25

365 32 11
                                    

Raka memberikan aba-aba saat ia merasa siap untuk keluar. Kaneisha langsung berdiri di belakang suaminya, mengikuti langkah Raka yang telah membuka pintu. Mereka sengaja tak menyalakan lampu rumah dan hanya menggunakan senter di ponsel sebagai sumber penerangan, agar tak terlalu mengundang perhatian. Tangan Kaneisha selalu bersedia untuk menyemprotkan pepper spray yang ia bawa, kalau-kalau ada serangan mendadak.

"Pintu kamar Asta," bisik Kaneisha, setengah panik. Ia menahan tangan Raka dan menghentikan langkah suaminya, lalu menunjuk ke arah pintu kamar Kanasta yang sedang terbuka. "Sayang, coba senternya arahin ke kamar Asta, soalnya pintu kamar Asta kebuka."

"Bahaya, Sayang."

Sebuah benda kembali terdengar jatuh dan arahnya dari dapur. Namun, kali ini mereka mendengar suara lain yang mengikuti. "Uh-oh."

"Asta?!"

Kaneisha dan Raka saling berpandangan. Mereka bergegas menuruni tangga dan menyalakan lampu di lantai bawah, lalu pergi ke dapur. Keadaan dapur sebenarnya gelap, karena Kaneisha sudah mematikan semua lampu di sana sebelum ia tidur. Namun, saat sampai di sana, sebuah cahaya terlihat menerangi dapur: lampu kulkas yang sedang terbuka.

Kanasta.

Anak itu duduk di depan kulkas bersama kotak makanan yang saat ini berhamburan di sekitarnya. Ia terlihat berusaha membuka salah satu dari kotak-kotak itu tanpa menyadari kehadiran orang tuanya.

"Ya Tuhan, Kanasta," ujar Kaneisha, langsung menyambar anak itu dengan pelukan. Kepanikan yang dirasakan Kaneisha seketika sirna saat melihat putranya baik-baik saja. Ia periksa sekujur tubuh anak itu, memastikan tak ada luka atau semacamnya. "Asta ngapain di sini, Nak? Bahaya loh ke dapur sendirian, apalagi malam-malam begini."

Berbeda dengan Kaneisha yang telah kehilangan fokus, Raka tetap berjaga di dekat mereka. Pandangannya mengamati sekeliling rumah, memastikan kalau situasi benar-benar aman dan Kanasta bukanlah pancingan semata. "Asta, kamu ke sini sama siapa? Kenapa bisa ada di sini?" tanyanya menghampiri anak dan istrinya.

Pertanyaan Raka membuat Kaneisha berpikir, apa ia telah melakukan kesalahan dan lupa menutup pintu kamar Kanasta? Ia mulai ragu dengan ingatannya sendiri saat ini.

"Asta," jawab anak itu sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Asta ke sini sendirian? Gak sama siapa-siapa?" Kaneisha mencoba memperjelas, anak itu memberikan anggukan kecil. "Terus Asta mau ngapain ke sini, Nak? Kenapa gak panggil Mama atau Ayah?"

"Asta amamam," jawabnya sambil memegangi perutnya.

"Asta mau makan?" Kaneisha kembali menanyai. Anak itu memberikan anggukan kecil sebagai jawaban.

"Kamu urus Asta dulu, ya? Aku mau periksa keadaan rumah, mau memastikan kalau gak ada siapa-siapa," ucap Raka yang masih merasa was-was. Komplek rumah ini harusnya aman, karena ada satpam yang berjaga di gerbang masuk. Namun, tak ada salahnya untuk tertap waspada, terlebih mereka baru pindah dan belum begitu familiar dengan tingkat keamanan di sini. "Langsung teriak aja kalau lihat atau dengar sesuatu yang mencurigakan, oke?"

"Iya, hati-hati, Sayang," ujar Kaneisha. Ia sebenarnya merasa berat melepas Raka sendirian, tetapi ia juga tak bisa meninggalkan Kanasta, apalagi anak itu sedang merasa kelaparan. Kaneisha kemudian berdiri dan membuka salah satu laci di dapurnya, tempat ia menyimpan berbagai jenis pisau dapur. "Bawa ini, supaya lebih aman. Tongkat baseball gak bisa melukai atau bunuh orang, Raka."

Broken WindowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang