Bahagian Enam

6 3 0
                                    

Batavia, Januari 2000

Deras hujan tak dapat terelakkan malam itu, dua orang lelaki berhasil berteduh disebuah gedung panti asuhan yang pastinya sudah cukup sepi malam itu. Anak lelaki berusia dua tahun tampak keheranan, mengapa ayahnya membawanya ketempat ini.

"Ayah, apa yang akan kita lakukan disini?" tanya anak berusia dua tahunan kepada ayahnya.

"Untuk sementara waktu kamu tinggal disini dulu ya, Ayah akan berkerja jauh. Ayah tak mau kamu lelah karena ikut ayah kemanapun. Kamu harus jadi anak yang baik, jangan nakal." ujar Sang Ayah sembari memegang bahu putranya.

Masih dengan raut herannya dan pastinya juga rasa takutnya. Dan tanpa sadar air matanya sudah mengalir  "Ayah pasti kembali 'kan? Ga ninggalin Gatra disini?"

"Tentu saja, Ayah pasti kembali dengan membawa banyak uang untukmu. Jadi anak yang baik ya, Gatra anak yang kuat. Ayah percaya itu," Sang Ayah menyakinkan putranya jika semua akan baik-baik saja tanpanya.

Gatra mengangguk dan kini senyuman terukir dibibir manisnya. Sang ayah mengetuk pintu panti asuhan itu. Lalu segera meninggalkan putranya ditempat itu.

"Sampai jumpa ayah.." ucap Gatra lirih menatap punggung ayahnya yang mulai menjauh.

......

Musim berganti dan waktu tak pernah terhenti. Empat belas tahun sudah si anak berusia dua tahun itu menunggu ayahnya kembali. Usianya kini tak lagi belia, pastinya sudah tumbuh menjadi seorang remaja. Dengan sifat bersahaja juga apa adanya.

Jangan lupakan, dia masih tetap menunggu. Bahkan sudah banyak pasutri yang ingin mengadopsinya sebagai buah hati. Entah semesta sedang bermain dengannya, atau memang ayahnya yang sengaja meninggalkannya karena tak sanggup menghidupinya.

Helaan nafas terulun dalam dirinya, sepoi angin berhasil meniup surai kecoklatan miliknya. Dan sebenarnya, hari ini tepat tanggal dua puluh lima, hari yang sangat dinantinya. Harap-harap, hadiahnya adalah sang ayah yang kembali menjemputnya. Dia yakin jika ayahnya pasti akan kembali.

"Kak Gatra, bunda memanggil dibawah." Gatra tersadar dari lamunan akan angan bertemu kembali dengan Ayahnya. Dia menoleh, lalu mengangguk pelan dan mengikuti langkah pemuda yang lebih muda dua tahun darinya.

"Ada apa Bunda?" Gatra memastikan jika benar-benar ada hal penting yang akan disampaikan oleh sang bunda. Iya, si pemilik panti yang mengasuhnya sejak lama dan ia suka dipanggil dengan sebutan bunda.

"Sudah dua tahun kamu menunda sekolahmu. Apa kau tak mau melanjutkan pendidikanmu?" tanya wanita paruh baya yang kini tengah duduk dishofa ruang tamu.

Gatra menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Tak perlu, sepertinya aku sudah cukup umur untuk berkerja. Bunda tak perlu mengkhawatirkanku. Aku berjanji akan berkerja untuk mencukupi biaya adik-adik semua."

"Kau tumbuh menjadi anak yang baik. Terimakasih banyak untuk itu, tapi maafkan bunda yang sepertinya banyak merepotkanmu. Jika kau benar ingin berkerja, ada seseorang yang membutuhkan jasamu." terang sang wanita itu.

"Jasa apa Bun? Apa yang harus ku kerjakan?" tanya Gatra sangat berantusias.

"Perkerjaan ini bisa saja berbahaya atau biasa saja jika kau menjalankannya. Selama ini, ku perhatikan instingmu sangat kuat. Dan kebetulan, mereka tak dikaruniai seorang putra yang akan melanjutkan generasinya. Jika kau berkenan, kau bisa tinggal dengan mereka." wanita itu kembali menjelaskan.

"Tapi Bunda, bagaimana jika ayah menjemputku dan aku sudah diadopsi oleh keluarga lain? bukankah itu melukai hatinya?" pekik Gatra lirih.

"Gatra, kau bisa bertemu dengan ayahmu melalui ini. Jika kau terus menunggu dan berdiam diri, dia tak akan datang sampai kapanpun. Sekarang sudah saatnya untuk kau yang menemukannya. Kau anak yang kuat, kau juga hebat. Bunda yakin kau bisa melakukannya. Dan dengan ini kau juga bisa melanjutkan pendidikanmu," terang sang Bunda.

"Benarkah Bun? Perkerjaan apa yang ku ambil?" Gatra kembali bertanya.

"Menjadi seorang putra dari keluarga agen rahasia."

Untuk pertama kalinya Gatra menapakkan kakinya disebuah rumah yang terbilang cukup megah. Netranya tak berhenti menatap sekitar yang tampak asri. Sejenak ia melupakan perkara janji dengan Ayah kandungnya. Dan bersyukur ada keluarga yang mau mengadopsinya meski usianya sudah tak lagi belia.

"Mulai sekarang kamu bisa panggil kami Ayah dan Bunda ya. Jangan sungkan dengan kami, anggap saja ini rumahmu sendiri dan kami orang tuamu," ujar lelaki paruh paya dengan senyum manisnya.

Gatra mengangguk dengan mata yang binar. Perasaan bahagia apa ini? Untuk pertama kalinya dia merasakan berada ditengah-tengah keluarga yang lengkap.

"Kami mengadopsimu bukan untuk hal cuma-cuma ya. Selain kami membutuhkan putra untuk menlanjutkan generasi kami, kami juga membutuhkanmu sebagai seorang agen intelegent. Jangan takut, perkerjaan itu menyenangkan. Ku dengar kau memiliki insting yang kuat, aku yakin ini bukan hal yang berat untuk kau lakukan." Lelaki paruh baya itu menerangkan akan tugas yang akan ditanggung oleh Gatra.

"Sebelumnya bunda juga sudah mengatakan ini. Baik tuan saya sanggup untuk melakukan tugas ini. Kata bunda, jika aku lihai dengan perkerjaan ini aku akan lebih mudah menemukan ayah kandungku. Benar katanya, diam menunggu tak akan membuahkan hasil. Kali ini biar aku yang bergerak mencarinya." Gatra dengan raut penuh keyakinannya.

"Jangan cangung seperti itu. Tak perlu menganggilku tuan, sekarang aku Ayahmu bukan majikanmu," Seru lelaki itu sembari terkekeh.

Gatra menggaruk canggung tengkuknya yang tak gatal. Lalu tersenyum tipis menatap dua sejoli yang kini menjadi orang tua angkatnya.

........

Bulir air matanya turun dengan derasnya saat mengetahui fakta bahwa ayah kandungnya kini sudah tiada. Dan wanita paruh baya yang ditemuinya hari ini adalah orang yang tak terduga. Dia adalah ibu dari sahabatnya sendiri. Dengan ini, apakah dia dan sahabatnya bersaudara?

"Jadi Eri dan Hano adikku?" tanyanya dengan keraguan.

Sang wanita itu mengangguk untuk merespon pemuda delapan belas tahun dihadapannya. Memang fakta ini sudah lama disembunyikan oleh suami wanita itu.

"Dan alasanmu berpisah karena tak mau menerimaku?" Gatra kembali bertanya dengan pertanyaan tak terduga.

"Bukan begitu. Aku hanya kecewa dengannya, bisa-bisanya dia merahasiakan ini hingga 14 tahun lamanya. Pastinya aku tidak keberataan jika harus merawatmu. Semua salahnya, dia yang membuangmu ditempat itu. Dan aku minta maaf atas ini," ucap si wanita paruh baya dengan menunduk.

"Nasi sudah menjadi bubur, bertahun-tahun ku menunggu ternyata ini fakta yang ku terima. Memang menyakitkan, tapi apa boleh buat? tak ada yang bisa disalahkan. Tak perlu minta maaf untuk permasalahan ini, ini sudah menjadi keputusannya dan takdirku. Kau cukup jaga anak-anakmu agar tak bernasib sama sepertiku. Mereka anak yang baik," terang Gatra.

Sang Wanita itu kembali mengangguk lalu mendekap erat pemuda dihadapannya. Dengan air mata haru yang kini sudah membasahi pipinya. Antara rasa bersalah juga bersyukur karena Gatra bisa tumbuh menjadi anak yang sebijak ini.

°°°°°

flashback : dicetak miring

RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang