Tujuh

95 22 0
                                    

Rasa sakit akan setiap hari kita rasakan. Sebab, dengan hadirnya mereka dalam hidup kita setiap harinya, akan ada banyak hal tentang bagaimana kebahagiaan itu di dapatkan.

- Kirana Larissa -

Angkasa melepas penat setelah sedari tadi berkeliling mengantarkan pesanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angkasa melepas penat setelah sedari tadi berkeliling mengantarkan pesanan. Suhu dingin dari pendingin udara membuatnya terasa nyaman. Ekor matanya menatap jalanan kota Bandung yang cukup ramai dari balik kaca restoran. Naren datang sembari membawakan milkshake yang dipesan Angkasa. Gadis itu juga heran dengan pesanan Angkasa. Jarang sekali cowok itu memesan milkshake mengingat dirinya sangat menghemat pengeluarannya.

Naren meletakkan segelas milkshake itu di atas meja dekat tempat duduk Angkasa lalu duduk di hadapan cowok itu. Angkasa tersenyum sebagai bentuk terima kasihnya pada Naren kemudian mulai meneguk sedikit demi sedikit milkshakenya.

"Lo ada masalah apa, Sa? gue liat dari tadi lo murung mulu. Apalagi, sekarang tiba-tiba pingin pesen milkshake padahal setau gue lo paling hemat sama namanya pengeluaran, pasti lagi ada sesuatu yang buat lo begini, kan?"

"Gue gapapa kok, Ren. Kepingin aja tiba-tiba minum milkshake dari tempat kerja sendiri," jawab Angkasa sekenanya.

"Iyain dah, eh iya, nanti kata Miko ada beberapa pesenan yang harus dianterin. Si Yoga dari tadi nganterin dah banyak banget sampe sekarang belom balik. Paling tepar dia di tengah jalan. Lo bisa kan anterin pesenannya?"

Angkasa mengangguk. Cowok itu meneguk kembali milkshakenya. Tak lama kemudian ponsel miliknya bergetar. Saat dilihat nampak notifikasi pesan masuk dari nomor tidak dikenal yang kemarin menelponnya.

Naren menatap ekspresi wajah Angkasa yang terlihat bingung. Gadis itu mencoba memastikan keadaan Angkasa sekali lagi. Cowok itu menggeleng sembari memberikan kode dengan jemarinya berupa tanda ok sebagai penanda kalau dia baik-baik saja.

Meskipun Naren tahu, Angkasa sedang tidak baik-baik saja sekarang.

* * *

Angkasa memacu kendaraannya memasuki wilayah Dago. Kawasan ini memang sangat terkenal di kota Bandung sebagai pusat pariwisata, pendidikan juga hunian para kaum berada alias kaum elite. Selain Jalan Braga, Dago sendiri juga tak kalah terkenal dikarenakan tempat-tempat ikonik yang ada di sekitar sana seperti SMAN 5 yang sudah terkenal sampai dengan Gedung Sate yang menjadi maskot kota Bandung.

Perumahan-perumahan di wilayah ini bisa terbilang harganya lumayan fantastis. Angkasa yakin, ini masih jauh sekali dari harga sewa kost-kostannya. Bangunan ala Eropa bisa dibilang mendominasi beberapa bagian perumahan. Desainnya yang artistik dan pastinya berkualitas premium sudah tidak perlu diragukan lagi. Itu semua sudah menjadi tanda betapa mahalnya harga satu unitnya.

Angkasa menekan salah satu bel rumah dengan pagar berwarna putih. Sembari menunggu pembeli pizanya keluar dari rumah, Angkasa menyempatkan melirik sekitar perumahan. Ekor matanya menangkap seorang pria yang sedang memukuli anaknya dan sesekali sempat mencambukinya menggunakan sebuah gesper berwarna hitam.

Anak lelaki itu hanya bisa meringkuk di atas rerumputan halaman. Darah keluar sedikit demi sedikit dari bekas cambukan gesper tersebut. Ayah dari anak itu seakan tidak memiliki rasa iba sama sekali. Seakan-akan yang sedang dicambukinya adalah binatang peliharaannya.

Hati Angkasa sangat miris melihatnya. Kehidupan masa lalunya kembali teringat dalam kepalanya. Rasa ngilu dan perih di punggungnya juga terasa kuat. Angkasa bisa merasakan sentuhan gesper yang menyentuh permukaan kulitnya dan menyisakan bekas berwarna kemerahan.

"Ini hukuman kalo kamu gak nurut apa yang Ayah omongin, mau jadi apa kamu keluyuran sampai larut malam begini, hah!"

Angkasa kecil hanya meringkuk sembari berusaha menahan perih cambukan di tubuhnya. Ayahnya itu tak membiarkan Angkasa membela dirinya sepatah dua patah kata. Yang terdengar di telinga Angkasa hanya suara gesper yang berulang kali menyentuh kulit punggungnya.

Angkasa kecil benar-benar tak berdaya. Tubuhnya ambruk ke atas lantai teras. Energinya terkuras habis. Berbicara pun rasanya Angkasa sudah tak mampu. Ia terkulai lemas di atas lantai sembari menatap wajah Ayahnya yang samar-samar dan berubah gelap seketika.

"Mas, kok bengong sih?" seruan seorang wanita yang berdiri di hadapan Angkasa mengejutkannya.

Angkasa langsung merasa malu. Ketika membayangkan masa lalu memang membuat Angkasa jadi kurang fokus pada sekitarnya. Angkasa dengan segera menyerahkan piza pesanan pemilik rumah tersebut kemudian meminta maaf pada pelanggan tersebut atas kejadian tadi. Untungnya saja wanita tersebut memakluminya dan menerima permintaan maaf Angkasa. Dengan perasaan lega, Angkasa tersenyum dan berpamitan untuk mengantar pesanan lagi.

* * *

Angkasa kembali ke restoran setelah pesanan yang harus diantarnya sudah sampai ditangan konsumen. Cowok itu memutuskan duduk sejenak sembari melepas penatnya di bawah pendingin udara yang diletakkan dibagian atas dinding salah satu bangku restoran. Mr Smith yang kebetulan juga baru saja keluar dari ruangannya melihat Angkasa. Pria paruh baya itu lekas menghampirinya dan langsung saja duduk di salah satu kursi yang berada di hadapan Angkasa.

Jujur saja, Angkasa merasa nervous saat berada dekat dengan Mr Smith. Apalagi pertanyaan Beliau soal pengangkatan anak angkat belum Ia konfirmasi hingga saat ini. Ibarat mendaki, Angkasa belum bisa mencapai puncak gunungnya.

Baginya, kepercayaan itu adalah hal yang utama. Bukan hanya dirinya saja yang berkata demikian. Semua pun Ia rasa akan mengatakan hal yang sama dengannya.

Meskipun selama ini Angkasa dekat dengan Mr Smith, tetapi, permintaan tersebut membuat Angkasa dilema setengah mati. Ini bukanlah keputusan termudah baginya.

Baginya dekat juga bukan berarti Ia bisa sepenuhnya percaya dengan orang lain. Sifat setiap individu yang terkadang tak menentu ini juga yang menuntut Angkasa lebih berhati-hati dalam memilih orang yang hendak mengetahui kehidupannya lebih dalam.

"Semangat sekali kamu rupanya, apakah kamu letih?" Mr Smith membuka pembicaraan di antara mereka berdua.

Angkasa hanya mengangguk perlahan sembari tersenyum menutupi rasa canggungnya dari Mr Smith. Ia berharap agar Bosnya itu tidak bertanya kembali soal pengangkatan anak. Mr Smith masih terdiam memandangi pegawainya itu. Raut wajah Angkasa terbaca jelas oleh pria paruh baya itu terlihat cemas.

"Saya tahu kamu sedang kepikiran mengenai hal kemarin, tenang saja, kalau kamu masih ragu atau tidak mau pun tidak masalah, saya tidak akan memaksa kamu atau bahkan sampai memecat kamu, jadi tak perlu khawatir." Mr Smith sembari tersenyum lalu bangkit dari posisi duduknya menuju ke arah counter restoran.

"Mr, saya ingin memberikan jawaban dari pertanyaan yang Anda ajukan kemarin pada saya." Angkasa memberanikan dirinya. Benar saja, langkah kaki Mr Smith terhenti. Pria paruh baya itu berbalik dan menatap Angkasa yang diam terpaku.

"Mari, kita bicarakan di dalam ruangan saja," jawab Pria paruh baya itu dengan singkat pada Angkasa dan kembali berjalan ke arah ruangannya. Cowok itu membuntuti Mr Smith dari belakang.

Dari ekspresi wajahnya, Angkasa yakin bahwa ini adalah keputusan yang terbaik bagi hidupnya. Meskipun, rasa percayanya itu tak penuh, Ia sangat yakin pada takdir Tuhan untuknya kali ini.

TBC

Bojonegoro, 14 Agustus 2021

IMPERFECTUM [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang