11. Mood Booster and Mood Breaker

1.4K 135 46
                                    

kalau ada typo mohon dimaafkan🙇🏽‍♀️

.......

Malam ini seperti permintaan ayahnya. Zoya duduk di meja makan dan ada Daniel di sampingnya. Sedari tadi Zoya hanya diam, sibuk mengaduk nasi di piringnya. Tidak peduli dengan apa yang dilakukan dua pria di sana.

Sang ayah yang tak henti-hentinya memuji calon menantunya dan sang menantu yang tersipu malu setiap mendengar pujian itu. Hebat sekali mereka bisa menikmati makan malam dengan ceria sedangkan Zoya terus merasa tidak nyaman.

Jika saja bukan karena menjaga kehormatan ayahnya, mana mau Zoya berada di tempat ini sekarang. Menyebalkan. Rasanya ia ingin sekali pergi dari sini sekarang.

"Om sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan kalian. Rasanya itu, pengen cepet-cepet punya menantu yang bisa jaga putri semata wayang om," celetuk Herman— ayah Zoya.

Lalu di susul Daniel yang juga ikut tertawa mendengar pernyataan calon mertuanya. "Ah, bisa aja om ini."

"Tapi kamu tau apa yang paling buat om gak sabar?"

Daniel menaikkan kedua alisnya. "Apa om?"

"Cucu! Om gasabar gendong cucu. Membayangkan dipanggil kakek terus megang jari kecilnya, pasti om bakal merasa jadi orang paling bahagia di dunia ini."

Zoya mengeratkan genggaman pada sendoknya. Ucapan Herman tadi langsung menohok ulu hati Zoya. Rasa bersalah mulai menggerayangi tubuhnya. Sebenarnya Zoya akan dengan senang hati mengabulkan permintaan ayahnya. Hanya saja, dari jutaan pria di luar sana kenapa harus Daniel yang Herman pilih. Kenapa harus orang yang— ah sudahlah lupakan saja.

Ia sudah tidak tahan harus berpura-pura menyukai perjodohan ini. Tanpa basa-basi lagi Zoya meletakkan sendok makannya, melihat sebentar dua orang yang masih saling bercengkrama, lalu beranjak dari kursi begitu saja.

Daniel sudah menyadari jika cepat atau lambat Zoya pasti akan pergi dari ruang makan ini. Tapi Daniel memilih untuk memperhatikan Zoya secara diam-diam Lalu tersenyum tipis saat mengetahui perkiraannya benar.

"Om, saya permisi dulu. Saya harus mengobrol sebentar dengan Zoya," ucap Daniel dan langsung mengikuti Zoya setelah mendapat persetujuan Herman.

🍑🍑🍑

Zoya duduk di pelataran rumahnya. Menatap bulan purnama, merasakan hembusan angin yang tenang, suara daun bergesekan dan samar-samar terdengar suara laju kendaraan.

Mungkin bagi kalian ia terlalu berlebihan dalam menanggapi rasa bersalahnya. Tapi jika kalian berada di umur yang sudah tidak muda lagi, maka kalian pasti akan mengerti perasaan ini.

"Boleh gabung?"

Zoya hanya diam. Ia tak berminat untuk menanggapi. Tatapannya masih fokus pada rembulan.

"Hampir tiga belas tahun aku deket sama kamu, tapi aku baru tau kamu suka liat bulan." Daniel terkekeh lalu ikut melihat rembulan.

Memang, wajahnya terlihat ceria. Namun jauh di lubuk hatinya ia menangis sekaligus menertawai betapa bodoh dan jahatnya ia sepuluh tahun yang lalu.

Membuang permata hanya untuk sebuah krikil. Andaikan saja ia tidak menuruti nafsunya apa sekarang hubungannya dengan Zoya tidak seperti ini? Andai ia sadar lebih cepat apa akhirnya akan berbeda?

Tertawa. Padahal ia sedang tertawa tapi kenapa tawanya terasa begitu menyesakkan.

"Zoy?"

Dearest TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang