Panas mentari siang ini sangat terik, belum lagi Tama tidak kunjung memberhentikan motornya, masih dalam perjalanan entah kemana. Dia bilang," hari ini tidak berdua. Tapi, bersama dengan teman yang lainnya."
"Masih lama?" Habisnya sudah satu jam kira-kira aku duduk di motor ini.
"Sebentar lagi."sedari tadi juga sebentar lagi. Tapi, tak kunjung sampai.
"Kemana sih, Ta? Nggak biasanya perjalanannya lama gini." Protesku, ya ... ini sudah sangat lama, capek juga.
Di sebuah rumah yang terlihat dari arahku, terdapat beberapa sepeda motor juga pemiliknya yang melambaikan tangan kearah Tama juga aku.
Benar saja, Tama memberhentikan motornya di parkiran rumah tersebut. Ternyata, teman waktu mendaki tempo lalu, namun hanya ada Bintang saja tidak terlihat Viola juga Risa.
"Kia ... akhirnya ketemu lagi," Bintang memelukku begitu saja, seperti teman lama yang tidak berjumpa berabad lamanya.
"Iya ... akhirnya bisa bertemu lagi." Balasku dan membalas pelukannya juga.
"Ikutan boleh?" Tanya Zayn, entah apa yang dimaksud.
"Apaan?" Tanyaku dan Bintang bersamaan.
"Berpelukan ..."ucapnya dan merentangkan tangannya.
"Ogah ..." dan Bintang mengajakku menjauh dari Zayn.
"Mau kemana sih, Bin?"pertanyaan ini sudah berada di kepalaku sedari sampai di sini.
"Ke acara anak-anak. Seru kok, tapi ..."
"Kia, gue pinjem bentaran," sela Tama dan mengajakku menjauh untuk berbicara sebentar.
"Kenapa?"
"Perjalanannya lumayan, jalan kaki juga. Kamu harus tetap ikut buat kesana gapapa kan?" Jelasnya dan memberikan hoodie miliknya.
"Udah terlanjur. Kamu juga nggak ngejelasin sedari awal. Ini hoodie buat apaan, udah tau panas gini." Ya ... ini mentari sedang terik-teriknya pakai hoodie makin kepanasan jadinya.
"Pakai aja." Dan mengajakku kembali bersama teman-temannya.
"Langsung aja ya. Udah ditunggu sama yang lainnya juga"jelas Sam yang udah siap.
Akhirnya kita berjalan memasuki gang perumahan yang dipimpin Sam juga Qian yang berjalan duluan. Melewati jalan setapak yang ternyata sepi juga. Maklum siang-siang begini lebih baik emang di rumah aja.
"Gue takutnya, sepi gini. Ada tawuran mendadak." Ucap Bintang tiba-tiba yang membuat aku parno sendiri.
"Iya juga. Nggak biasanya ini jalanan sepi banget."balas Zayn yang kebetulan sekali bersebelahan dengan Bintnag
"Tenang aja, ada aku semisal itu terjadi." Tama ini selalu tau rasa khawatir yang menyerangku.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman, bingung juga harus meresponnya bagaimana.
"Kenapa nggak naik motor aja sih." Kelu Zayn yang mendapat anggukan dariku.
"Jalannya nanti nggak bisa Zayn buat motor. Gue udah jelasin dah dari kemarin." Balas Qian dengan sebalnya.
"Kenapa juga bikin acara di tempat seperti itu. Besok itu sekolah. Lo nggak kasihan sama Kia, Kia udah kelas dua belas. Nggak mungkin bolos juga kan." Sanggahnya lagi tidak terima
"Sore nanti juga pulang. Ribet amat, Kia aja nggak banyak protes." Qian sudah terlihat sebal dengan sikap Zayn satu ini.
Di perempatan yang ingin dilalui, terdapat banyak orang yang berlarian begitu saja seolah mencari perlindungan. Tapi, ada juga yang membawa senjata tajam namun tidak banyak.
Dengan secepat kilat, Tama menarikku menuju ke gang yang sangat sempit disusul juga dengan Sam, Qian, Zayn juga Bintang yang juga terengah.
Jantungku berdegup kencang, masih tidak menyangka terdengar suara makian juga perkelahian yang terjadi begitu saja. Perasaan takut, jika bisa saja kita dianggap ikut-ikutan.
"Ini mah, ucapan Bintang jadi kenyataan." Ucap Qian lirih.
Deru nafasku belum juga tenang, terdapat perasaan takut yang amat menggunjang. Tama menarik tubuhku begitu saja dan terus mengelus punggungku, menenangkan.
"Aku takut," ucapku tepat di dada bidang Tama.
"Maaf, Ki." Ucapnya meminta maaf dan mengelus suraiku.
Bintang pun begitu, merasa ketakutan. Belum lagi tak kunjung juga perkelahian itu redam. Terdengar suara sirene mobil polisi yang nyaring membuat mereka berlarian mencari tempat paling aman, membubarkan tawuran antar desa dengan waktu sekejap.
Ada perasaan lega yang menghampiri, meski aku masih gemetar karena tidak pernah melihat atau mendengar dengan jelas perkelahaian yang sedemikian.
"Kalian jalan duluan. Kalau gue nggak datang nggak jadi nyusul. Salamin buat mereka." Putus Tama dan diangguki mereka berempat.
"Ayo." Tama mengajakku keluar dari gang dan berjalan menuju waduk untuk duduk di sana sebentar.
"Aku minta maaf, Ki. Aku janji nggak bakal ngajak kamu lagi ke sini. Aku gatau kalau bakal ada tawuran gini." Jelasnya yang sangat terlihat merasa bersalah.
"Bukan salahmu." Jawabku dengan masih gemetar. Pasalnya aku memiliki ketakutan tersendiri jika ada orang berantem, entah hanya bermodal ucapan kasar dan lantang ataupun sampai main fisik begitu.
"Minun dulu," dan memberikan air mineral dari tasnya.
Aku meneguknya begitu saja. Mungkin, dengan air mineral bisa membuatku agak baikan sedikit.
"Pulang aja ya, Ki." Ajaknya dan menggandeng tanganku menuju rumah yang tadi.
Aku hanya menurut saja, pulang memang lebih baik. Dari pada ketakutan seperti ini.
"Kemarin sibuk ngapain?" Tanyanya ,mencoba untuk menghilangkan perasaan takutku.
"Quality time sama Al. Beli es krim sama nonton kartun aja sih."
"Nggak jadi melamun?" Iya, melamun memikirkan kisah apa yang harus dituliskan untuk cerita yang aku buat.
"Jadi, tapi bingung sendiri. Kayak rasa cintaku berkurang tau sama cerita ini jadi berusaha untuk mencintai cerita yang aku tulis itu." jelasku antusias. Tentang menulis, aku selalu senang.
"Mau aku bantu?"tawarnya tanpa ada keraguan sedikitpun.
"Emang bisa?" Bukan meragukan, tapi semua berakhir di aku juga kan.
"Bisa sih bisa. Kalau nggak bisa buat apa menawarkan bantuan." Jelasnya.
"Boleh saja sih, tapi semua keputusan kembali di aku juga kan."
"Itu sih pasti."
Tidak terasa rumah untuk tempat parkir sepeda sudah kelihatan, entah kenapa ketika pulang memang terasa lebih cepat dari pada berangkat.
"Memangnya itu rumah siapa, Ta?" Habisnya penasaran aja.
"Tantenya Bintang."
"Ooh. Sebenarnya tadi itu mau kemana? Kamu nggak ngasih penjelasan ke aku." Ya ... Tama hanya bilang ingin mengajakku tidak dikasih tau kemana tujuannya.
"Bermain dengan anak-anak, Ki. Tapi, mereka mengajaknya ke tempat yang jauh dari kerumunan."ucapnya sambil memasangkan helmku. Padahal aku bisa sendiri.
"Siapa yang buat acara itu?"
"Ya ... kita sama-sama yang buat komunitas tersebut."
"Udah lama?"
"Udah setahun"
"Keren ya kalian, jiwa sosialnya sekeren itu."
"Kamu juga ngga kalah keren kok Kia-ku"
"Mending fokus nyetir"
Tama hanya tersenyum yang terlihat dari kaca spion dengan mata yang semakin terlihat indah dengan senyumnya itu.
***
See you next chapter love
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Bersama Cerita yang Telah Usai
Teen FictionTama Erhan Baskara berzodiak Pisces manusia paling menyenangkan yang aku temui setelah dia. Dia berbeda dari siapapun menurutku, sama dia rasanya senang terus. Apalagi ketika menghabiskan waktu menikmati senja yang tak pernah membuat kecewa, senja b...