|20| Ketidak-pastian

871 125 11
                                    

.

.

.

|20|

Ketidak-pastian


Di pertemuan kedua kami, aku memutuskan untuk bertemu Fendi di kafetaria gedung kantornya. Kebetulan aku sedang berada di sekitar daerah tersebut untuk menemui salah satu orang tua murid yang ingin konsultasi. Perasaanku sedikit lega karena kali ini aku bisa datang tepat waktu dan menunggu lebih dulu di tempat janjian. Malahan, dia yang izin terlambat lima belas menit untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Aku sih tidak masalah, toh waktuku masih lama sampai dengan sore nanti giliran mengajar di kelas.

Saat aku masih menunduk dan sibuk men-scrool layar ponsel, entah sejak kapan dia berdiri di depanku sambil memegang nampan berisi soto dan jeruk hangat.

"Hai," sapanya menganggetkanku. Untung saja ponselku tidak merosot dan masuk piring ayam geprek.

Kepalaku terdongak cepat, "Ngagetin aja. Kamu sejak kapan ada disana?"

Ia hanya tersenyum tipis, lalu duduk berhadapan denganku.

"Kamu kayaknya serius banget liatin HP sampai nggak sadar."

"Umm... iya. Ini ada pesan dari bos."

"Soal kerjaan?"

Kepalaku terangguk, "sekalian mau nitip makan siang."

"Oh," ia bergumam lirih. "By the way, saya minta maaf soal kemarin."

"Hah? Minta maaf kenapa?" Aku kembali berkutat pada ponsel untuk membalas beberapa pesan dari orang tua murid. Tak bergeming.

"Karena kemarin saya terlalu mengkhawatirkan Dinda, saya sampai lupa buat nganterin kamu pulang."

Bahuku hanya terangkat sekilas tanda bahwa aku sama sekali tak mempermasalahkannya, sementara pandanganku masih fokus pada layar ponsel. Aku juga tak mengerti kenapa Mamanya Yesslin mendadak mengirimiku pesan tanpa jeda seperti ini, bertanya seputar prediksi nilai tes TOEFL dan IELTS untuk masuk kampus luar negeri.

"Nggak apa-apa. Aku paham, kok."

Hening beberapa saat. Dalam hati, aku sedikit heran mengapa Fendi tiba-tiba terdiam. Namun, aku mengabaikannya saja, karena lagi-lagi ada pesan masuk yang membuatku kembali mengurungkan niat makan siang.

Kali ini Bu Wintang yang mengirim pesan. Bertanya apakah nanti malam aku bisa datang atau tidak. Tentu saja aku menyanggupinya.

"Yi," panggilnya.

"Iya?"

"Bisa, nggak kalau makan ponselnya diletakin dulu? Makananmu nanti dingin."

Ada nada tegas pada perkataan Fendi. Setelah menekan tombol send, langsung kuletakan benda pipih itu di samping piring sesuai permintaannya. Memang bukan keinginanku jadi asyik sendiri membalasi pesan-pesan tersebut, tapi aku juga sedikit merasa bersalah kalau pria tersebut merasa diabaikan.

"Sorry. Aku juga heran kenapa tiba-tiba banyak yang ngirim pesan begini. Biasanya jarang, kok."

Laki-laki itu hanya mengangguk, kemudian mulai menyendok nasi dari dalam mangkok sotonya. Sementara aku juga kembali melanjutkan makan siang.

"Kamu senang sama kerjaanmu di PLS?" Fendi memulai pembicaraan di tengah suara sendok yang beradu.

"Senang."

Matchmaking! [Ganti Judul]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang