Bagian 2

5 2 0
                                    

"Bi, Senja mau keluar sebentar, nanti tolong kalo ada paket langsung taruh di kamar Senja aja, ya," Senja berpesan kepada Bi Siti, sambil mengenakan sepatu ketsnya.

Beliau adalah Bi Siti, asisten rumah tangga sekaligus pengasuh Senja. Sedari Senja kecil, Bi Siti lah yang sejak dulu mengisi bagian kosong pada diri Senja. Baginya, beliau adalah seseorang yang paling berharga.

"Kamu ndak pamit sama mamahmu?"

"Tidak usah, Bi, lagi sibuk sama anaknya."

"Anaknya?" Bi Siti keheranan.

"Pekerjaannya maksudnya. Yaudah Senja pamit dulu," Senja berpamitan sembari mencium punggung tangan Bi Siti, selayaknya anak yang pamit dengan ibu kandungnya.

Bi Siti adalah asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama dua puluh tahun, semenjak Senja belum ada di dunia ini. Loyalitasnya terhadap keluarga Senja bukan karena gaji atau kenyamanan, melainkan karena Senja sendiri. Baginya, Senja sudah ia anggap seperti anak kandungnya.

Sedari kecil ialah yang sudah merawat dan memberikan perhatian pada Senja.

Selain berencana mengantarkan sepeda motor milik Lestari, hari ini Senja juga berniat untuk mengajak Lestari makan malam bersama. Tentu saja bukan di restoran mewah layaknya konglomerat atau orang kaya pada umumnya, melainkan di tempat pedagang kaki lima yang kebetulan akrab dengan Senja. Dia penjual nasi goreng. Meskipun Senja kenal dekat dengan beliau, ia tidak tahu siapa namanya. Karena semua orang di sekitar sana memanggil penjual nasi goreng tersebut dengan panggilan, "Bang." Mau tak mau ia juga ikutan.

Nasi goreng milik beliau adalah yang terbaik di seantero bumi. Bahkan restoran mewah pun tak bisa menandingi cita rasa dari makanan yang Senja sebut sebagai yang terbaik itu.

Tiga jam lamanya Senja menunggu Sepeda motor Lestari selesai di perbaiki, "Masih lama, Mang?" Tanya Senja yang telah melirik arlojinya beberapa kali.

"Sebentar lagi, Mas, tinggal di pasang baut-bautnya."

"Ah syukurlah," Senja berucap dalam hati.

Setelah selesai, Senja bergegas menuju ke kediaman Lestari. Sesampainya di sana, Senja disuguhkan pemandangan indah: seorang perempuan dengan jepit rambut bunga yang sedang menyiram tanaman yang berada di sekitar rumahnya.

Benar sekali. Siapa lagi jika bukan Lestari. Ciptaan cantik yang ia temui beberapa hari lalu.

"Permisi."

Tangan Lestari dengan cepat menghentikan kegiatannya, menoleh ke arah Senja.

"Eh, Senja, kok kamu ga ngabarin aku sih kalau mau datang? Aku kan bisa siap-siap dulu."

"Gak apa kok, lagian juga kamu lagi ga jelek-jelek amat," Senja tertawa kecil.
"Ohh, berarti aku jelek nih ya? Yaudah," nada Lestari berubah ketus, yang kemudian berbalik, hendak pergi dari Senja.

"Aduh."

Lestari menabrak seorang lelaki yang lebih tinggi darinya. Sedetik kemudian ia mendongak, "Ah, Papah. Maaf, ya."

Ternyata pria itu adalah ayah Lestari. Terlihat seperti pria paruh baya pada umumnya, dengan kulit yang jauh lebih gelap daripada milik Lestari, juga kacamata berbingkai perak yang kelihatannya sudah dipakai dalam jangka waktu yang lama.

"Tadinya papah hendak mengajakmu masuk, karena matahari hampir tenggelam. Namun ternyata, ada temanmu datang, ya," pria yang Lestari panggil papah itu bersuara.

"Mari masuk, Nak," ajak beliau kepada Senja.

Mereka bertiga sampai di ruang tamu, pas sekali di sana sudah ada sepasang cangkir teh yang tersaji di atas nampan hijau mengkilap-yang tentunya, bukan untuk Senja-salah satu cangkir sudah separuh kosong dan cangkir lainnya masih penuh. Ternyata sebelumnya orangtua Lestari sedang di sini, berbincang entah mengenai apa.

Senjawan (Ketika Senja Menemukan Jingganya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang