21

423 50 23
                                    

*Kalau ada yang tulisan dan kalimatnya kurang jelas atau typo, tolong komen ya. Nanti aku perbaiki. Thank you.

Raka merogoh kantong bajunya saat merasakan getaran dari ponselnya. Kebetulan lampu lalu lintas sedang menunjukkan warna merah, sehingga Raka memiliki kesempatan untuk menjawab telepon yang masuk. Ia mengernyitkan kening saat melihat nama kakaknya muncul di layar. Tumben sekali.

"Hallo, Kak?" jawabnya setelah menyentuh tombol hijau dan menyalakan speaker. Raka meletakkan ponselnya di paha dan mengembalikan pandangannya ke depan, berjaga kalau lampu berubah menjadi hijau. 

"Lagi sama Kina gak?" tanya Irene dari seberang sana.

"Enggak, gue lagi di jalan, sebentar lagi mau sampai rumah. Kenapa?"

"Bisa bilangin Kina buat masakin gue nasi bakar yang biasa Ibu bikin gak? Kina kan pernah diajarin buat bikin itu sama Ibu, terus dia bisa dan rasanya juga mirip. Gue mendadak pengin makan itu." Irene menjelaskan tujuannya untuk menelpon Raka. "Gue tadi sudah coba buat telepon Kina, tapi gak dijawab sama dia. Mungkin Kina lagi sibuk ngurusin Asta kali, ya?"

"Iya, mungkin. Mau dibikininnya kapan? Malam ini?" tanya Raka, sambil perlahan menjalankan mobilnya saat melihat lampu berubah warna. 

"Ya, enggak malam ini juga, Raka. Besok atau lusa, mungkin? Pokoknya lo tanya Kina dulu, dia merasa direpotkan atau enggak. Gue gak mau membebani dia, bebannya sudah cukup banyak karena ngurusin lo." Irene menyelipkan ejekan untuk adiknya.

"Sialan lo," sahut Raka, merasa tak terima. "Kenapa gak minta bikinin sama Mbak aja, sih? Bukannya Mbak pernah diajarin juga ya sama Ibu?"

"Memang pernah, tapi rasanya beda. Lebih enak buatan Kina."

"Oke, nanti gue sampaikan ke Kina."

Ujung bibir Raka secara tak sadar membentuk senyuman. Ia senang ketika ada yang melemparkan pujian untuk masakan istrinya. Raka merasa beruntung, karena Kaneisha sempat mempelajari beberapa resep masakan ibunya sebelum beliau pergi, sehingga ia dan kakaknya bisa meminta dibuatkan masakan kesukaan mereka kalau sewaktu-waktu rindu pada sang ibu. 

"Ngomong-ngomong, lo sudah pernah mampir ke makam ayah dan ibu?" tanya Irene dengan suara yang terdengar ragu. Ia takut kalau-kalau Raka masih agak sensitif jika membahas tentang orang tua mereka. "Kemarin anniversary pernikahan mereka loh, Rak."

"Gue tahu," jawab Raka dengan cepat. Ia sama sekali tak lupa dengan tanggal pernikahan kedua orang tuanya. "Gue belum merasa siap buat kembali ke sana, Kak."

"Ya, sudah, gak apa-apa, tapi nanti tengokin, ya? Mereka pasti kangen banget sama kalian, mumpung mereka belum sepenuhnya pergi." Irene terdengar berusaha menghibur adiknya. Suaranya terdengar sedih, Raka dapat menangkap itu. "Ibu dan Ayah tuh senang kalau ditengokin sama kalian. Mereka gak suka jauh-jauh dari anak dan cucunya. Makanya, rumah kita sekarang jaraknya gak begitu jauh sama rumah mereka dulu. Ya, walaupun gak dekat-dekat banget juga, ya setidaknya gak sejauh rumah lo dan Kina dulu."

"Iya," jawab Raka singkat. "Ada lagi gak yang mau diomongin? Kalau gak ada, sudah dulu ya, Kak? Gue sebentar lagi sampai rumah nih." Raka memilih untuk menyudahi obrolan mereka, sebelum menjadi terlalu panjang dan membuka luka yang belum sepenuhnya pulih.

"Ya, sudah, hati-hati di jalan. Gak usah ngebut."

Raka hanya berdeham pelan untuk mengakhiri percakapan mereka. Ia membiarkan Irene untuk memutuskan sambungan telepon mereka, karena kedua tangan dan matanya kini sedang sibuk memperhatikan jalan.

***

Jevan memilih untuk mengantarkan Irish pulang setelah mereka selesai makan bakpau dan nasi goreng di pinggir jalan. Hari sudah mulai gelap, tak tega rasanya jika ia membiarkan perempuan itu pulang sendiri.

Broken WindowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang