Bahagian Tiga

12 5 0
                                    

Hanasta berjalan santai dikoridor sekolahnya yang masih sepi. Ya seperti biasanya, dia selalu datang terlampau pagi. Ia tak suka kebisingan dan setidaknya bisa melanjutkan tidurnya hingga bel berbunyi.

Tapi hari ini tak berjalan sesuai ekspetasinya, saat segerombolan pemuda dengan raut preman merangkul bahunya dan memberikan tatapan remeh padanya.

"Ku dengar ada anak baru dikelasmu? dia menjadi rekan sebangkumu? wow, akhirnya ada juga yang mau berteman dengan si buta sombong sepertimu." ujar pemuda yang sedikit lebih tinggi dari Hanasta.

Hanasta tak mengubrisnya, ia terus berjalan kedepan tanpa menoleh ke sumber suara.

"Ku kira kau hanya buta, ternyata kau bisu juga. Apa kau juga tuli? beraninya tak menggubris kami," pekik salah satu dari mereka yang tiba-tiba berada didepan dan membuat Hanasta menghentikan langkahnya.

"Untuk apa juga ku perdulikan kalian? buang-buang tenaga. Minggir, ku mau tidur." Hanasta sengaja menabrakkan bahunya kepada pemuda yang dihadapannya.

"Woah, mendapat keberanian dari mana kau berkata seperti itu? Lihat-lihat wajahnya, suram sekali. Tak ada tanda-tanda bahagia." Yang pasti gelak tawa dari mereka terdengar riuh seusai mengatakan hal itu.

Hanasta mendegus kesal, jika dia cukup tidur semalam rasanya mau langsung dilahap. Hanya saja, sekarang moodnya masih kurang baik.

Tanpa aba-aba sebuah hantaman mendarat dipipi kiri Hanasta. Tak tahu apa salahnya, yang jelas ini bukan pertama kalinya dia menjadi korban pembullyan. Karena tak ada keseimbangan, dia terkapar dilantai koridor. Kaca mata yang dipakainya juga terlempar jauh dari pandangannya.

"Jangan menjadi anak yang menyebalkan jika tak mau berurusan dengan kami," pekik salah satu dari mereka.

Helaan nafas berat terhembus dari diri Hanasta. Dia tak menyebalkan pun akan tetap berurusan dengan mereka. Memang sial, rasanya dia salah masuk sekolah. Harusnya masa remaja menyenangkan ini menjadi suram.

"Lakukan apa yang kau mau aku tak akan bergeming," jawab Hanasta dengan nada datar. benar-benar datar seolah tak ada lagi kehidupan.

"Baiklah, jika itu maumu." Hantaman demi hantaman terasa bertubi-tubi dalam tubuh pemuda satu ini. Tapi dia tetap mimilih diam. Melawan hanya membuang tenaga, karena ini sudah makanan setiap harinya. Mereka akan terus menganggunya dan tak akan melepaskannya.

"HAI! APA KALIAN TAK PUNYA PERASAAN?!" teriakkan itu membuat para pemuda menghentikan aktivitasnya.

"Kau anak barunya ya? Tampan juga, siapa namamu? Ingin bergabung dengan kami?" tawar salah satu pemuda yang mendekat kearah Gatra.

"Tak perlu makasih. Aku tak mau masa depanku hancur karena skandal di masa muda. Aku memang bukan dari keluarga kaya seperti kalian. Namun aku punya cita-cita untuk menjadi membanggakan dari pada menjadi penduduk jahanam." Gatra menjawab dengan raut seriusnya.

"Apa maksudmu? Kau ingin seperti dia?" Si ketua kini naik pitam.

"Kau pikir aku bodoh, lakukan saja jika mau. Tapi jangan lupakan jika ada kamera diatas sana yang merekam semuanya. Dan jika orang tua kalian menyuap dan mengapus rekamannya, buktiku sudah valid untuk menjebloskan kalian ke penjara. Itu bahkan bisa menyangkut semua orang-orang yang terlibat. Sampai sini masih ingin menganggunya?" Raut seriusnya kini berubah menjadi raut licik yang pastinya membuatnya semakin naik pitam.

"Ahahaha, ancamanmu tak berguna anak muda," sang ketua kembali menjawab dan kini dia mencengkram bahu Gatra.

"Akan berguna jika ku sebarkan bahwa kau si anak kurang perhatian yang dilahirkan diluar pernikahan. Dan jangan lupa, ayahmu seorang koruptor. Haha, aku bisa saja tetap bungkam. Namun jika kau terus melancarkan sikapmu yang kekanak-kanakan bisa saja ku sebar." Final Gatra yang berhasil membuat pemuda dihadapannya terbungkam.

Smirk dibibir manisnya tak hilang sampai dia membawa Hanasta pergi dari hadapan para pemuda yang kini sedang memaku keheranan.

...

Gemercik air juga susunan bunga yang semerbak wanginya tak dapat terhindarkan menghiasi tempat itu. Entah kapan Gatra menemukan tempat itu, yang pasti tempat itu bisa menjadi peristirahatan karena keadaanya yang menenangkan.

"Mengapa kau tak melawannya? nyaris saja kau mati ditangan mereka," tanya Gatra yang ingin mengobati luka Hanasta lalu langsung ditepis oleh sang memilik luka.

Helaan nafas berat terhembus dalam diri pemuda yang sekarang enam belas tahun itu. "Aku lelah melawannya. Dan untuk apa juga aku memberikan perlawanan jika akhirnya mereka semakin menjadi mengangguku. Aku tahu, sekejam apapun mereka tak akan menganggu sampai menghabisi nyawanya. Dan jika mereka membuatku kehilangan nyawa. Itu bukan salahnya, tapi waktuku didunia telah usai."

Ini kejadian langka, Hanasta berkata lebih dari satu kata. Gatra merasa lega dengan rekan sebangkunya yang akhirnya mau membuka suara. Tapi khawatir jika Hanasta benar-benar pasrah pada hidupnya. Ya biar bagaimanapun dia satu-satunya sahabat Gatra.

"Tuhan memang ciptakan takdir tapi Tuhan tak melarang jika ingin mengubah alur hidupmu. Hidupmu masih panjang, kau jangan terlalu pasrah seperti itu. Jangan lupa juga, banyak orang yang menyayangimu. Dunia memang kadang tak adil tapi dibalik itu banyak pengajaran yang kau dapat. Boleh ku obati lukamu?" ucap Gatra.

Hanasta menoleh dan menatap Gatra dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian hanya memberikan anggukan singkat untuk merespon pertanyaan pemuda dihadapannya.

"Ku kira mini pack P3K ini tak akan ada gunanya. Ternyata benar kata bunda, suatu saat benda kecil ini berguna untuk mengobati luka. Oh iya, kau tak mau memperkenalkan dirimu?" ucap Gatra.

"Aku yakin Hano sudah memberitahumu. Apa perlu ku ulangi lagi?" tanya Anas.

"Tentu saja. Aku mau tahu langsung dari dirimu. Kau cukup memperkenalkan diri, berjabat tangan denganku dan kita akan bersahabat," jawab Gatra dengan senyum dibibirnya.

"Sahabat? Tak perlu. Aku tak membutuhkannya," pekik Hanasta.

"Kenapa?" Gatra kembali bertanya.

"Bukan urusanmu." Final Hanasta yang membuat Gatra terheran.

"Tak apa. Aku bisa menjadi temanmu. Ayo perkenalkan dirimu," ucap Gatra.

"Oke. Namaku Peterrion Hanasta. Semua orang memanggilku si buta menyebalkan. Padahal aku tak buta hanya buta warna," Hanasta memperkenalkan dirinya dengan menatap kosong kedepan.

°°°°°°

RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang