Khawatir

31 2 0
                                    

Halo🌻 bertemu lagi di part kedua. Gimana hari ini? Semoga selalu baik. Kalau belum membaik, it's okay ya. Berdoa semoga semua lekas membaik.

Selamat membaca, selamat berpetualang. Semoga senang dan memberi kebermanfaatan. Salam sayang❤

***
"Kia, jangan keseringan ke dermaga. Kamu tidak dengar rumor yang sedang beredar?" Ucap Ibu ketika aku sedang memakai sepatu.

"Tidak sering Ibu. Cuma ketika Kia ingin saja, tidak setiap hari juga kan,"

"Tetap saja, Ibu tidak kasih izin kamu ke dermaga kali ini untuk hari-hari ini," tegas Ibu tidak peduli dengan perubahan ekspresiku.

"Ibu jangan khawatir begitu. Nggak perlu ada yang dikhawatirkan,"

"Kia, Ibu cuma nggak mau kamu kenapa-napa. Kalau tiba-tiba kamu jatuh dari dermaga itu bagaimana? Apalagi kamu hanya sendirian tidak ada temannya," lagi dan lagi ibu selalu khawatir berlebihan.

"Ibu berlebihan, seharusnya Ibu ngga perlu khawatir seperti itu."

"Kamu ngga tau Kia, karena kamu ngga tau rasa khawatirnya orang tuamu ini,"

Aku hanya diam, melihat Ibu yang masih bersikeras dengan argumennya dengan kekhawatiran yang menurutku sangat berlebihan.

"Sudah cepat sana berangkat, sudah jam berapa ini," perintahnya. Lalu aku menyalami tangan Ibu dan berangkat sekolah menuju halte terlebih dahulu yang jaraknya sekitar lima menit dari rumah karena harus berjalan kaki.

Ibu, akan kuceritakan sedikit tentang ibuku. Ibu, si paling keras kepala juga pekerja keras itu selalu memiliki kekhawatiran yang berlebihan. Bukan hanya denganku tapi juga adik laki-lakiku. Tapi aku tau, dengan sikap Ibu yang seperti itu ialah bentuk penyampaian perasaan sayangnya untuk sang anak.

Tepat saat aku sampai di halte, metromini sudah datang. Sedikit sesak, tempat duduk sudah penuh, jadi mau ga mau harus berdiri.

Ketika semua penumpang sudah naik, metromini langsung berjalan kembali, teramat sesak berdempet-dempetan. Ketika pagi seperti ini metromini hampir seluruhnya penumpang anak sekolah,  perempuan dibagian depan sedangkan laki-laki berada di belakang sudah diatur sedemikian.

Tepat aku berada di belakang dan bersebelahan dengan seseorang, hal yang sangat tidak menyenangkan apalagi kalau sudah kejadian salip menyalip, sangat tidak memuakkan.

Sampai ketika sang sopir menginjak rem pegasnya tanpa peringatan terlebih dahulu, membuat tubuhku yang tidak seimbang ini sedikit terjungkal kearah depan. ingin berpegangan dengan kursi sudah didahului yang lain.

Tiba-tiba saja ada seseorang yang memegang tanganku tanpa persetujuanku. Setelah aku mendongak, tidak kusangka dia orangnya yang aku temui di dermaga sore itu.

Satu detik kemudian, aku melepaskannya. Justru dia hanya tersenyum.

"Terima kasih," ucapku dan mencoba mencari pegangan supaya rem mendadak aku tetap seimbang.

"Kembali kasih," ucapnya.

Baru kali ini aku mendengar ucapan sama-sama dengan kalimat yang berbeda.

Sepuluh menit kemudian aku sampai di halte sekolahku, tidak berfikir panjang aku langsung turun begitu saja.

Tunggu, kenapa dia juga turun? Oh mungkin dia bersekolah di sebelah, di Madrasah Aliyah. Tidak, dia berjalan memasuki gerbang? Dia satu sekolah denganku? Tapi? Kenapa aku tidak mengenalnya. Sial, seragamnya sama denganku.

"Aduh,"rintihku, aku menabrak punggungnya akibat ruang fikirku. Kenapa juga dia berhenti secara tiba-tiba.

"Kalau jalan, jangan sambil melamun. Untung saja punggungku yang kamu tabrak kalau-kalau pohon besar itu," ucapnya mengomeliku.

Senja Bersama Cerita yang Telah UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang