Senjawan, tidak terasa, ya, kita sudah menjalin hubungan selama lebih dari dua bulan.
Apakah kamu ingat? Waktu kita bertemu di lapangan basket. Saat itu, kamu melindungiku.
Kamu berkorban untukku, yang pada akhirnya, kamu jadi terluka karena aku. Hidungmu berdarah karena lemparan bola basket yang nyaris mengenai aku.
Kamu tahu? Sebelum kita saling kenal, sebenarnya aku sudah memerhatikanmu dari jauh. Aku tahu kapan kamu pergi ke perpustakaan, aku tahu kapan kamu akan pergi ke kantin, dan aku tahu apa makanan kesukaan kamu.
Namun, pada saat aku mau lihat kamu main bola basket, aku malah hampir celaka. Tapi, kamu datang untuk menyelamatkanku, menghadang bola itu, tepat pada saat jaraknya dua jengkal lagi.
Kamu, adalah pahlawanku, Senja.
Kamu yang terbaik.
Sekarang, tolong izinkan aku untuk berkorban. Walau rasanya menyakitkan, aku tak apa. Anggap saja, ini balas budiku ke kamu di masa lalu.
Senja, maaf. Sebenarnya, aku tidak setuju jika kamu harus pergi ke Inggris untuk melanjutkan studimu itu. Aku mau kita ada di universitas yang sama. Tapi, tenang saja. Aku tak akan memohon untuk ini ke kamu, karena tidak ingin jadi egois. Untuk kali ini, aku akan berkorban untukmu—untuk kita—agar hubunganmu dengan orang tuamu jadi lebih baik.
Toh, jika hubunganmu dengan orang tuamu membaik, bukankah kita akan lebih cepat mendapatkan restu?
Jadi, tolong biarkan aku berkorban untukmu.
Hari ketiga sebelum lepas landas. Hari ini, Lestari dan Senja tidak punya rencana untuk keluar. Mereka sepakat akan beristirahat selama satu hari penuh.
Sebelum keberangkatan Senja, Lestari mengusulkan agar mereka berdua tetap bersama sementara waktu. Untuk melepas rindu sebelum pergi.
Namun, untuk hari ini, mereka sepakat untuk tidak melakukan apa-apa, hanya menjalankan aktivitasnya masing-masing.
Tentang Lestari. Hari ini, ia melakukan aktivitas seperti biasanya. Membantu pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci piring, lalu membuatkan secangkir teh hangat untuk Ayahnya.
Terkadang Lestari juga sering membantu Ayahnya yang sedang membuat kerajinan kayu. Dan tentu, Lestari berbakat seperti beliau. Hasil buah tangan mereka tak jauh berbeda.
Bisa dibilang, Lestari adalah calon ibu yang sangat di idam-idamkan banyak pria. Tak heran jika Senja bersikeras menolak jika ia harus berpisah dengan Lestari.
Lestari hari ini sangat produktif, ‘kan?
Sangat berbeda dengan Senja yang saat ini hanya bermain game, dan malas-malasan. Ia rasa, semangat berkegiatannya hari ini sirna.
Tak seperti hari-hari sebelumnya, Senja yang biasanya bangun lebih pagi untuk olahraga di sekitar perumahannya, sekarang malah terlihat seperti pengangguran yang punya masa depan suram.
Senja bertanya pada dirinya sendiri, mungkinkah ia rindu dengan Lestari? Yang benar saja, belum lama ia berpisah dengan Lestari, tapi sudah merindukannya lagi? Bagaimana nanti yang tidak bisa bertemu sampai bertahun-tahun?
Di tengah pertanyaan-pertanyaannya itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu kamarnya yang tertutup. Si Pengetuk yang berada di sana kemudian bersuara,
“Nak Senja, Tuan sudah menunggu di meja makan, tuan memerintahkan saya memanggil Nak Senja agar segera turun dan sarapan bersama,” ucap salah satu pelayan kepada Senja.
Senja mengangguk. Ia kumpulkan niat untuk bangun dari singgasananya (baca: kasurnya), merapikan kamarnya lalu segera turun menuju ruang makan. Sudah jadi kebiasaan Senja untuk merapikan kamarnya sendiri, walau terkadang beberapa pelayan melarang Senja untuk tidak merapikan kamarnya, yang kemudian dibalas dengan kata-kata yang kurang lebih terdengar seperti, “jangan campuri urusan ruangan pribadiku!”
Saat di meja makan, Senja tak banyak bicara. Ia fokus pada makanannya, dan tidak terlihat tertarik sedikit pun dengan sekitar.
“Bagaimana kabar Lestari?” Tanya Ibu Senja, memecah keheningan.
“Kenapa tanya, gak biasanya, memangnya sudah bisa menerima Lestari?” Ucap Senja tanpa memalingkan pandangannya.
“Gak papa, Mama Cuma tanya saja, kok, dia gak papa kamu pergi ke Harvard?”
“Jelas nggak lah. Lagian juga gak masuk akal kalo seorang pasangan rela, dan dengan senang hati buat jauh dari pasangannya untuk waktu yang gak sebentar.”
Ibu Senja hanya bisa mendengus dan tidak melanjutkan pembicaraan. Ia tahu, akan sulit baginya untuk membangun sebuah hubungan yang baik dengan anaknya.
“Aku izin pamit ke dalam kamar, Ma, Pa,” ucap Senja sambil meletakkan sendok dan garpunya di samping piring.
“Tapi makananmu belum habis, Senja.”
“Aku cukup. Permisi.”
Jujur saja, hari ini Senja benar-benar sangat kesepian. Ia sadar bahwa sebentar lagi akan meninggalkan Indonesia, dan seisinya.
Di kamar, Senja hanya bisa menatap langit-langit, kemudian menyapu dengan netranya seisi ruangan yang sebentar lagi akan ia tinggalkan.
“Sebaiknya aku menelpon Lestari” Ucap Senja sambil meraih ponselnya yang tak jauh darinya. Memilih nama kontak yang akan ia hubungi.
Jaringan telepon cukup lama menghubungkan nomor tujuan. Namun, akhirnya..
“Halo Senja, ada apa menelepon?” Tanya Lestari setelah mengangkat panggilan dari Senja.
“Karena aku suka kamu, Lestari,” dari seberang telepon Senja menjawab sambil tersenyum.
“Apa, sih? Hari ini kamu aneh,” ledek Lestari, yang kemudian tertawa kecil.
“Aku sedikit khawatir, Tari. Sebentar lagi aku akan pergi dari Indonesia..”
Senja menggantungkan kalimatnya, ia diam. Yang membuat beberapa detik telepon di antara mereka hening.
“Gak apa, Senja. Aku percaya kamu pasti bisa hidup di sana dengan baik. Kita sama-sama berjuang, ya?” Lestari sengaja menyela kata-kata yang digantung Senja. Ia paham betul, bahwa saat ini Senja sedang sedih, walaupun kekasihnya itu tidak mengatakannya secara langsung.
“Oh iya, Senja. Aku juga sudah daftar di suatu universitas. Namanya Universitas Widyatama, lokasinya di Bandung,” Lestari mengganti topik. Berusaha memperbaiki suasana hati Senja.
“Kenapa di Bandung? Di Jakarta, ‘kan juga banyak universitas bagus. Kamu tidak perlu pindah kota juga.”
“Hmm.. gimana, ya? Kota Bandung itu, kota impian aku dari masih SMP. Aku mau coba tinggal di kota yang dingin.”
Setelah Lestari mengatakan hal itu, telepon kembali diam. Dua manusia yang melakukannya sedang tenggelam dalam dirinya masing-masing. Senja dengan perasaan campur aduknya karena sebentar lagi akan pergi, dan Lestari dengan pikiran, ‘apa yang harus aku lakukan untuk membuat perasaan Senja lebih baik?’-nya.
Dan di tengah-tengah tenggelamnya mereka, Lestari tiba-tiba memutuskan untuk naik kembali ke permukaan kesadarannya.
“Senja, silakan sedih. Tapi jangan terlalu lama. Pikiran-pikiran burukmu itu hanya ada hari ini. Percaya aku, ketika kamu di sana, kamu akan bertemu dengan orang-orang baru yang baik, yang mau menerima kamu walaupun kamu berbeda. Di Amerika, kamu pasti baik-baik saja.”
Di seberang telepon, Senja masih diam. Ia menarik napas berat.
“Iya, Lestari. Terima kasih banyak, ya.”
“Sama-sama, Senja. Sekarang, silakan cek lagi barang-barang kamu, jangan sampai ada yang tertinggal.”
“Iya, Tari sayangku. Sekarang akan aku cek.”
“Bagus. Aku tutup teleponnya, ya. See you, Senja.”
“See you.”
Setelah telepon berakhir, suasana hati Senja semakin berantakan. Air matanya tidak jatuh, tapi ia yakin ini perasaan sedih yang berat.
Ketika ia sadar bahwa tidak lama lagi akan meninggalkan, rasa itu semakin kuat. Air matanya bahkan tidak menggenang, tapi dadanya sesak bukan main. Ia ingin menangis untuk melepaskan perasaannya ini, tapi sukar, air matanya entah kenapa enggan turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjawan (Ketika Senja Menemukan Jingganya)
Teen FictionIa dipanggil Senja, laki-laki yang lahir pada 18 April tahun 1999. Berasal dari keluarga yang sangat terpandang, kehidupannya dikelilingi oleh hal-hal mewah. Sebut saja apapun, pasti dapat ia beli. Silakan berpikir bahwa kehidupan Senja sangat bahag...