"Jin, makan dulu dong."
"Tidak lapar."
Seungmin memutar matanya jengah. Ia berjalan mendekati sofa di mana Hyunjin duduk dengan memeluk kedua kakinya. Tangannya membawa sebuah plastik berisi makanan yang sudah dibelinya.
Ini sudah lewat tiga hari sejak meninggalnya ibu Hyunjin dan hari ketiga ayahnya koma. Hyunjin tidak ingin meninggalkan kamar di mana sang ayah terbaring dengan banyaknya alat penopang hidup. Seungmin bahkan harus membawa beberapa setel baju Hyunjin ke rumah sakit.
Ia mengerti perasaan sahabatnya itu. Tapi, sahabatnya itu sudah terlampau bodoh dengan membiarkan kondisinya ikutan melemah dengan malas makan atau- melakukan hal lain selain duduk menemani sang ayah. Termasuk, melalaikan pekerjaannya.
"Jin. Ayolah. Kamu selalu mengingatkan Hyunho untuk makan, tapi kamu sama sekali tidak makan. Kalau Hyunho tau, dia kecewa sama kamu." kata Seungmin setelah menaruh plastik yang dibawanya beserta isinya di meja yang ada di depan Hyunjin.
Sahabat Seungmin itu mengalihkan atensinya pada si lawan bicara. "Ancaman yang bagus."
"That's true tho."
Seungmin mendudukkan diri di samping Hyunjin dan mulai membongkar isi plastik tadi.
"Tidak mau, Kim Seungmin."
"Ck. Makanlah. Kalau kamu gak makan juga, aku yang mati."
Kedua alis Hyunjin menukik. "Kok kamu?"
"Ck. Ada lah. Cepet makan. Nih. Habisin."
Setelah mendengar Seungmin berdecak dua kali, Hyunjin tau kawan karibnya itu sudah ada di level jengkel yang tinggi. Hyunjin sepertinya sudah jadi cukup menyebalkan.
Pada akhirnya, Hyunjin menuruti Seungmin. Ia kurang suka kalau Seungmin berujung marah padanya nanti.
"Oh ya, Hyunho mana?" tanya Hyunjin seraya meraih makanan yang Seungmin sodorkan.
"Dibawa Felix ke perusahaan. Dia ngerengek mau sama kamu. Tapi, karena kamu lagi kondisi gini dan takut nantinya malah bikin Hyunho sedih, yaudah. Felix bawa aja ke perusahaan." terang Seungmin.
Hyunjin mengangguk paham. "Maaf ya, merepotkan."
"Santai lah. Kayak sama siapa aja." balas Seungmin dengan senyumnya agar Hyunjin merasa baikan. Seringkali Hyunjin merasa menjadi beban bagi dua sahabatnya itu. Padahal tidak juga.
"Ah, omong-omong perusahaan. Kayaknya kamu harus tempatin posisi CEO, Jin. Kursi sekretaris sejak meninggalnya ibu kamu kosong. Ayah kamu masih belum sadar. Perusahaan bisa kacau. Terlebih, dalam tiga hari ini, sahamnya turun sedikit demi sedikit."
Hyunjin tak menggagas Seungmin. Ia lebih minat pada makanannya. Tidak bisa dipungkiri memang kalau dia lapar setelah tiga hari ini tidak makan dan hanya mengisi perutnya dengan air putih. Ngajak bercanda imun emang.
Ini yang paling Hyunjin takuti ketika mengetahui sang ayah ada di kondisi yang bisa dibilang sangat tidak baik. Kekosongan posisi CEO. Yang mana, kalau posisi sekretaris juga kosong, maka Hyunjin lah satunya yang bisa menduduki posisi tersebut.
Selama ini, Hyunjin hanya menjadi karyawan biasa dan kemudian naik jabatan menjadi kepala departemen HR. Meski itu hanya dalam dua tahun, bukan berarti Hyunjin sehebat itu. Semua adalah kuasa sang ayah.
"Hyunjin."
"Aku tidak bisa, Seungmin. Aku tidak sesuai dengan posisi itu."
"Tapi, perusahaan itu adalah perusahaan keluarga Lee dan kamu anak Tuan Lee."
KAMU SEDANG MEMBACA
•Incest• [𝑙.𝑚ℎ//ℎ.ℎ𝑗] ✔
FanfictionKau tahu ceritanya, hanya dengan membaca judul 'kan? . . . ➷ • incest alert ⚠ • bxb • m-preg • sub! hhj • misgendering • slight pair : minjeong