|22| Manifestasi

1.3K 136 41
                                    

.
.
.

|22|

Manifestasi

"Hehe, Damar baik banget ya, Yi. Gue dikasih meja ini buat hadiah rumah baru."

Mbak Sita menatap takjub meja warna putih berbentuk kotak dengan empat laci minimalis. Wajahnya berseri saat bagian atasnya menyala memancarkan cahaya begitu meja dipindah di ruangan yang lebih gelap. Nantinya, meja tersebut akan diletakkan di samping tempat tidur kalau kamarnya sudah layak ditempati.

Sebelum jam istirahat, Mbak Sita memintaku untuk pergi bersama mengunjungi bakal calon rumah barunya yang masih dalam tahap pembangunan. Memang masih separuh jadi, namun sudah tampak keindahannya.

Sejak dari luar, aku bisa merasakan suasana hangat yang terpancar dari rumah bergaya minimalis dengan warna dominan putih gading tersebut. Halaman luas dengan hamparan rerumputan hijau di salah satu sisi itu nantinya akan dijadikan taman. Meski begitu sudah ada beberapa ornamen-ornamen yang telah selesai dikerjakan seperti vertical garden, setapak bebatuan, kolam ikan yang masih setengah jadi dan gazebo kayu. Perpaduan tersebut seketika memberiku kesan rileks begitu membuka pagar.

Sementara Mbak Sita masih asyik memperhatikan tukang yang memasang eternit di kamar, aku berkeliling di dalam rumah yang masih kosong mlompong. Naik ke lantai atas lewat tangga yang sedikit melengkung dengan panjatan yang cukup lebar dan rendah. Tampak sekali dibangun dengan memperhatikan keselamatan si pemilik rumah.

Begitu mencapai lantai dua, aku langsung disambut dengan ruangan luas yang kemungkinan nantinya dijadikan ruang TV. Sementara di sisi kanan terdapat dua ruangan lain dengan pintu tertutup. Aku memandang sekitar, mengamati setiap sudut bangunan. Atap tinggi dan jendela-jendela lebar yang dirancang sedemikian rupa agar sinar matahari bisa masuk dengan baik ke dalam rumah. Hemat listrik, itu yang kupikirkan.

Aku cukup mengerti mengapa Mbak Sita sangat bersemangat tiap kali membahas seputar pembangunan rumah barunya. Karena, memang seperti inilah perwujudan rumah impian dia dan suaminya.

Ada banyak harapan yang mereka letakkan di sana.

Aku bergerak menuju balkon. Menempelkan punggung pada teralis kokoh sambil bersedekap.

Mendongak, kulihat area rooftop di atas.

"Ternyata disini..." Mbak Sita muncul, lalu menghampiriku.

"Kamar lo gimana jadinya?" tanyaku.

"Mau dipasang wallpaper, tapi kata gue nanti aja nunggu Mas Aydan kesini."

"Lah? Udah balik?"

"Udah. Bentar lagi kayaknya sampai sini buat bantuin gue nyiapin barbeque nanti malam. Lo mampir lagi ya?"

Kepalaku hanya terangguk-angguk mengerti, "Hm... oke."

"Ajak Fendi sekalian juga boleh," tambahnya disertai kekehan pelan. Sementara aku hanya mengulum senyum tanggung.

"Um, nggak bisa kayaknya."

"Kenapa?"

Aku mengendikkan bahu. Pada kenyataannya, diriku masih tidak siap bertemu dengannya lagi setelah percakapan kami kemarin.

.
.
.

"Kalau suamimu meminta kamu resign dan menjadi ibu rumah tangga, mau?"

Aku menatap bingung. "A-aku... nggak tahu."

"It seems you choose your job than your fams,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Matchmaking! [Ganti Judul]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang