⏭️

1.2K 162 13
                                    

Chapter 11

Should I watch until the end? Or should I leave now? What if there's a twist?

✴️

Terkadang beberapa hal memang tidak terjadi karena ada hal yang jauh lebih baik di baliknya. Seperti bagaimana konseling Jisung dan Chenle tidak dapat dilanjutkan karena Jisung tidak tega melihat Chenle yang terisak begitu pilu dan memutuskan untuk membawa pulang Chenle agar suaminya itu bisa lebih tenang.

Mereka tidak berbicara untuk tiga hari setelahnya. Jisung tidak ingin membuat Chenle tidak nyaman, jadi dia memutuskan untuk tetap diam. Bahkan jika diam-diam Chenle mengambil stempel milik Jisung dan membubuhkannya di surat perceraiannya, Jisung sama sekali tidak masalah. Yang terpenting Chenle merasa nyaman dan bahagia.

Selama tiga hari itu Jisung melakukan refleksi. Chenle berkata dia jenuh saat itu, Jisung pikir itu karena lelaki itu sudah tidak mencintainya lagi. Kemudian Chenle mengatakan bahwa dia merasa bersalah. Di sana Jisung berpikir mungkin Chenle sudah menemukan orang lain untuk menggantikannya. Air matanya sudah siap membasahi wajahnya setiap kali Jisung memikirkannya.

Hingga akhirnya, hari ini Chenle menghampirinya. Sebelumnya, Jisung sudah menyiapkan diri untuk tidak tumbang jika saja Chenle berkata dia siap mengirimkan semua berkas untuk perceraian mereka ke pengacaranya.

Jisung yang berada di sisi lain meja makan memandangi Chenle yang menunduk. Dia baru saja akan membuka mulutnya ketika tiba-tiba saja Chenle bersuara.

"Dokter bilang akan sulit bagiku untuk memiliki anak."

Butuh beberapa saat bagi Jisung untuk memproses apa yang dikatakan Chenle kepadanya. Begitu dia sudah bisa mencernanya, Jisung kembali berpikir. Apa ini penyebab Chenle bersikap dingin? Apa Chenle bermaksud untuk membuat Jisung jengah dan setuju untuk bercerai? Apa ini penyebab Chenle sedih? Karena mungkin mereka tidak bisa memiliki anak?

Jisung membuka mulutnya, tapi kemudian merasa takut untuk mengatakan apa pun. Dia takut menyakiti Chenle bahkan jika dia melakukannya dengan tidak sengaja. Jika ini Chenle tutupi untuk waktu yang cukup lama, pasti ini sangat serius dan sensitif untuknya.

"Aku tahu kau sangat menyukai anak-anak. Aku juga tahu seberapa besar keinginanmu untuk memiliki anak... karena itu aku menghindarimu..." Suara Chenle bergetar.

Jisung segera bangun dan mendekati Chenle untuk merengkuh suaminya ini ke dalam pelukannya dan memberikan usapan lembut di punggung Chenle.

"Kita mungkin tidak akan pernah memiliki anak, Jisung." Chenle berucap di tengah isak tangisnya.

Jisung menggeleng. "Tidak apa, tidak apa, sungguh."

Chenle menggeleng tegas. "A-ak... aku gagal."

"Hei, tatap aku." Jisung menjauhkan dirinya agar Chenle bisa menatapnya. Begitu tatapan mereka sudah terpaut dengan satu sama lain, Jisung menangkup pipi Chenle dan memberikan kecupan lembut di bibir pucat Chenle.

"Kau tidak gagal. Kau tidak gagal, Sayang. Tidak sama sekali." Jisung berucap setelah tautan mereka terputus.

"Tapi aku tahu kau menginginkan anak." Isakkan Chenle tidak mereda. Jisung kembali menggeleng dan memeluk Chenle dengan hati-hati, seolah Chenle bisa saja retak jika dia tidak menyentuhnya dengan lembut. "Yang terpenting adalah kau. Akan ada jalan lain untuk itu, tapi tidak ada jalan lain untuk mendapatkanmu. Aku tidak tahu harus bagaimana jika kehilanganmu." Jisung mengecup bahu Chenle. "Aku bahagia jika bersamamu, Chenle."

Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya Chenle bisa tenang. Jisung mengerti, ini adalah beban yang suaminya pendam untuk waktu yang cukup lama, tentu akan butuh waktu untuk menghilangkannya.

Chenle memeluk Jisung dengan erat, begitu pula dengan Jisung. Sudah lama mereka tidak berbagi pelukan, Jisung tidak ingin melepasnya.

"Jisung-ah,"

"Ada apa, Sayang?"

Chenle membenamkan wajahnya lebih dalam di bahu Jisung. "Jangan tinggalkan aku." Suara lelaki itu bergetar, mungkin karena harapan yang begitu besar berada di baliknya.

Jisung ikut membenamkan sebagian wajahnya di bahu Chenle. "Aku pikir kau yang akan meninggalkanku."

"Maafkan aku, Jisung," suara Chenle kembali bergetar hebat. "Kau berhak mendapatkan yang lebih baik."

"Sayang, yang menentukan apa yang baik untukku adalah aku dan seluruh bagian diriku mengatakan bahwa kau adalah yang terbaik untukku." Jisung memberikan sebuah kecupan di pucuk kepala Chenle sebelum menjauhkan dirinya untuk menatap Chenle.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, kecuali kau menginginkanku pergi." Jisung berkata penuh keseriusan. Matanya memancarkan keteguhan, dia benar-benar memegang ucapannya seperti hidupnya bergantung padanya.

Chenle menggeleng, "Aku mencintaimu, Jisung."

Kali ini sebuah senyuman menemani kata yang manis itu, memperlihatkan bahwa Chenle benar-benar memaksudkan apa yang diucapkannya. Jisung tidak lagi bertanya-tanya apakah Chenle benar-benar jujur mengatakannya karena kilauan di matanya berkata lebih lantang dari apa pun yang ada di dunia ini. Kilauan yang sebelumnya teredam oleh tekanan kini memancarkan cahayanya dengan berani.

Jisung melukiskan senyumnya untuk Chenle seraya meraih tangan Chenle dan menggenggamnya erat. "Aku juga, Sayang. Aku juga."





--
Berakhir deh sedih-sedihnya haha. Maaf yaa chapter-chapter sebelumnya sedih terus karna itu pelampiasan Z waktu lagi down 🙏

Tersisa satu chapter lagi 👍

Spoiler [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang