23 : wrong

1.9K 281 32
                                    

Ceklek

Tidak ada niatan bagi Minho untuk melihat siapa yang masuk ke ruangannya. Kalau tanpa etika mengetuk, ya pasti Jisung- yang kini diikuti Seungmin di belakangnya.

Kedua orang yang sudah seperti tangan kanan Minho itu berjalan mendekati meja Minho. Jisung mengambil tempat di salah satu kursi sementara Seungmin tetap berdiri. Kalau Jisung kan sudah biasa, kalau dirinya? Bisa di cap bawahan tidak sopan. Apalagi ini masih jam kerja.

"Hyung,"

Minho hanya berdehem menanggapi panggilan Jisung. Ia sedang sibuk. Tau sendiri kerjaan Minho banyak.

"Pengacara ayah mu datang hari ini." Seungmin melanjutkan.

"So?"

Jisung melirik Seungmin. Keduanya menggeleng pelan dengan tanggapan Minho.

"Mereka ingin membicarakan warisan ayah mu."

"Baik kah membicarakan warisan saat kematiannya belum genap setahun? Kalian pasti tidak lupa, kapan pemakaman dilakukan." ujar Minho yang mengerti arah pembicaraan.

Kalau masalah warisan dibicarakan dengannya, pasti sebagian besar warisan jatuh ke tangannya. Beda lagi kalau pengacara membicarakan warisan dengan Hyunjin. Ia tidak akan komentar.

"Hyung, itu sudah sebulan lebih. Ayahmu, keluarga mu bukan orang sembarangan. Kalian orang berada, wajar kalau warisan dibahas tanpa menunggu waktu setahun." Jisung bersuara.

Minho menghela napas. Melirik Jisung, "Kalau begitu, bicarakan saja dengan Hyunjin. Siang ini aku ad-"

"Pertemuannya aku yang handle. Kau bisa mempercayai ku. Jadi temui saja pengacara ayahmu." putus Jisung yang tau betul Minho akan menggunakan jadwal padatnya sebagai alasan.

"Perusahaan ini milikmu sepenuhnya. Warisan juga sebagian besar ada di tangan mu. Aku pernah menyinggung itu."

"Bicarakan saja dengan Hyunjin. Katakan pada pengacaranya, tangan ku tidak mau menerima harta warisan. Lagi pula, aku sudah menghandle perusahaan, ya memang hanya sampai perusahaan kembali stabil."

"Hyung!"

"Jangan mengajakku debat, Han Jisung."

"Hyunjin tidak akan datang jika diri mu tidak." Seungmin menyela dan membuat atensi kedua orang di hadapannya tertuju padanya. "Kau sulung. Kakaknya. Ia merasa kau lebih berhak membicarakan hal ini ketimbang dirinya. Jika tidak mau menemui pengacara itu karena enggan, maka lakukan untuk Hyunjin."

Helaan napas lagi-lagi terdengar dari Minho. Ia melepaskan genggaman tangannya dari mouse komputer dan juga pulpen yang tadi di pegangnya. Punggungnya menyandar pada singgahsananya.

Menatap Seungmin dan mengisyaratkan kekasih Jisung itu untuk duduk.

"Apa aku perlu pergi agar Hyunjin bisa melakukan semuanya sendiri? Persetan dengan sulung dan bungsu. Dia juga darah daging ayah."

"Ah, orang ini susah sekali diajak kerjasama." kata Jisung seraya tertawa kecil tapi penuh kekesalan. Ia sedang tidak di mode bercanda. Serius.

Seungmin tidak menyerah. Jisung yang dilarang mengajak Minho debat, jadi ia saja yang menggantikan Jisung. Dan Jisung hanya menambahi beberapa kali.

Minho juga tidak mau kalah. Kata demi kata keluar dari bibirnya sebagai pertahanan prinsipnya.

Tapi, siapa sangka. Seungmin lebih handal berbicara dalam hal ini ketimbang Jisung. Ide bagus kalau memindahkan Seungmin jadi sekretarisnya. Mufakat dari perdebatan mereka ada di tangan Seungmin.

Karena akhirnya, mau tidak mau, Minho harus menerima kedatangan pengacara ayahnya dan mengobrol masalah warisan. Bersama Hyunjin juga pastinya.

Tenang, Minho tetap pada pendiriannya. Tidak menerima warisan dan mengopernya pada Hyunjin.

•Incest• [𝑙.𝑚ℎ//ℎ.ℎ𝑗] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang