14 : the f

2.2K 320 18
                                    

"Persiapannya kelar. Aku ke Gimpo lusa. Ah, aku jadi semakin merindukan bunda. Oh, ad-" Minho menghentikan kalimatnya saat melihat Jeongin hanya duduk melamun.

Namja Lee itu segera menaruh piring berisi lauk yang telah dimasaknya di meja makan. Mendekati kursi Jeongin dan mengelus surainya. "Innie?"

Jeongin tidak akan sadar jika Minho tak mencoba menyadarkannya. Ia benar-benar larut dalam pikirannya. Setelah yang didengarnya tadi dari dua kakak tingkatnya di cafe, Jeongin tidak bisa berpikir jernih.

Asal kalian tau, selama perjalanan pulang, Jeongin beberapa kali melakukan kecerobohan. Salah memasukkan pin apartemen, salah arah membuka pintu, tersandung sofa, dan banyak lagi. Sampai Minho datang dan memanggil dirinya yang berdiam diri di meja belajarnya, untuk makan malam.

"Apa yang kamu pikirkan, hm?" tanya Minho lembut sambil mendudukkan diri di samping Jeongin.

Yang ditanya hanya diam. Jeongin ingin mengutarakannya, tapi ia bingung harus seperti apa. Jeongin tidak bisa berpikir jernih untuk menyusun kata. Ia takut Minho marah nanti.

Makan malam bersama Minho akan sangat tidak asik jika kekasihnya itu ada di mood buruk karena Jeongin.

"Hey, just tell me."

Jeongin menatap Minho agak ragu.

"Ada- yang ingin kutanyakan. But, promise, you'll answer my questions honestly."

Minho bingung. Tapi ia mengangguk saja. Daripada Jeongin akan terus tenggelam di pikirannya sendiri. Itu membuat Minho takut.

Melintas di pikirannya, sebuah memori dimana Jeongin adalah sosok yang sangat amat pendiam. Dia mengucilkan dirinya sendiri dari sekitarnya. Tak mencoba berbaur. Entah kenapa. Jeongin- bahkan hingga detik ini tak pernah memberitahu alasannya.

"Dan janji- jangan marah." tambah Jeongin sambil mengulurkan jari kelingkingnya.

Lagi, Minho bingung. Keningnya mengernyit, tapi ia mengangguk juga dan menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Jeongin yang terulur.

"Hyung punya adik?" tanya Jeongin.

He's so down the earth.

"Kenapa tanya begitu? Out of the blue?" tanya balik Minho setelah memudarkan senyumnya.

"Just answer it." desak Jeongin.

Entah apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tiba-tiba kekasih rubahnya itu menanyakan hal seperti itu? Bukan kah terlalu tiba-tiba?

"Fine. Yes, i have." jawab Minho pasrah.

"You never tell me. Why?"

Minho menarik napasnya dalam. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi dengan Jeongin yang tak melepas tatapannya dari kekasihnya itu.

Hey, apa pertanyaan Jeongin terlalu berat untuk Minho? Ini bahkan tidak seperti pertanyaan tiba-tiba dari dosen atau pun kuis dipagi hari.

"Aku tidak ingin memberitahu mu saja."

"Iya, tapi kenapa?" serang Jeongin dengan nada yang meninggi. Toh Minho takkan marah. Dia sudah janji. Minho bukan tipe orang yang ingkar janji meski itu hanya janji sepele seperti tadi.

"Karena dia tidak terlahir dari rahim bunda. Aku tidak pernah menganggapnya adikku meski ada darah ayah ku mengalir di nadinya. So, untuk apa aku mengenalkannya pada mu? Aku membencinya, asal kau tau." jelas Minho.

Jeongin agak tersentak dengan penjelasan Minho yang penuh penekanan dan emosi di nada bicaranya. Jujur saja, Jeongin sudah lama tidak mendengar cara bicara Minho yang seperti ini.

•Incest• [𝑙.𝑚ℎ//ℎ.ℎ𝑗] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang