"Lihat! si pembunuh masih berani melangkahkan kakinya disini. Apakah dia tak punya malu?"
Paginya menjadi suram saat mendengar cibiran yang terlontar. Apakah semesta tak bisa membuat hidupnya tenang? Setiap harinya selalu saja ada yang menganggu.
"Hey! kau tahu? selain pembunuh, ibunya juga perebut suami orang. Dan Ayahnya meninggalkan anak kandungnya ke panti asuhan demi hidup dengan istri barunya. Tak bermoral, pantas saja anaknya jadi seperti ini." Cibiran kembali terdengar di telinga Hanasta.
Hanasta mencoba terus berjalan dan tak memperdulikan, dengan tangannya mengepal berusaha manahan emosinya. Namun, sepertinya semesta sedang tak ingin melepaskan Hanasta dari permainannya. Salah seorang remaja dan kawanannya menghadang langkahnya.
"Peter, kau tak melupakanku?" Tanya si pemuda yang kini dengan senyuman liciknya.
"Ar.. arsam?" Hanasta berkata lirih.
"Ternyata kau tak melupakanku. Kau terkejut sekarang karena ku masih hidup? Kau tahu Peter, perlakuanmu terhadapku dulu kejam sekali. Hampir saja aku mati karenamu," pekik pemuda bernama Arsam sembari menangkup rahang Hanasta.
Tubuh Hanasta mulai bergetar. Siapapun tolong selamatkan dia. Bertahun-tahun dia menghindari pemuda itu mengapa sekarang dipertemukannya lagi. Hancur sudah hidupnya.
"Ma. . maksudmu apa?" Hanasta mecoba menepis tangan Arsam dari rahangnya.
"Apa kau lupa Sam? bukankah dulu kau yang salah sasaran? Kau yang berencana untuk membunuhku. Dan tanpa kau pikir, Hano yang menjadi sasaranmu. Jangan menutup mata atas dosamu! Disini kau pembunuh yang sebenarnya!" Pekik Hanasta yang kini sudah naik pitam.
Arsam menyergai, menatap Hanasta remeh.
"Pembunuh tetap saja pembunuh. Kau dan aku sama saja," Jawab Arsam dengan mudahnya.
"Lantas mengapa kau merasa yang paling tersakiti? Jangan mentang-mentang kau bergaul dengan mereka kau merasa paling hebat. Hei setan, kau sudah banyak mengangguku dimasa lalu. Apa kau kembali untuk mengangguku lagi?" Ucap Hanasta yang sudah tak bisa lagi menahan emosinya.
"Kau pintar sekali Peterrion Hanasta," jawab Arsam dengan smirk yang tak hilang.
"Dan maksud kalian apa tentang keluargaku? Kalian boleh sepuasnya menyiksaku tapi jangan bawa-bawa orang tuaku juga. Mau kalian apa sebenarnya?" ucap Hanasta melirih.
"PEMBUNUH SEPERTIMU TAK PANTAS HIDUP BAHAGIA!" Seru salah satu kawanannya sembari melayangkan tangannya hendak memukul Hanasta.
Hanasta menutup kedua telinganya. Dengan keringat digin juga badan yang bergetar serta wajah yang merah padam karena ketakutan. Dia mulai histeris, seolah sedang kerasukan. "AKU BUKAN PEMBUNUH!! BUKAN AKU BUKAN PEMBUNUH JANGAN SAKITI AKU!!"
Tak hanya air matanya yang mengalir, kini isakan juga terdengar dari dirinya. Ini benar-benar pertama kalinya bagi mereka melihat Hanasta yang tampak histeris seperti ini.
...
Tiga hari berselang pasca kejadian, Hanasta masih terlarut pada traumanya. Pandangannya yang kosong, susah diajak komunikasi dan nafsu makan berkurang. Rehano merasa kasihan melihat kembarannya yang tampak menderita seperti ini.
"Nana," panggilnya lirih.
Hanasta hanya menolehkan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah kata lalu kembali ke posisi sebelumnya. Helaan nafas dalam terulun dalam diri Hano. Mengapa hidup kakaknya bisa seberat ini?
"Pembunuh sepertiku tak pantas hidup ya Han? Mengapa Tuhan tak menjemputku saja? Dunia sangat tak adil. . kau selalu tampak bahagia sedangkan aku sebaliknya," ujar Hanasta dengan tatapan kosongnya.
Mata Hano pastinya sudah berkaca-kaca saat perkataan itu keluar dari mulut saudara kembarnya. Tuhan ciptakan takdir berbeda untuk setiap umatnya. Permainan semesta juga tak kalah menyebalkannya, namun pada akhirnya bukankah kita bisa mencapai bahagia? Ya. . walau hanya bersifat sementara.
"Hei, apa maksudmu? Kamu bukan pembunuh," pekik Hano dengan langsung memeluk Hanasta.
"Katakan padaku, siapa yang membuatmu seperti ini?" Rehano melepaskan peluknya dan menangkup pipi Hanasta.
Hanasta hanya diam. Tak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya. Tak lama, isakkan terdengar dari keduanya dan mereka kembali mengeratkan pelukannya.
Setelah puas menangis bersama, Hano menatap Hanasta dengan raut seriusnya. "Jika kau tak mau mengatakannya, aku yang akan mencari tahu sendiri. Tak perduli apapun resikonya. Aku tak mau Hanaku terus tersakiti. Percaya padaku, jangan merasa sendiri ada aku disini."
°°°°°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow
Fanfiction... "Pelangi itu indah Ri, meskipun hadirnya sesaat tapi disaat yang tepat. Selayaknya harsa yang hadir setelah lara. Indah warnanya, aku mengangguminya. Berjanji ya, suatu saat kita bisa melihat pelangi yang indah ditempat ini." - Gatra Salendra. "...