Mentari pagi sudah bersinar terang di luar sana, Senja dan sekeluarga bersiap ke bandara. Begitu juga dengan Lestari, ia yang baru saja bersiap untuk berpisah dengan Senja di bandara, Lestari juga menyiapkan secarik kertas yang telah ia sematkan beberapa pesan hasil tulisan tangannya sendiri, untuk Senja baca nanti.
Saat Senja sedang bersiap-siap, Tiba-tiba Lestari mengirimkan sebuah pesan untuknya:
“Kamu gak usah jemput aku, nanti aku susul kamu ke bandara. Oke?”
“Baik, Hati-hati, ya,” balas Senja.
Ia rasa, baru saja kemarin lamarannya diterima Lestari, sekarang, Senja sudah harus pergi, untuk melanjutkan studinya di Harvard. Untuk hari-hari selanjutnya, entah mereka akan baik-baik saja atau tidak.
Tidak bisa diungkiri bahwa ini adalah momen berat kedua bagi mereka. Setelah hari-hari menyenangkan yang dilalui pasangan ini, akhirnya mereka harus mengucapkan, “Sampai bertemu lagi,” untuk satu sama lain.
Walaupun hanya sebuah kalimat sederhana, ini sulit untuk diucapkan. Masing-masing dari mereka tahu bahwa ini hanya sementara, hanya sampai masa kuliah keduanya berakhir, kemudian pasangan ini akan saling bercengkerama kembali seperti sediakala.
Apakah Senja akan tetap pada pendiriannya untuk selalu mencintai Lestari?
Aku rasa mungkin saja Senja bisa, mustahil untuk dia berpaling dari Lestari.
Namun, bagaimana dengan Lestari?
Laki-laki di Indonesia bagaikan serigala berkulit domba, jangankan yang sudah bertunangan, yang sudah menikah saja, kadang bisa merusak suatu hubungan.
Lestari menarik napas berat. Kakinya letih karena menunggu taksi yang tak kunjung datang. Ia yakin, Senja pasti telah sampai lebih dulu darinya.
“Dimana Lestari? Sebentar lagi kamu sudah harus naik pesawat.” Ayah Senja terlihat gelisah, ia berkali-kali melirik pergelangan tangan kanannya yang dilingkari penunjuk waktu.
Senja menoleh, mantap menatap mata pria di depannya, “Sebentar lagi, Ayah. Tolong tunggu Lestari beberapa menit lagi.”
Tiga puluh menit berlalu, Lestari belum kunjung tampak. Senja dan keluarganya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Lestari, dimana dia sekarang?
“Gimana, Pak?” Tanya Lestari kepada pengemudi taksi yang ditumpanginya.
Pria yang dipanggil, ‘Pak’ oleh Lestari menggaruk kepalanya, “Sepertinya saya hanya bisa mengantarkan mbak sampai sini, ban saya bocor, saya minta maaf.”
“Baik, Pak. Saya cari transportasi lain saja. Terima kasih banyak, ya.”
Setelah berlari di sepanjang jalan, akhirnya Lestari menemukan transportasi roda dua di dekat warung yang tak jauh dari tempat taksinya berhenti. Bergegas ia hampiri salah satu penyedia jasa di sana.
“Pak, tolong antar saya ke bandara Soekarno-Hatta, ya!” Ucap Lestari sambil terengah-engah.
“Maaf mbak, saya ini ojek online, jadi harus pesan lewat aplikasi dulu.”
“Pak, kali ini saja, saya mohon, pacar saya sebentar lagi lepas landas saya tidak punya waktu untuk pesen. Saya akan bayar berapun, Pak. Jadi tolong antar saya, sekali ini saja pak, saya mohon. Ucap Lestari dengan raut wajah yang penuh kecemasan.
“Baik kalau begitu, Mbak. Silakan naik. Oh iya, sisa berapa menit lagi untuk pacar mbak berangkat?”
“Sekitar dua puluh lima menit lagi, Pak.”
“Siap. Pegangan, Mbak. Kita akan tiba dalam waktu dua puluh menit.”
Sudah hampir satu jam keluarga Senja menunggu semenjak mereka sampai di bandara, namun Lestari belum kunjung datang juga.
“Dimana Lestari? Tinggal beberapa menit lagi kamu sudah harus berangkat, sudah kamu masuk saja, nanti biar Mama dan Ayah yang sampaikan pesan kamu kepada Lestari.” Ucap Ibu Senja.
“Sebentar, Ma. Tunggu sebentar lagi.”
Lestari masih belum kunjung datang, jujur Senja sedikit kecewa. Sebenarnya kemana Lestari, mengapa ia belum datang juga? Ini, ‘kan, bisa jadi adalah momen terakhir mereka bersama.
Senja menghitung sampai seratus, ia memutuskan jika pada hitungan ke-seratus Lestari tidak datang, ia akan pergi. Hitungan Senja pun dimulai, satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya.
Hitungannya telah sampai pada angka sembilan puluh empat, ia sengaja memperpanjang jeda antar angka. Sembari memejamkan matanya, ia berharap Lestari lekas datang. Sembilan puluh lima.., ah, Tuhan, tolong buat Lestari cepat datang dengan kuasa-Mu, Senja sedari tadi mengucap dalam hati. Sembilan puluh enam.., Senja makin keras meneriakkan doanya. Sembilan puluh tujuh...
“Senja!” Terdengar suara antusias yang nyaring dan khas milik orang yang paling banyak tahu tentang Senja. Si empunya nama cepat menoleh. Berlari ke arah panggilan, menghambur ke pelukannya.
“Senja, maaf, tadi-“
“Lestari, aku sayang kamu.”
Senja sengaja memotong kalimat yang belum diselesaikan Lestari. Ia ingin berada di pelukan kekasihnya sebentar lagi. Selama beberapa menit, mereka masih saling diam, saling mencoba mengikis cemas. “Senja, ban taksi yang aku tumpangi bocor. Aku harus cari transportasi lain, jadi aku terlambat datang ke sini. Maaf, ya,” dalam pelukan, Lestari berbicara pelan dengan suara yang menenangkan.
Senja mengangguk, “Tidak apa, yang penting kamu datang,” kemudian melepas pelukannya. “Aku harus segera pergi, pesawat aku sebentar lagi berangkat.”
“Iya. Kamu tolong hati-hati di sana, dan jangan cari perempuan lain.”
Senja tertawa kecil, menepuk lembut puncak kepala Lestari.
“Oh iya, aku juga tulis sesuatu buat kamu. Nanti dibaca, ya,” Lestari berpesan kepada Senja, sambil memberikan selembar kertas berwarna putih yang telah dilipat empat rapi.
Senja menyelipkan kertas itu di sakunya, “Pasti, Tari. Aku akan baca di pesawat nanti.”
“Kamu hati-hati, ya, di tempat yang jauh.”
“Kamu juga, ya. Hati-hati di tempat yang jauh dari aku.”
Senja kemudian menuju pintu masuk, melambai pelan ke orang-orang yang disayanginya, dan kemudian berbalik pergi.
Lima menit berlalu, pesawat yang ditumpangi Senja pun akhirnya lepas landas. Lestari hanya bisa tersenyum sambil meneteskan air mata saat melihat pesawat itu melayang menuju tujuan. Bagaimanapun, ini demi hubungan mereka. Jadi, ini adalah keputusan terbaik.
Di sisi lain, saat ini Senja sedang membuka surat dari Lestari, entah apa isinya, itu sangat membuat Senja sangat penasaran. Saat membuka surat itu, terlihat, ada beberapa noda air, entah apa itu, tapi dari bentuk tetesannya, sepertinya itu adalah air mata, yang menetes jatuh ke dalam kertas yang belum sepenuhnya kering.
Mungkinkah itu adalah air mata Lestari? Senja pun membaca surat yang di tulis oleh LestariBiar ombak menghempas karang Biar hujan menembus awan Biarkan ada batu yang terlukis di laut Serta biarkan darah mengalir kalut
Jika luka berhasil lolos Maka akan ada amarah yang membara Tulang masih setia pada putihnya Darah masih setia pada merahnya
Untuk setiap asa yang terbungkam massa Untuk semangat yang terkadang hilang Serta untuk kemunafikan yang bersemayam Aku ingin mengakhiri segalanya.
Untuk Senjaku, Senja yang selalu menyinari ku dengan cahaya jingga mu yang sangat indah, rasa-rasanya, semakin lama, aku semakin mencintaimu.
Bukan karena harta mu, dan juga bukan karena status mu, tapi karena keteguhan mu yang mempertahankan ku untuk selalu berada di sisimu.
Hari ini, kamu pergi untuk mengejar mimpi, tidak, lebih tepatnya, kamu pergi untuk memperjuangkan ku untuk bisa selalu bersamamu.
Untuk mu Senja, baik-baik disana ya, aku mencintai mu, lebih lebih dari siapapun. Senja, disini aku menunggu mu, jadi, aku harap, kita berdua, bisa saling menjaga hati kita masing-masing.
TTD
Lestari
Senja hanya bisa tersenyum saat membaca surat dari Lestari. Tetapi, entahlah, perasaan ini sulit untuk dijelaskan dalam kata-kata.
Berbagai perasaan bercampur aduk satu sama lain; bahagia, sedih, rindu, semuanya bercampur menjadi satu.
“Sampai ketemu lagi, Lestari,” Senja kemudian tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjawan (Ketika Senja Menemukan Jingganya)
Teen FictionIa dipanggil Senja, laki-laki yang lahir pada 18 April tahun 1999. Berasal dari keluarga yang sangat terpandang, kehidupannya dikelilingi oleh hal-hal mewah. Sebut saja apapun, pasti dapat ia beli. Silakan berpikir bahwa kehidupan Senja sangat bahag...