Sore ini tak ada rona jingga yang tampak dilangit batavia. Yang ada hanya gumpalan awan hitam yang sebentar lagi siap menurunkan rintiknya.
Bel sekolah yang sudah berbunyi setengah jam lalu, kawasan sekolah juga sudah tak ada lagi tanda-tanda kehidupan manusia. Kecuali seorang pemuda yang sedang mendekap diri di halte depan sekolahnya, menanti bus yang akan mengangkutnya sampai rumah.
"Butuh tumpangan?" si pengendara dengan jaket hijau itu berhenti dihadapan pemuda yang sepertinya sekarang sedang kedinginan.
"Maaf tapi saya tak mengorder gojek," Jawabnya sembari menggosok-gosokkan lengannya seraya menghangatkan dirinya.
Si pengendara itu membuka helmnya dan tersenyum tipis pada pemuda itu. Tak dibalas senyumnya seperti biasa. Si pengendara itu memilih turun dari motor maticnya.
"Sudah petang, pemberhentian bus sudah berlalu sejak tadi. Kau tetap ingin berdiam disini? Sebentar lagi hujan, apa kau mau merasa lebih dingin?" Tawar si pengendara itu.
"Aku tak mau berhutang budi." Hanasta menjawab tanpa menatap lawan bicaranya.
Gatra mendegus pelan dan memutar bola matanya. Sepertinya hati rekan sebangkunya ini sudah terkutuk menjadi batu. Sangat keras. "Jangan pikirkan balas budi itu. Ini sudah sore, tak ada lagi angkutan yang lewat. Sudah baik hati ya aku menawarkanmu tumpangan. Jika memang tak mau tak apa. Tapi aku menghawatirkanmu."
Hanasta menatap lawan bicaranya. Kembali dengan tatapan yang tak bisa diartikan seperti saat itu. Jika dipikir benar juga, sudah petang tak ada lagi angkutan.
Gatra membongkar isi tasnya lalu mengeluarkan jaket parasut dan memakainya pada Hanasta. "Pakai saja, ayo segera pulang. Agar tidak keburu hujan."
Untung saja Gatra cepat melajukan kendaraan roda duanya. Mereka terjebak hujan tepat didepan rumah Hanasta. Tak apa, dia bisa berteduh dirumah kawan sebangkunya ini.
"Aku pulang," ucap Hanasta sembari membuka pintu rumahnya.
Wanita paruh baya dengan sumringah menyambut Hanasta juga temannya. Namun ada yang sedikit aneh dengannya, dia menatap lekat pemuda yang berada dibelakang putra sulungnya.
"Ka.. kamu Gatra?" tanya ibu Hanasta sembari meraba wajah sang pemilik nama.
"Anda mengenal saya? Bahkan ini kali pertama saya berkunjung kemari," Pekik Gatra dengan raut heranannya.
"Eum.. itu Hano pernah bercerita soal kawan baru Hanasta. Ayo masuk dulu," jawab sang wanita paruh baya itu.
Seolah ada kejanggalan yang Gatra rasakan. Tapi dia memilih untuk tidak mempermasalahkan. Dengan takjup Gatra mengamati sekeliling ruangan rumah temannya. Minimalis namun rapi. Masuk rumah ini rasanya mengingatkannya saat tinggal di panti dulu.
"Yoo Gatra," sapa Hano dengan berjalan mendekat kearahnya.
Gatra tersenyum tipis sembari menganggukkan kepalanya untuk merespon sapaan dari adik kawannya.
"Terimakasih." Semua menjadi terdiam dan menatap Hanasta. Benar-benar tak terduga.
"Ahh.. Sama-sama. Kalau perlu bantuan jangan sungkan untuk memintanya langsung padaku Ri," ucap Gatra.
"Ri?" Sahut Hano dan Anas.
"Eri. Lucu kan? hehe." Jujur Gatra merasa kikuk saat itu. Rasanya ingin menghilang saja dari dunia.
Hano dan Hanasta saling menukar pandangan. Tak lama tawa keduanya ikut pecah. Gatra semakin merasa kikuk juga terkejut. Dibandingkan disekolah, Hanasta tampak lebih ceria dirumah.
"Bagus bagus, makasih untuk namanya." Hanasta menepuk-nepuk bahu Gatra dengan senyum yang masih terpatri di bibir manisnya.
....
Tak ada bagaskara yang menyapa langit batavia pagi ini, rintik hujan turun dengan derasnya saat fajar mulai menyising. Dikarenakan hujan, jalanan terlihat kosong dan tak ada yang berlalu lalang. Untung saja Hanasta sedang dihari beruntungnya, dia berhasil mendapatkan angkutan yang akan mengantarnya.
Sepoi angin mengalir di balik jendela bus itu. Sejuk, namun juga dingin. Niatnya Hanasta ingin mengembalikan jaket yang di pinjamnya kini terpaksa ia pakai lagi. Tak apalah, setidaknya mengurangi rasa dingin yang menusuk sampai ketulang sum-sumnya.
Tak lama kemudian akhirnya dia sampai ditujuan. Sekolahnya yang masih sepi. Bahkan masih banyak ruangan yang masih terkunci. Seperti biasa, Hanasta menyantolkan Earphonenya ketelinga.
"Eri!" Panggil seseorang yang berhasil membuat anas menoleh.
"Hai Gat, Maaf ini jaketmu udah ku cuci kemarin tapi ku pakai lagi karena tadi dingin," ucap Hanasta.
"Ga papa, itu jaket memang buat kamu. Hehe, aku yakin kamu pasti menolaknya jadi ku pakaikan saja. Kau suka kan?" Seru Gatra.
Hanasta terkejut dengan pengakuan sahabatnya. Hei sejak kapan dia punya sahabat? Pastinya tempo hari sejak nama Eri menjadi panggilan untuknya. Hanasta menatap Gatra dengan berbinar lalu mengangguk pelan.
"Lucunya," pekik Gatra sembari mengacak-acak rambut Anas.
Hanasta menepis tangan Gatra yang mengusak kepalanya. Dia tak suka kepalanya disentuh orang. Namun kali ini bukan lagi raut menyeramkan yang diperlihatkan melainkan senyuman dibibir manisnya. Seusai itu mereka memutuskan untuk langsung menuju kekelasnya.
Beberapa jam berselang, bel istirhat berbunyi hingga keseluruh penjuru sekolah. Dan hujan yang deras yang menguyur pagi tadipun kini sudah reda.
"Eri, ayo ikut aku." Gatra menarik tangan Hanasta dengan paksa. Membawanya kesebuah tempat yang sudah pernah dikunjungi sebelumnya. Danau belakang sekolah, tempat yang beberapa hari lalu mereka datangi.
"Kenapa kesini? Ada apa?" Tanya Hanasta dengan raut herannya.
"Lihat ada pelangi Ri, indah sekali," pekik Gatra sambil menujuk langit.
"Aku buta warna tak tahu indahnya pelangi," sahut Hanasta dengan lesu lalu duduk di bangku yang ada ditepi danau.
"Tenang saja, suatu saat kau akan melihat betapa indahnya pelangi. Aku berjanji, ditempat ini Gatra dan Eri akan melihat pelangi." Gatra menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking milik Hanasta sembari tersenyum manis menatap keatas awan.
°°°°

KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow
Fanfiction... "Pelangi itu indah Ri, meskipun hadirnya sesaat tapi disaat yang tepat. Selayaknya harsa yang hadir setelah lara. Indah warnanya, aku mengangguminya. Berjanji ya, suatu saat kita bisa melihat pelangi yang indah ditempat ini." - Gatra Salendra. "...