|05| Jamu

1.5K 212 3
                                    

.
.
.

|05|

Jamu

"WHATT!? Hahahaha...jadi orang yang dulu nabrak lo itu kakaknya Dirga?" Rara tertawa. Menertawakan nasib ku yang entah mengapa sinetron sekali.

Pada pagi hari menjelang siang ini, kami menikmati makanan di Retro saat Rara tiba-tiba menelepon untuk memberikan undangan reuni. Aku menurut saja saat dia meminta bertemu di kafe milik Mbak Sita, toh sepanjang pagi hingga sore nanti tak ada kerjaan. Malamnya, baru kembali memberikan les pada Dirga. Iya, di beberapa minggu tertentu, --seperti menjelang ujian atau lomba-- Tante Wintang memintaku datang setiap hari.

Aku mengangguk, mengaduk-aduk milkshake yang sudah tidak dingin.

"Terus gimana? Dia lupa wajah lo?"

"Boro-boro! Seminggu ini saja, dia nyindir gue mulu!" aku merengut kesal, mengadukan semuanya pada Rara, sementara gadis itu malah kembali tertawa.

"Waktu gue ngasih coklat ke Dirga, dia bilang, 'kalau mau nyogok mahalan dikit, kek. Masa cuma coklat harga dua belas ribu'. Nyebelin gak tuh orang!?"

Rara tertawa semakin keras hingga beberapa pasang mata melirik ke arah kami. Segera saja kutepuk lengannya supaya tidak gila disini. Repot. Rumah sakitnya Tante Wintang masih jauh!

"Julid amat mulutnya!" komentarnya.

"Banget!"

"Kayaknya udah nasib lo deh terperangkap sama kakak beradik itu," sahut Rara lagi, tak bisa menghentikan tawa. "Tapi bersyukur atuh. Meskipun anaknya antagonis semua, keluarganya loyal banget, kan, sama lo?"

Aku mendesah pelan meski pada akhirnya mengiyakan. Entah nasib baik atau buruk yang dia maksud. Tapi, rasanya berat sekali menghadapi dua manusia yang bawaannya membuat orang naik darah.

"Lagian Damar gemes sih, lumayan buat cuci mata." sambungnya lagi. Praktis aku memutar bola mata.

"Gemes pala lo!"

"Dia udah punya pacar belum, Yi?" tanyanya lagi.

"Ngapain tanya-tanya?"

"Ish! Penasaran aja kali!"

"Ya, mana gue tahu," sinisku lalu menyesap minuman lagi.

Tiba-tiba aku teringat tentang pertemuan kami beberapa hari lalu. Tentang aku yang tidak sengaja menguping pembicaraan Damar dan...mungkin gebetannya itu. Setelahnya, kami jarang bertemu lagi. Hanya berpapasan saat malam hari. Itupun dia langsung masuk ke kamar tanpa menyapa atau basa-basi. Tante Wintang sempat menegur, namun akhirnya hanya memintaku memaklumi. Katanya, sejak patah hati, tingkahnya memang semakin dingin dan menyebalkan dengan semua wanita. Wah, aku jadi penasaran sosok mantan pacarnya dulu.

"Yang gue tahu dia punya mantan sih. Mantan terindah yang bikin susah move on."

Rara menahan tawa, "Sama kayak lo dong? Hahaha...mending pacaran aja kalian berdua."

Praktis aku melotot. "Dih!" aku begidik ngeri. "Nggak minat! Yang ada gue stres punya pacar kayak dia."

"Jilat ludah sendiri enak kayaknya."

"Gue confess pakai toa kalau kejadian!"

Rara terbahak mendengar responku, "Noted!"

Sementara aku hanya bisa mencebik.

"Terus perkembangan Dirga gimana?" Tanyanya lagi.

"Ya, nggak gimana-gimana sih. Sebenarnya Dirga itu cerdas. Memang kurang perhatian aja menurut gue. Lo bayangin aja di saat rumah lo rame tapi orang lain semua isinya. Papanya sibuk kerja, sementara mamanya hanya menemani dia belajar kurang dari dua jam, selebihnya kerja lagi. Selama ini gue jarang lihat Dirga keluar kamar. Mungkin dia merasa asing di rumahnya sendiri."

Matchmaking! [Ganti Judul]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang