16 : after

2.2K 336 55
                                    

Rasanya, sedetik yang lalu sang surya baru saja bangun. Sekarang, sudah mau tidur lagi. Rotasi bumi lebih cepat ya. Waktu berdetik dengan kecepatan berkali lipat. Langit yang terang, bisa mendadak kembali menggelap. Orang-orang pasti berpikir seperti itu.

Atau- mungkin hanya Yang Jeongin seorang.

Namja dengan sebuah kupluk baby blue yang tengah menatap jingganya langit melalui kaca jendela di kamarnya. Oh, kurang detail. Kamar rawat inapnya. Biasanya, ia akan menyandar di sisi dekat jendela. Menatap sang surya sampai tenggelam. Tapi, akhir-akhir ini, ia tidak punya kekuatan untuk mengatakan 'see you' pada sang surya secara langsung.

Kesal. Terlebih dokter yang bertanggung jawab atasnya, berulang kali mengingatkannya setiap kali mengecek kondisi Jeongin. Ia tidak boleh terlalu capek.

Hey sebentar, jarak jendela dengan kasurnya tidak sampai 100 meter lho.

"Overprotective sekali." gerutu Jeongin.

"Siapa?"

Jeongin mendengus mendengar suara orang yang baru saja digerutuinya. Yah, siapa lagi kalau bukan dokter yang menangani Jeongin.

"Jangan menyalahkan ku apa-apa. Kondisi mu harus benar-benar ku jaga. Pesan ayahmu kan begitu." bela si dokter yang kini mendekati Jeongin dengan sebuah kotak kardus seukuran kardus sepatu.

"Ya tapi tidak gitu juga, Dokter Park Jinyoung yang ku hormati. Aku tidak akan mati hanya menyandar di jendela." gantian Jeongin yang membela diri. "Lagian, kondisi ku membaik. Kan?"

Kardus yang di bawa Jinyoung sudah berpindah ke pangkuan Jeongin. Yah, itu kotak milik Jeongin sih. Ia mengambilnya di apartemen atas permintaan Jeongin. Walau jujur saja, Jeongin ingin mengambilnya sendiri. Tapi, kondisinya tidak memungkinkan. Jadi, ia meminta bantuan Jinyoung.

Orang tuanya? Mereka sedang ada urusan di luar negeri. Awalnya mereka hendak membatalkannya dan lebih memilih menjaga Jeongin. Tapi, seakan ingin melepaskan diri dari orang tuanya yang sama overprotectivenya dengan Jinyoung, Jeongin pun memaksa orang tuanya untuk pergi. Toh itu penting untuk mereka.

"Jangan bicarakan soal kematian dengan mulutmu. Itu terdengar jadi sangat buruk." tegas Jinyoung yang memang paling tidak suka jika Jeongin bermain-main dengan kata 'mati'.

Yang ditegasi hanya berdehem kecil seraya membuka kotak yang ada dipangkuannya.

"Tumben mengenang Minho. Kamu kangen?" tanya Jinyoung ketika melihat isi kotak yang Jeongin buka penuh dengan foto-foto dan bracelet couple Jeongin dengan Minho—mantannya—yang sudah empat tahun tidak muncul.

Jeongin tertawa kecil mendengar Jinyoung. Ia menggeleng. "Setiap hari aku juga merindukannya." ujarnya sambil tersenyum.

Yah, terakhir kali ia bertemu Minho adalah empat tahun yang lalu. Saat tiba-tiba Minho datang kembali ke apartemennya dan mengucapkan salam perpisahan karena namja itu hendak kembali ke rumah bundanya. Saat itu juga, mereka memutuskan menyudahi apa yang mereka mulai.

Jeongin tidak menangis. Ia hanya tersenyum menatap kepergian Minho kala itu. Tapi, saat hari demi hari berlalu, tanpa Minho, sepi sekali rasanya. Dan keadaannya kian memburuk saja.

Leukimia yang dideritanya, membuatnya selalu berpikir 'apakah hari ini adalah hari kematiannya' setiap hari.

Sejak dipastikan dirinya mengidap kanker darah yang satu ini di usianya yang masih remaja, Jeongin sudah belajar untuk menjauh dari sosial. Ia tidak ingin pikiran-pikiran negatifnya tentang, seseorang yang mengidap kanker di masyarakat, menjadi nyata.

Ia pikir akan baik-baik saja. Tapi, kemudian, justru kian memburuk.

Sampai semesta membawa Minho masuk ke dalam hidupnya. Ketakutan akan kematian itu berkurang begitu saja setiap kali ia menghabiskan waktu bersama Minho.

•Incest• [𝑙.𝑚ℎ//ℎ.ℎ𝑗] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang