyedihkan seperti tadi, tapi kini kaki Ryu bergerak cepat, berlari dengan langkah yang lebar.

Ryu kembali ke sekolah.

Dia memutuskan tidur di kelas saja.

-

Bad Boy is HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang