part 9. Kunjungan Brian

5 1 0
                                    

Hari masih sangat pagi dengan kesejukan udara yang sangat terasa.
Di ufuk timur sang surya belum menampakkan berkas sinarnya.
Di belahan bumi pertiwi, cakrawala masih diliputi setengah kegelapan yang terbalut dalam nuansa hening sebagian insan.

Wanita itu telah melakukan sholat subuh setelah semalaman terlelap dalam tidur pulas yang berselancar dengan mimpi indahnya. Aura tenang seorang ibu terpancar dari wajah cantik miliknya.
Ia menyapa pagi dengan semangat asa yang memenuhi ruang hatinya. Dengan senandung kecil ia menyiapkan sarapan pagi untuk keempat pujaan hatinya.

"Morning, Mom!" Biyanka menyapa.
"Morning too, honey. Silvie membalas dengan senyum manisnya.
"Mmh ... harum,  Ma! Memang Mama buat sarapan apa, ya? kok seharum ini, lapar, Ma!" ucap Biyanka penasaran.
"Mama buat rendang ayam, biar makannya banyak dan kerja baktinya jadi semangat dan berenergi." Jawab Silvie.
Biyanka tersenyum mengingat rutinitas mereka setiap Sabtu. Bergotong royong melakukan dan membagi pekerjaan dalam rumah sehingga terasa ringan.

"Oh ... ya, Ma!  Om Brian ntar malam jadi nggak berkunjung ke rumah kita?"
Silvie mengangkat kedua bahu.
"Kalau nggak jadi, pasti dong Om Brian infokan!" jelas Silvie datar.
Biyanka mengangguk setuju ucapan Silvie.
"Adik-adik sudah bangun, belum?" Silvie mengalihkan percakapan mereka tentang kunjungan Brian.
"Belum kayaknya, Ma! Tadi sehabis sholat subuh, Jovanka tidur lagi. Nggak tau dengan dik Asti dan Resti.

Pukul 06.15, saat hidangan pagi telah tertata rapi, kelima Srikandi beda usia itu  mengelilingi meja makan dengan keakraban yang terjalin untuk menikmati menu sarapan.

Di sela-sela kenikmatan menyantap hidangan, si bungsu nyelutuk tiba-tiba.
"Ma ... ! ntar malam teman Mama, jadi berkunjung nggak?"
Sedikit kaget, Silvie dan Biyanka mendengar pertanyaan Jovanka.
Tapi Silvie cepat menguasai perasaan  sehingga suasana tetap tetkendali.

"Iya, jadi!  Adapun kalau nggak jadi, om Brian pasti beri kabar." Kalem Silvie menjawab pertanyaan si bungsu.
Nuansa samar terpanjar dari wajah cantik Jovanka.
...

Malam turun perlahan menyapa kesibukan setiap insan di belahan bumi yang menyambutnya. Gemerlap lampu   metropolitan menghiasi setiap sisi kota. Padatnya lalu lintas di jalan masih saja menjadi ciri khas kehidupan kota.

Sinar rembulan yang menerpa bumi seakan tak dapat menyaingi kerlap-kerlipnya lampu kota.
Brian melaju di antara padatnya kendaraan. Malam ini, pria itu begitu bersemangat. Saat yang dinantikan untuk berkunjung ke rumah Silvie akhirnya tiba juga.

Wajah Silvie bermain di pelupuk mata. Bertahun-tahun ia kehilangan kontak dengan wanita itu, tak sedikitpun kabar tentang dirinya. Akhirnya semesta mempertemukan mereka dalam sebuah insiden kecil.

"Silvie, apa kabar denganmu? akhirnya kita bertemu lagi!" batin Brian.
Tak sabar ia menyetir, ingin segera tiba di tujuan. Rumah Silvie.

Pukul 19.15. Fortuner hitam, milik Brian tiba di depan rumah Silvie. Seorang pria gagah turun. Kemeja warna maron, jeans hitam melekat pada tubuh atletis. Penampilan bak pria lajang, siapa sangkah duda beranak dua.

Tok, tok, tok, ragu Brian mengetok daun pintu. Daun pintu terbuka, seorang gadis cantik   berdiri di depan Brian dengan pandangan datar.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." suara sahutan membuat detak jantung pria duda itu tak karuan frekuensinya.
"Ibu Silvie, ada?
Jovanka memandang pria itu tanpa berkedip, membuat pria yang dipandang merasa salah tingkah.
"Om mencari Mama?"
"Iya, saya ingin bertemu dengan Ibu Silvie!" Ujar Brian menenangkan perasaannya.

Jovanka berlalu dari hadapan Brian. Gadis remaja itu ingin memberitahu Silvie tentang kedatangan seseorang.
"Ma ... ada yang cari tu ...!"
"Siapa?"
"Lihat sendiri dong!" Jovanka berlalu ke kamar. Ada rasa tak suka yang tercermin  pada wajah cantiknya.

Silvie beranjak dari duduk santainya di depan televisi. Ia melangkah keluar ruangan itu. Ia yakin yang dimaksud oleh Jovanka pastilah Brian. Beberapa hari kemarin, kabar rencana kunjungan Brian ke rumah mereka menjadi perbincangan viral bagi keempat putrinya.

"Assalamualaikum, Silvie!" Brian mengulang salam untuk wanita itu. Ada getar halus yang terasa, merambat dalam dada pria itu. Getar-getar yang pernah hadir beberapa tahun silam, saat dirinya mengutarakan rasa pada Silvie dalam balutan seragam putih abu-abu di belakang kelas Silvie.

"Wa'alaikumsalam, e ... Mas Brian! ayo masuk Mas." Ajak Silvie sedikit grogi.

Sejenak hening, tak ada cakap di antara mereka. Brian kehilangan konsep kata yang telah dipersiapkan sebelum berangkat. Demikian pula Silvie, wanita yang masih nampak cantik itu tak tahu bagaimana harus menyapa sang tamu.
Masing-masing tenggelam dalam ruang nostalgia yang terpendam sekian waktu silam.

Suasana beku ternetralisir ketika sosok cantik hadir membawa nampan berisi minuman teh hangat dan cemilan.

Biyanka menyapa Brian dengan senyum manisnya sambil meletakkan gelas minuman untuk pria itu kemudian untuk Silvie. Gadis itu tahu kalau sang Ibu pasti sedikit grogi dengan pertemuan ini.
Dengan keramahannya ia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Brian.

"Kenalkan, Om, saya Biyanka!"
"Saya, Brian."
Pria duda, ganteng itu membalas dengan senang. Setidaknya gadis cantik ini telah menyelamatkan dirinya dari suasana kaku yang tercipta.

"Iya, Om! saya tahu, Mama udah cerita kok!"
Sedikit kaget, Brian menoleh ke Silvie.
Wanita itu mengangguk kecil dengan senyum manisnya.
"Saya pamit ke dalam ya, Om!" ucap Biyanka.
"Sekalian nak!  tolong ajak adik-adik kenalan dengan Om Brian." Pinta Silvie.
"Baik, Ma." Balas Biyanka sopan.

Sepeninggal Biyanka ke dalam rumah, Brian mencoba menguasai suasana. Menenangkan getaran halus yang masih terasa di dada.

"Sil ...! Biyanka usia berapa sekarang?"
Tanya Brian memecah keheningan.
"Delapanbelas tahun, Mas!" ucap Silvie sedikit heran.
"Memang kenapa Mas, kok tanya usia Biyanka segala?" balas Silvie.

Pria itu hanya tersenyum dengan ucapan Silvie.
"Kok senyum-senyum Mas," protes Silvie penasaran. "Aneh." Tandasnya pelan.

Brian menatap Silvie datar, ada rona kerinduan yang terpendam dari wajah gantengnya. Silvie balas menatap dalam tanya di hati, kamu tahu apa tentang aku selama ini Mas?
Sejenak tatapan mereka beradu dalam sejuta tanya yang terpendam menanti jawab. Entah kapan.
Silvie membuang pandang ke balik tirai pintu yg menghubungkan ruang keluarga dan ruang tamu. Langkah empat dara mendekat perlahan.
Sulung muncul dari balik tirai di susul ketiga adiknya.

"Ayo, sini nak! kenalan dengan Om yang Mama cerita-in kemarin." Silvie mengajak ketiga anaknya. Pandangan wanita itu was-was terhadap si bungsu. Ia berharap Jovanka tidak menampilkan wajah ketusnya jika tidak suka sesuatu.

"Asti, Om!" Senyum manis tersungging dari bibir gadis itu.
"Resti, Om!" Menyusul yang ketiga dengan senyum manis pula.
"Jovanka," singkat dengan wajah datar tanpa senyum, tanpa embel-embel kata om dari bibir tipisnya.

"Terimakasih, nama Om, Brian!"
"Udah tahu, Om!" celetuk si bungsu tiba-tiba dengan wajah datar.
Silvie tak dapat berkata apa-apa, wanita itu berharap Brian tidak tersunggung dengan sikap Jovanka yang kurang bersahabat.

"Kalian cantik semua, seperti Mama kalian." Ujar Brian memuji paras mereka.
Keempat wanita cantik itu tersenyum, kecuali si bungsu.

Suasana dalam ruang tamu, menjadi ramai tanpa kebekuan seperti sebelumnya. Percakapan berlangsung akrab dengan ketiga anak dara Silvie, kecuali Jovanka yang sibuk bermain jari pada layar ponselnya. Remaja cantik itu tak peduli dengan sekelilingnya. Seakan memberi isyarat kalau dirinya tak respon dengan suasana yang ada. Sesekali Silvie mencuri pandang pada anak bungsunya. Kepekaan Brian, membaca suasana sikap Jovanka.

"Kalau anak Jo, udah kelas berapa nak?" Brian menyapa Jovanka.
Sejenak Jovanka menghentikan kegiatannya. Menoleh sejenak, masih dengan wajah tanpa ekspresi.

"Kelas tujuh, Om!"  jawab remaja itu kalem dengan menarik kedua ujung bibirnya sedikit ke arah pipi. Sehingga ada senyum samar yang nampak.
Brian merasa senang dengan balasan senyum samar dari Jovanka.

Pukul 21.30, Brian pamit pulang. Menghabiskan waktu dua jam lebih, sudah cukup bagi Brian beramah tamah dengan keempat anak Silvie.

Kepadatan lalu lintas di jalan masih terasa bagi Brian tapi ia tak ambil peduli. Hatinya merasa senang, berbunga-bunga. Pria itu santai menyetir dengan kecepatan yang standar.
Ada asa yang menggantung. Pertemuan selanjutnya dengan Silvie.

















KETIKA CINTA MEMILIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang