Part 11 - Spicy Sandwich

244 31 10
                                    

Bali, 2008

"Rey, bangun! Burung yang bangun pagi dapat cacing paling banyak!" Panggil Delina dari luar kamar Reyna. Gadis itu segera membuka matanya dengan malas. Ia melirik jam, baru pukul setengah tujuh pagi.

"Wait what..." Gumamnya heran dengan suara serak. Seingatnya sekolah baru dimulai satu minggu lagi. Ketika mematikan AC dan membuka jendela kamarnya, ia mendengar samar-samar suara orang mengobrol di teras.

"Ada siapa, Kak?" Tanya Reyna pada Edmund di dapur.
"I don't know. Temannya mama mungkin. Coffee?"
"No, thanks. Be a champion and make me a sandwich." Cengir Reyna sambil duduk dengan satu kaki terangkat di kursi. Ia mengelus-elus perutnya yang lapar dan menggaruk kepalanya yang gatal.
"No, thanks." Jawab Edmund cuek dan duduk di depannya. Reyna memandangnya dengan cemberut.

Setelah cuci muka, Reyna membuat sandwich sederhana dengan telur, tomat, selada, dan mayonnaise.
"Bagi dua ya." Cengir Edmund dari belakangnya.
"Oke."

Manusia tampan rupa, rasakan pembalasanku. Hohohoho!

From your author :
Ga bisa dibilang manusia buruk rupa, maap ya. Lha wong Edmundnya ganteng poll... Bahkan Reyna pun mengakui, beberapa saat lagi di Part ini.

Reyna menaruh banyak saus sambal di dalam sandwich itu tanpa sepenglihatan Edmund. Setahunya orang bule tidak kuat dengan rasa pedas.

Sebelum niat buruknya terlaksana, karma menghampiri gadis itu. Botol sambal yang ia pegang terjatuh ke lantai. Untung saja terbuat dari plastik. Reyna mengambil tisu untuk mengelap sebagian sambal yang terciprat keluar dari dalam botol.

Ketika sudah selesai, ia mendapati sandwich-nya sudah hilang separuh.
Dan bagian yang hilang itu milik Reyna, bagian yang tidak ada saus sambalnya sama sekali. Orang bodoh mana yang mau menyiksa perut sendiri dengan makan sambal di pagi hari.

"Delicious! Thanks!" Ujar Edmund polos. Gadis itu kehilangan kata-kata.

"Kenapa lagi?" Sapa Delina yang datang dari ruang tamu. Reyna mengomel sambil membersihkan sambal dari dalam rotinya dengan sendok.
"Rey, ada tante Laras lho."
"Oh ya? Di mana ma?"

"Morning!" Sapa sosok yang sudah dikenal Reyna sejak kecil.
"Halo tante! Udah sarapan belum?" Sapa Reyna.
"Udah. Eh, ini? Del? Ini Edmund?" Tanya Laras. Delina mengangguk. "Ya ampun udah gede banget! Masih inget tante ngga?"
"Halo tante. Maaf saya kurang ingat." Jawab Edmund sambil berdiri dan bersalaman dengan Laras.

"Hahaha! Logatnya dia lucu banget! Belum cocok ngomong lokal!" Cengir Reyna dari belakang.
"Waduh tingginya kamu nak..." puji Laras. "Mirip papanya banget ya Del..." sambungnya lagi. Delina hanya mengangguk sambil tersenyum.

Seketika Reyna berhenti mengunyah dan mengamati wajah Edmund dengan seksama.

Ia belum pernah melihat secara langsung sosok yang dimaksud tante Laras tadi. Reyna tidak bisa membayangkan ada sosok lain yang begitu mirip dengan Edmund. Setelah ia perhatikan lagi, ada beberapa bagian di wajah Edmund yang membuatnya terlihat seperti orang Eropa, bukan Amerika. Reyna bisa tahu karena sudah sehari-hari berpapasan dengan turis di sini.

Ganteng juga...

From your author :
Si tengil ini baru nyadar kalau yang sering dia ajak berkelahi itu ganteng.

Tatapannya tertangkap basah oleh Edmund. Dengan kecepatan kilat ia mengubahnya menjadi tatapan benci seperti sediakala dan mengunyah potongan roti terakhir dengan gaya beringas. Setelah itu ia bangun dan berjalan ke kamar. Meninggalkan ketiga orang itu mengobrol dan bernostalgia di dapur.

"What are your plans for the day?" Ujar Edmund tiba-tiba. Jantung Reyna nyaris berhenti karena kaget. Edmund mengekor sampai ke dalam kamarnya.
"Tidur. Kenapa?" Jawab Reyna cuek.

"Really? Burung yang tidak bangun pagi..."
"Ya jangan dibangunin! Mungkin dia lelah!" Potong Reyna sambil tertawa. Edmund terdengar sangat tidak pantas mengucapkan peribahasa dengan logat bule-nya. Ia melemparkan bantal kecil yang dengan sigap ditangkap oleh Edmund.

"Seriously. I want to renovate some small parts of the house. But I have no idea where to buy the supplies. Can you help me?" Ajak Edmund sambil duduk di tempat tidur Reyna.

Gadis itu bangun lagi dan mulai berpikir. Ia bisa memanfaatkan momen ini untuk mengecat ulang dinding kamarnya dengan warna lain untuk ganti suasana. Toh liburan masih ada seminggu lagi. Waktu ini bisa dia pakai buat dekorasi ulang kecil-kecilan. Reyna tidak sadar kalau Edmund sedang mengikuti pandangannya yang mengelilingi seluruh dinding kamar itu.

"With one condition." Ujar Reyna.
"I know. I'll help you paint your wall." Ujar Edmund sambil berdiri. "We'll leave in one hour." Tambahnya.
"Wait, how do you know that I want to paint the wall?" Tanya Reyna. Edmund hanya tertawa dan berlalu.

Ada banyak kosakata baru yang dipelajari Reyna siang itu dan Edmund mengajarinya dengan sabar. Mereka mendatangi beberapa toko yang menjual barang-barang yang di tulis Edmund di secarik kertas.

Ternyata tidak hanya kamar Reyna. Jika melihat jumlah cat yang dipesan Edmund, sepertinya ia ingin mengecat ulang seluruh dinding di rumah itu.
Jam setengah empat sore keduanya duduk di dalam Alfamart dekat rumah mereka sambil makan es krim.

"Kenapa tiba-tiba pengen renovasi rumah, Kak?" Tanya Reyna.
"Nothing special. I just think that our house needs some new colors."

Edmund benar. Selama ini Reyna belum pernah melihat ada bagian yang berubah di dalam rumah mereka. Semuanya karena ibunya sudah merawat rumah itu dengan baik sekali. Namun tak dipungkiri, ia sangat bersemangat menunggu pekerjaan mereka yang akan dimulai esok hari.

Semangat itu luntur, karena ternyata malamnya Edmund sudah menyuruhnya memindahkan ini dan itu untuk bersiap-siap.

"I hate him. More than I hate jengkol...hhh...and sayur lodeh. Hhh... More than I hate sambal botol...hhh...on my sandwiches. I hate him. With all my heart. Aannddd my soulll..." gumam Reyna dengan nafas terengah-engah sambil mendorong lemari kecil yang entah mengapa terasa begitu berat ke ujung ruangan.

"I can hear you." Sahut Edmund ringan sambil lewat.
"I talk loud so you can hear." Balas Reyna.

Ocehan Reyna terhenti oleh sesuatu yang tiba-tiba memasuki pikirannya. Ia baru saja sadar kalau siang tadi Edmund juga membeli banyak sekali perlengkapan keamanan rumah seperti CCTV dan sepertinya seluruh kunci dan gembok pintu juga akan diganti. Firasatnya tidak enak.

Setelah tersadar, ia segera mendatangi Edmund yang sedang berjongkok di pendopo di halaman rumah sambil menghitung jumlah kaleng cat dan barang-barang lain yang baru tiba. Suara gemuruh terdengar di langit yang sepertinya akan hujan. Udara terasa dingin malam itu.

"Udah dateng semua ya barangnya?" Tanya Reyna dari belakang. Edmund hanya mengangguk sambil memeriksa ulang isi daftarnya.

I have to ask him.

"Kak." Panggil Reyna pelan. Ia ikut berjongkok tepat di samping Edmund dan mendekap kedua lututnya.
"Hmm?"
"Aku mau tanya sesuatu, tapi jangan marah ya."
"What is it?" Sahut Edmund. Pandangannya masih fokus ke depan.

"Kakak sudah mau pulang ya? Maksudnya pulang ke..." Reyna tidak bisa meneruskan ucapannya. Ia takut menyinggung perasaan Edmund. Setelah dia ingat lagi, Edmund juga tidak membawa banyak pakaian waktu datang ke sini.

Pertanyaan itu membuat perhatian Edmund teralih. Ia baru sadar kalau Reyna sedang berjongkok sambil mendekap lutut di sebelahnya.

Si cerewet ini, tumben dia jadi sopan...

"Honestly, I don't know." Jawab Edmund sambil tersenyum ringan. Tangannya menarik kepala Reyna dan mengecup keningnya sekilas. "Now you look like a cute teenager when you're quiet. Come on, kita harus tutupi ini semua sebelum hujan turun." Ajak Edmund sambil menarik sebuah terpal berukuran besar.

"Ayo cepat masuk, sudah mau hujan lho!" Panggil Delina dari dalam rumah.
"In a minute!" Sahut keduanya bersamaan.

Little Dawn (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang