HEALING

23 8 5
                                    

"So, she is a psychologist ...," gumam MJ pada dirinya sendiri lalu ia memerhatikan punggung tangannya yang sudah terpasang infus kembali, seulas senyum samar terukir di bibir MJ.

MJ tidak sabar menunggu pertemuan berikutnya dengan psikolog yang ia kira adalah seorang pelajar, yang sudah bertemu dengannya secara tidak sengaja sebanyak tiga kali, ya, tiga kali termasuk hari ini dan setiap pertemuan dengannya selalu berawal dengan kegaduhan kecil kalau enggan dikatakan kacau. MJ memandangi sandalnya lalu kemudian merasa menyesal karena tidak segera meminta maaf pada gadis itu, gadis yang bernama unik, Karamel.

***

Ini adalah hari pertamanya melakukan konseling dengan Karamel dan sejak tadi dirinya tidak bisa berhenti untuk tidak mengedarkan pandangannya di dalam ruangan praktek Karamel. MJ merasa seperti terlempar pada dimensi lain, di sini bukan seperti ruang praktek psikolog yang ia bayangkan dengan ruangan yang serba putih, meja yang juga berwarna putih, komputer yang terletak di atasnya lalu dua buah kursi pasien dengan timer otomatis yang akan digunakan selama sesi konseling.

Ruangan ini terasa bersahabat dengan sofa berwarna ungu pastel, bantal sofa bermotif tribal dengan warna ungu cerah berselang seling dengan warna kuning serta shocking pink. Buku-buku yang berjajar rapi di rak sangat bertolak belakang dengan meja kerjanya yang terlihat sedikit berantakan, buku-buku tebal yang menumpuk di sisi kanan lalu entahlah mungkin sisanya adalah kertas-kertas laporan dan jurnal yang dibiarkannya terbuka.

MJ memandangi sosok gadis itu, sapuan make up tipis nan natural menghiasi wajahnya, menggunakan lipbalm warna peach membuatnya terlihat segar. Pakaiannya terlihat bertumpuk semakin membuatnya terlihat imut-imut.

"So, you are a psychologist?"

Karamel memandangi MJ yang sudah berada di hadapannya, kapan dia masuk ke ruanganku? Mengapa aku tidak menyadarinya?

"Have a sit, please ...," tanpa menyia-nyiakan kesempatan, MJ segera duduk dengan nyaman di sofa yang sejak lima menit lalu dipandanginya.

"Maaf, aku tidak tahu kalau kau datang," sambut Karamel yang mengambil tempat duduk berhadapan dengan MJ. "Kau mau minum kopi?" tawar Karamel.

"Americano, please."

Karamel segera bangkit dari duduknya melangkah ke sudut ruangan untuk membuat kopi, pilihannya tepat menyediakan mesin kopi otomatis sehingga ia bisa berbincang dengan para pasiennya secara lebih santai. Tidak semua orang suka diperlakukan seperti pesakitan apalagi dilabeli sakit jiwa.

"Ini kopimu."

"Terima kasih."

"Hmm ..., wait ... have we met before?" pancing Karamel untuk membuka percakapan lebih lanjut.

MJ menyesap kopinya dengan perlahan, rasanya sudah lama ia tidak menikmati minumannya dengan suasana santai seperti ini.

"Yes, we've met before. Three times. first at the coffee shop and I'm really sorry about that, second at the seafood restaurant but you didn't realize I was there ..."

"Really?" potong Karamel sambil membulatkan matanya tanda tidak percaya.

"Yes, I was there. Aku mengira kau seorang pelajar karena penampilanmu saat itu seperti seorang pelajar di mataku."

"The third?"

"At the hospital."

Ingatan Karamel jatuh pada sandal yang mendarat tepat di kepalanya, mengingat kejadian itu menyisakan senyum di bibir Karamel, sayangnya MJ tidak menyadari hal itu. "Kau berhutang padaku."

KaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang