Bahagian Satu

13 5 0
                                    

Senja batavia terpapar dengan suram sore ini. Derap lunglai langkahnya tak mampu lagi tertahan. Dengan seragam kusam serta luka lebam disekujur tubuhnya.

"Aku pulang" lirih suaranya sebelum dirinya ambruk tak sadarkan diri di ambang pintu.

Pemuda sebaya dengannya tergepoh menghampiri kakaknya yang sekarang tak berdaya dengan banyak luka lebam ditubuhnya. Menitah tubuhnya dengan susah payah dan merebahkan dalam biliknya.

"Nana, kenapa lagi si kamu?" gumam pemuda itu sembari menatap nanar kakak kembarnya.

Dia mencoba mengobati luka lebam di sekujur tubuh kakaknya. Helaan nafas panjang kini diambilnya karena tak tega melihat nasib kakaknya sekarang.

Perkenalkan, pemuda yang sekarang terkapar bernama Peterrion Hanasta. Si pemuda Akromasi yang kerab dibully karena tak bisa melihat indahnya warna. Selain itu, ia juga pisanthrophobia dimana ada rasa takut berlebihan untuk percaya dengan sesama manusia. Dan adik kembarnya bernama Rehano Jindra. Berbanding terbalik dengan sikap kakaknya. Berhati lembut dan bersahaja. Semua orang menyukainya.

Mungkin jika diibaratkan mereka berdua seperti Bulan dan Matahari. Matahari banyak disukai karena sinar cerahnya membuat semua orang bahagia dan Bulan yang menerangi gelap malam dengan pantulan cahaya sang surya. Tak ada yang lebih bagus antara keduanya. Semua sama aja, karena Tuhan ciptakan mereka setara.

...

Surya menembus ke celah jendela rumah Hanasta. Dia perlahan membuka matanya dan merasakan kaku disekujur tubuhnya. Dan ternyata adik kembarnya menemani tidurnya malam ini.

"Apa yang terjadi?" gumamnya sembari merubah posisi menjadi duduk sembari bersandar di ujung bangsal.

Dia menghela nafas dan segera bangkit dan meregangkan tubuh serta bersiap-siap untuk kembali bersekolah.

"Yakin mau sekolah? Tubuhmu ga sakit memang?" tanya wanita paruh baya yang sekarang sedang menyiapkan sarapan.

Anas menoleh dan tersenyum tipis sembari menggelengkan pelan kepalanya. Apa yang harus ditakutkan? Jika rasa sakit terus dimanjakan maka rasanya tak akan hilang. Anas tak suka dengan fakta seperti itu.

"Kamu tak ingin sarapan terlebih dahulu?" si wanita itu kembali bertanya pada anak sulungnya.

"Tak perlu. Ada urusan yang harus segera ku selesaikan," jawab Anas sebelum berlalu dari hadapan ibunya.

Masih terbilang cukup pagi. Tapi dengan keadaan begini dirinya merasa lebih tenang karena tak banyak kebisingan yang berlalu lalang. Setengah jam menempu perjalanan, ia tiba di gerbang sekolah tercintanya. Helaan nafasnya kembali terdengar. Ia harap semoga hari ini menyenangkan.

Dia tiba paling awal dikelasnya. Dengan keadaan yang masih sepi dan tenang, ia nyalakan earphone yang ia tempelkan ditelinganya. Alunan lagu yang nyaman membuatnya tak sadar jika sudah terpejam. 

"NANA!" Teriakan itu benar-benar menyebalkan. Siapa lagi jika bukan Hano yang melakukan. Benar-benar dirinya tak bisa membuat Anas tertidur tenang. Dengan malas Anas membuka matanya namun kepalanya masih tersadar ditembok dekat mejanya.

"Aku bukan Na Jaemin." Jawab tak acuh Hanasta dengan raut malasnya.

"Apasi Na? Aku hanya ingin memberikan bekal yang disiapkan langsung oleh Ibu. Dimakan pokoknya, jangan dibuang. Maka aku akan marah," pekiknya sebari memberikan kotak bekal dan langsung pergi dari hadapannya.

Hanasta menggelengkan pelan kepalanya, ada-ada saja tingkah adiknya ini. Bekal yang tadi diberikan kini ia simpan dilaci dan tak sempat melanjutkan tidurnya karena bel masuk sudah berbunyi.

"Halo, perkenalkan nama saya Gatra Salendra." Anak baru itu memperkenalkan diri. Tapi ada yang aneh dengan Anas, rasanya wajah anak itu sangat familiar bagi dirinya. Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?

°°°°°°
Vote dan commend jangan lupa.
see you 💓

RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang