Bab 17. Hadiah dan Permintaan Terakhir

158 8 0
                                    

Kata orang, cinta datang karena karena terbiasa, tapi apa cinta juga bisa hilang karena terbiasa?

*

****

"Lo kenapa?" tanya Tiara saat melihat Bella menampakkan wajah murungnya.

Bella hanya menggeleng, ia hanya sedikit enggan menceritakan masalahnya.

"Mikirin Kak Agatha dan Kak Gema lagi ya?" tebak Nisa.

Bella masih diam, ia malah membenamkan kepalanya di antara tumpukan tangannya. Jujur ia lelah, ia ingin menyerah karena sekeras apapun ia mencoba pun tak akan dilihat oleh Gema, jangankan dilihat, dilirik pun enggan. Ia kebingungan mencari cara agar pria itu mau membuka hati padahal Agatha sudah pergi tapi pikiran Gema malah ikut pergi.

"I'm so sorry, awal dari ini karena kita 'kan?"

Bella menegakkan badannya lagi lalu menggeleng. Ia sudah mengihklaskan kejadian ini semua.

"Sudah terlanjur mau bagaimana lagi?"

Bella meminum cairan berwarna merah guna menyegarkan tenggorokannya yang sedari tadi terasa pahit karena kebanyakan menangis dan menahan tangis.

"Kak Agatha sudah menyerah. Dia kasih umpan ke Bella. Seharusnya mudah, gue percaya kalau Bella bisa taklukin hati Kak Gema," ujar Tiara dengan yakin.

"Iya harusnya memang mudah kalau Kak Gema bisa move on, but the problem is, Kak Gema masih sangat sangat cinta sama kakaknya Bella. Its complicated," Nisa beropini dan Bella menyetujui ucapan sahabatnya itu.

Tiara berdecak, "Iya juga sih apalagi Kak Agatha terlalu sempurna di mata gue yang perempuan apalagi di mata laki-laki. Secara fisik oke, karir oke, sikap juga oke. Apa yang kurang dari dia?" Bella lagi-lagi membenarkan, Agatha memang terlalu sempurna. Jika ia dan Agatha dibandingkan maka sebuah rentang jauh yang mereka dapat, Agatha sudah melampaui garis sedangkan ia sangat jauh di belakang.

"Err... maaf Bell bukannya gue mau membandingkan kalian," kata Tiara saat menyadari raut wajah Bella berubah.

"Gapapa yang lo omongin memang benar kok Ra. Gue malah merasa bersalah karena sudah menghancurkan hubungan mereka, harusnya gue yang mengalah kan? Gue egois. Gue mau menyerah rasanya."

"Bell, jangan gitu. Everything gonna be okay. Kak Agatha sudah menyerahkan Kak Gema buat lo seharusnya lo jangan menyerah. Hargain keputusan Kak Agatha, secara tidak langsung dia minta lo meraih hati Kak Gema 'kan?" Nisa lagi-lagi benar. Agatha sudah berusaha. Agatha rela meninggalkan Gema padahal kalau mau ia bisa main belakang dengan Gema.

"Iya gue setuju sama Nisa. Berjuang buat calon anak lo dan kakak lo, okay?"

Bella memantapkan hatinya. Bagaimanapun juga Agatha sudah berusaha, setidaknya ia juga harus berusaha sedikit lebih keras.

"Gue akan berusaha."

******

Gema memainkan bolpoinnya, memutar, mengetuk-ngetuk di meja, bahkan mencorat-coret di kertas yang kosong. Layar laptopnya masih menyala, pekerjaan ia abaikan karena satu hal yang mengganjal pikirannya, apalagi kalau bukan tentang Agatha. Wanita itu pernah membuat hatinya yang layu menjadi subur lalu sekarang berhasil mengoyaknya sampai berantakan.

Kotak merah yang kemarin Agatha berikan belum kunjung ia buka, ia hanya takut entah takut karena apa.

'Gema, ini hadiah terakhir buat kamu, harus dibuka. Tapi bukanya nanti kalau aku sudah pergi ya?'

Suara itu terngiang di kepala Gema, hadiah terakhir katanya. Apa benar wanita itu akan mencari laki-laki lain? Membayangkannya saja sudah membuat hati Gema panas.

FATE : Forced MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang