Bagian 16

3K 469 42
                                    

Sejak dia menjawab pertanyaan Ayah Haechan mengenai nama orang tuanya, kakek Park terlihat gelisah. Dia melirik kearahnya diam-diam saat merasa Renjun tidak memperhatikan. Dia juga tidak menghabiskan makanannya dan segera kembali ke kamarnya.

"Haechan, nanti ke kamar kakek. Kita ngobrol sebentar." Pesannya sebelum benar-benar pergi dari ruang makan.

Sepertinya kehadiran Renjun membuat tekanan bagi kakek Park. Kilatan matanya terlihat takut padanya. Padahal Renjun ingin bertanya baik-baik nanti. Harapannya mungkin tidak dapat terwujud. Kalau dia memaksa pasti Haechan akan marah. Renjun perlu memutar otak.

Selain kakek Park, ada tatapan lain yang membuatnya terganggu. Lee Dongmin, adik kedua Haechan itu menatapnya tajam sambil bergantian memandang Haechan dan Seungyeon. Sebenarnya apa yang dipikirkan remaja enam belas tahun itu?

「 #ocean 」

"Ren, kamu jadi nggak? Katanya mau ada yang diomongin sama kakekku."

"Kan yang dipanggil cuma kamu?"

Tangan Renjun ditarik paksa oleh Haechan agar berdiri dari sofa di ruang keluarga yang sedari tadi dia duduki. "Kamu tungguin di depan kamar dulu. Nanti aku bilang ke kakek."

Renjun mengangguk dan mengikuti perintah Haechan. Tidak ada salahnya mencoba sekarang. Kalau kakek Park menolak bertemu dia bisa mengambil kesempatan lagi nanti.

Saat Renjun sedang menunggu Haechan sambil memperhatikan isi rumah, Dongmin menghampirinya. Sepertinya gen milik Ayah Youngho menurun ke Dongmin. Remaja itu lebih tinggi darinya padahal dia sudah merasa cukup tinggi.

"Huang Renjun?"

Renjun menaikkan sebelah alisnya. Kenapa anak ini tiba-tiba memanggil nama lengkapnya. "Iya?"


Dongmin terlihat memperhatikan sekitar. Menggigit bibir bagian atasnya dan berkata sambil melihat ke pintu kamar kakek park, "Gue tau ini gak sopan. Tapi gue harap, lo bisa jauhin abang gue buat kedepannya."

Renjun menyipitkan matanya. "Alasannya?"

"Pokoknya jangan deket-deket dia." Seru Dongmin sambil menggeleng. Lalu berlari pergi ke arah tangga untuk kembali ke kamarnya.

Sedangkan Renjun menghela nafasnya. Belum apa-apa dia sudah ditolak oleh adik Haechan. Pasti akan sulit untuk kedepannya. Meski sejujurnya, Renjun tidak memiliki gambaran masa depannya dengan Haechan.

Karena dia tidak bisa di darat dalam waktu lama. Dia harus bersyukur karena dapat bertahan hampir sebulan. Di saat seperti ini, Renjun lagi-lagi berharap kalau dia terlahir seperti Lucas dan Winwin. Rasa iri pada kedua kakaknya yang dia coba redam, perlahan timbul kembali sejak bertemu Haechan.

"Psst... Psst... Ren."

Begitu menolehkan kepala, matanya langsung disuguhi wajah Haechan. Dia harus melangkah mundur karena terkejut. Pintu kamar hanya terbuka sedikit. Cukup untuk kepala kecil Haechan.

"Ayo masuk. Kakek udah mau ngomong."

Pintu dibuka lebih lebar dan Renjun masuk ke kamar yang di dominasi warna putih itu. Haechan menepuk pundaknya dan pergi untuk duduk di kursi yang ada disana.

Pandangannya kini bertemu dengan mata sayu kakek Park. Laki-laki yang sudah berumur itu, tiba-tiba berlutut dihadapannya sambil memohon maaf.

Bukan hanya dia yang terkejut, tapi Haechan juga. Haechan langsung berdiri, menghampiri kakeknya dan memegang kedua pundak kakek Park agar bangkit.

"Maafkan aku. Aku tidak. Saat itu." Ucapan Kakek Park terputus-putus dan sesaat setelah itu dia menangis.

Renjun akhirnya ikut bersimpuh di lantai dan memegang tangan kakek Park. "Ayo berdiri. Kita bicarakan ini pelan-pelan."

Setelah kakek Park duduk di atas kasur, Renjun mengambil posisi berdiri dengan lutut di depannya. Tangannya menggenggam tangan yang sudah renta itu.

"Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tau kalau perbuatanku bisa membunuh seseorang saat itu."

Renjun mengangguk. Matanya melirik ke arah Haechan yang terlihat kebingungan. Dan kakek Park juga menyadari keadaan cucunya. Jadi dia menepuk bagian kasur kosong di sebelahnya, meminta agar Haechan duduk disana.

"Kamu bilang, Renjun udah pernah cerita ke kamu soal kakek yang ketemu ayahnya kan?" Pertanyaan retoris dari kakek Park, Haechan jawab dengan anggukan.

"Dulu waktu masih muda. Kakek dipaksa kerja. Soalnya gak ada uang buat sekolah. Adanya kerjaan ya cuma jadi nelayan, dapetnya juga gak seberapa. Sementara adik kakek dirumah ada tiga. Ibu kakek gak kerja ngurusin adik-adik. Ayah kakek juga kerjanya cuma jadi petani garam."

"Terus ada waktu dimana dapet ikan itu susah. Dapetnya dikit dan gak cukup buat makan enam orang di rumah. Akhirnya kakek coba pakai potasium."

"T-tapi kan potasium itu–" Haechan tidak dapat melanjutkan ucapannya. Renjun tadi bergerak menggenggam tangannya, meminta laki-laki yang lebih muda darinya itu untuk diam dan mendengarkan kisah kakek Park. Kini tangan Renjun dua-duanya penuh. Yang kanan menggenggam tangan kakek Park dan yang kiri tangan cucunya.

"Kakek tau itu racun. Tapi waktu itu kakek pikir gak papa, nelayan yang lain juga banyak yang pakai dan gak ada yang negur. Kalau aja kakek mikir akibatnya, pasti sekarang kakaknya Renjun masih ada."

Kakek Park menunduk penuh rasa bersalah. Haechan juga menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia jadi merasa aneh.

"Sejujurnya aku tidak peduli dengan kematian Xiaojun. Saat itu aku belum lahir dan tidak sempat mengenalnya. Jadi tidak perlu merasa bersalah padaku. Haechan juga. Jangan lihat aku begitu."

Kakek Park mengangguk dan menggenggam tangan kanan Renjun dengan kedua tangannya.

"Jadi? Apa yang mau kamu omongin?"

Renjun sempat ragu saat bibirnya sudah terbuka untuk berbicara. Haechan ada disini. Jadi dia harus memilih kata yang tidak membuatnya curiga.

"Waktu itu, pas ayahku nemuin kakek, dia nggak dateng sendirian kan? Bareng perempuan?" Jawaban yang didapatinya adalah anggukan.

"Warna ekornya abu-abu atau hijau?"

"Seinget kakek, abu-abu. Itu ibumu kan?"

Renjun menghela nafas lega. Lalu dia menggeleng, "Itu bukan ibuku. Itu ibunya Xiaojun. Ibuku berekor biru."

Kedua manusia itu terlihat bingung. Renjun terkekeh dan berkata, "Di kaum kami tidak ada yang namanya pernikahan. Adanya hanya hubungan untuk membuat keturunan. Banyak yang mengganti pasangan berkali-kali, itu hal biasa. Mungkin ada yang jatuh cinta sehingga terus bersama. Tapi itu sangat sedikit."

"Aku datang hanya ingin memastikan. Ibuku dan ibunya Xiaojun berbeda. Kakek benar yakin ekornya berwarna abu-abu kan?"

Kakek Park mengangguk yakin. "Iya. Dia juga yang su-"

"Aku tahu." Renjun memotong perkataan kakek Park sambil melirik ke arah Haechan. Haechan belum boleh tahu lebih dari ini.

Renjun berdiri dan melepaskan tangan kakek Park. Sementara tangan Haechan masih dia genggam.

"Terimakasih sudah mau berbicara denganku. Aku pikir kakek perlu istirahat setelah menangis seperti tadi." Kata Renjun.

"Haechan juga keluar ya, kek. Mau mandi. Nanti aku kesini lagi."

Haechan membalas genggaman Renjun dan menariknya keluar kamar. Begitu diluar, raut wajah Haechan berubah. "Kenapa gak bilang dulu?"

Renjun meringis, dia sudah membuat Haechan kesal. Sekitar kamar kakek Park memang sepi. Tapi masih ada kemungkinan akan ada orang yang datang. "Jangan disini Haechan. Kita ke kamar kamu aja dulu."

Haechan melepaskan genggaman tangannya pada Renjun dan berjalan lebih dulu. Akhirnya Renjun bukan berusaha membujuk kakek Park untuk berbicara padanya, tapi malah membujuk cucu imutnya yang sedang merajuk.

「 #ocean 」

— Luna☪

Ocean | RenhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang