Csc 0°

102 14 0
                                    

16.







Gio berjalan menyusuri koridor sendirian menuju kantin, dia sudah terlalu lapar sehabis mendengarkan ceramahan matematika di awal hari.

"Gio!!!" panggil Cellin dari belakang.

"Cellin? Ada apa?" tanya Gio.

"Gue mau nanya. Chika kemana ya? Kok dia nggak masuk sekolah? Soal nya tadi pas gue tanya sekretaris kelas, dia malah nyuruh gue tanya lo."

"Bukan nya lo sahabat nya Chika ya, kok lo nggak tau sih dia kemana?"

"Ya lo kan tau sendiri gimana kondisi gue sama Chika akhir-akhir ini!"

Gio tertawa sinis. "Lo ngeluh kayak gini lin seakan memperlihatkan bahwa lo nggak salah sama sekali. Gue cuman mau bilang sama lo, cinta boleh tapi jangan sampai lo perlakuin sahabat lo yang udah temanin lo dari dulu sampai sekarang seperti orang asing saat lo udah kenal cinta! Sahabat nggak bisa lo beli pake omong kosong," ujar Gio.

"Gue cuma bisa kasih saran. Perbaiki sebelum semuanya terlambat, Chika bukan tipe orang yang mudah memaafkan. Lo sadarkan kalau semenjak lo dekat sama Chiko waktu lo sama Chika semakin lo buat renggang, Chika nggak berubah tapi lo yang perlahan menjauh!" sambung Gio, kemudian pergi meninggalkan Cellin yang masih diam di tempat nya.






📚📚📚






"Chika, ayo!" ajak Naya.

Chika berdiri dari kursi tunggu rumah sakit, kemudian masuk ke dalam ruangan kemoterapi. Hari ini adalah hari pertama nya menjalankan kemoterapi, Chika mau sembuh jadi apapun itu akan dia lakukan.

Naya dan Denan hanya bisa menunggu putri nya di luar. Mereka juga akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Chika.

"Hai, om tante! Gimana keadaan Chika?" sapa Gio saat baru saja datang.

"Chika baru masuk ruangan kemo. Kamu dari sekolah yo? Nggak mau pulang dulu?" tanya Naya.

"Nggak usah tante. Gio mau nunggu Chika selesai kemo dulu," jawab Gio sambil duduk di kursi tunggu.

"Tante sama om Denan mau ke kantin rumah sakit dulu, sekalian beliin sesuatu buat Chika!" pamit Naya.

"Oh iya tante, nanti biar Gio aja yang jaga Chika disini!" jawab Gio.

Satu jam berlalu, Chika keluar dari ruangan kemo dengan bantuan kursi roda yang di dorong oleh suster.

"Udah selesai, sus?" tanya Gio.

"Sudah, minggu depan Chika boleh datang lagi!" ucap suster tersebut.

"Makasih ya sus," ujar Chika yang di angguki suster.

Gio mengambil alih kursi roda Chika, dan membawa nya keluar dari rumah sakit.

"Ayah sama bunda gue kemana yo?" tanya Chika.

"Tadi ke kantin rumah sakit. Bunda lo udah gue kasih tau kok, kalau kemo nya udah selesai. Kita di suruh pulang duluan aja," jawab Gio.

"Lo bawa mobil?" tanya Chika lagi.

"Iya, tadi dari sekolah langsung kesini. Ayo masuk!" suruh Gio saat sudah membukakan pintu mobil.

Setelah Chika masuk, baru Gio melipat kursi roda nya dan memasukkan nya ke dalam bagasi mobil. Lalu menuju rumah Chika.

Lima belas menit perjalanan, Chika dan Gio sudah sampai karena memang jarak rumah sakit dengan rumah Chika tidak terlalu jauh.

"Ayo!" ajak Gio sambil meraih tangan Chika.

"Yo! Gue masih sehat, nggak perlu pakai kursi roda elahh!!" keluh Chika saat Gio menyuruh nya duduk di atas kursi roda.

"Nggak usah banyak bacot deh chik," jawab Gio kemudian mendorong kursi roda untuk masuk ke dalam rumah.

"RENDII!!!!!!" teriak Gio saat masuk.

"Elah si monyet rusuh aja. Gimana kemo nya?" tanya Rendi yang datang dari dapur.

"Lancar kok, ren ambilin Gio minum dong!" suruh Chika.

"Lah ada tamu? Gue kirain nggak ada tadi," ujar Rendi sambil berjalan menuju dapur.

"Gue tandain lo, ren!" ucap Gio sedikit berteriak.

"Ini dia minum nya. Silahkan di minum tuan Gio," ujar Rendi sambil meletakkan gelas minuman di atas meja.

"Lo lebih cocok jadi pembantu di rumah ini ternyata ren," ejek Gio.

"Sialan!" umpat Rendi.

"Yo, tadi di sekolah ada PR nggak?" tanya Chika.

"Chik, lo sakit! Masih aja mikirin pelajaran," jawab Gio.

"Gue sehat yo!" bantah Chika.

"Ya terserah lo deh. Tapi gue nggak bakal ijinin lo mikirin pelajaran dulu!"

"Ya terus gue harus mikirin apa dong?"

"Pikirin kesembuhan lo Chika!!"

Chika menghembuskan nafas nya pasrah, percuma membantah Gio.

"Kalau gue mati nanti. Lo janji jangan nangis yah," pinta Chika tiba-tiba.

"Kan kan! Nggak usah bahas yang aneh-aneh deh chik, lo pasti bisa sembuh!!"

"Tapi gue pesimis yo."

"Nggak, lo pasti bisa sembuh!!" ucap Gio.

Entah apa yang Chika pikirkan tapi dia ragu kalau dia akan sembuh dari penyakit ini. Chika juga mau sembuh, tapi apa itu masih mungkin? Hari pertama kemo aja, rambut nya perlahan mulai rontok. Chika takut suatu saat kemoterapi ini tidak berhasil dan pada akhirnya dia akan meninggalkan semua keluarga nya, termasuk Gio dan teman-teman nya.

"Udah lah chik, jangan sedih gitu dong. Gue bakal ada terus kok di samping lo," ucap Gio mencoba menghibur Chika.

"Gue nggak sedih yo, gue cuman takut kalau semua ini bakal percuma!" jawab Chika.

"Udah deh dari pada lo mikir yang nggak-nggak, mending lo fokus dan semangat untuk sembuh. Lo masih punya gue dan keluarga chik, jadi gue minta sama lo untuk semangat!" pinta Gio.

Chika tersenyum menatap Gio. "Makasih ya yo!"

"Sama-sama!" jawab Gio sambil tersenyum.

"Ya udah kalau gitu gue pulang dulu. Nanti di cariin mama lagi gue," pamit Gio.

"Dih anak mami," cibir Chika.

"Oh jelas, gue kan anak kesayangan!" ucap Gio.

"Terserah lo deh. Ren, anterin Gio ke depan!" suruh Chika sedikit berteriak.

"Ya udah gue balik yah, jangan lupa minum obat. Bye!" kata Gio sambil mengusap kepala Chika pelan.

"Hati-hati!" teriak Chika.

"Ayo babu, silakan keluar!" usir Rendi.

"Yang sopan lo sama yang lebih tua!" ucap Gio.

"Iya deh kek, hati-hati ya. Bye!"

"Bye juga bocil!"

Setelah Gio pergi, baru lah Rendi menutup pintu rumah kemudian menghampiri Chika.

"Kak, udah makan? Gue baru banget lihat resep ayam goreng tadi di internet. Gue buatin ya?" tanya Rendi.

"Ya udah cepat buat, gue yang nilai!" jawab Chika.

Rendi langsung berlari ke dapur dengan semangat untuk segera memasak. Rendi memang suka memasak karena terlalu sering membantu bunda nya saat memasak.

Chika tersenyum, ternyata ini maksud Gio tadi. Masih banyak alasan untuk Chika bertahan hidup. Rendi yang akan selalu meminta nya mencoba masakan baru nya, masakan bunda di pagi dan malam hari, ocehan Ayah ketika Chika turun peringkat kelas, rayuan Rendi ketika ingin meminta Chika membantu nya mengerjakan tugas matematika, omelan bunda di pagi hari dan masih banyak lagi. Chika berharap semua itu bisa dia jadikan alasan untuk bertahan sejauh mungkin.















Tbc.

TRIGONOMETRI (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang