Part 4 - His Bad Dream

219 35 0
                                    

Sepulang dari membeli gaun dan berbagai keperluan lain, Delina mengajak Edmund dan Reyna singgah di sebuah cafe di dekat pantai. Ketika sedang menunggu pesanan datang, Reyna melihat dua orang sahabat karibnya di luar.
"Ma, sebentar ya. Di luar ada teman."
"Jangan lama, bentar lagi makanannya datang."
"Oke". Jawab Reyna sambil menjulurkan lidahnya dan menatap Edmund dengan pandangan mengejek. Yang diejek hanya diam saja tanpa ekspresi.

Pandangan Edmund mengikuti langkah kaki Reyna hingga berada di luar bersama dua orang gadis sebayanya. Sesekali anak itu tertawa riang sambil melompat-lompat kecil. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

"What was happened to her?" Tanya Edmund. Pandangannya masih tertuju pada arah yang sama.
"Orangtuanya meninggal karena kecelakaan mobil. Waktu itu umurnya baru dua tahun. Reyna juga ada di dalam mobil waktu itu. Dia selamat dalam pelukan mamanya."

Ucapan Delina terpotong oleh kedatangan seorang pelayan yang membawakan tiga gelas es teh manis dan makanan yang mereka pesan.

"Kamu ingat tante Laras? Sahabat baik mama. Dulu dia sering banget bawa kamu pulang ke rumahnya kalau mama lagi sibuk ngajar." Tanya Delina. Putranya geleng-geleng kepala.
"Kakaknya tante laras itu sahabat mamanya Reyna. Dia punya panti asuhan di Bali. Karena dia engga tega Reyna dibesarin di panti, dia minta tolong tante Laras cari orang yang mau rawat dan ngebesarin Reyna. Kebetulan mama sudah tinggal sendirian waktu itu. Jadi tante Laras nanya deh ke mama. Waktu mama lihat fotonya, mama langsung jatuh cinta."
"Does she knows?" Tanya Edmund.
"She knows." Jawab Delina.

Pandangan Edmund tertuju lagi ke luar.
"Dia enggak sengaja dengar obrolan mama sama tante Laras sekitar dua tahun yang lalu. Tadinya dia sempat diam selama beberapa hari. Mama tau dia pasti nangis di kamarnya. Mama serba salah juga. Masalahnya selain mendiang orangtuanya, anak itu engga punya keluarga lain yang bisa dikunjungi."

Edmund memberi isyarat agar ibunya berhenti bicara karena Reyna sudah kembali dari luar.
"Siapa nak?"
"Temen sekelas, Ma. Makanannya udah datang dari tadi?" Tanya Reyna sambil duduk. Edmund menjulurkan satu tangan dan menjitak kepalanya.
"Sudah dibilang jangan lama." Ujar Edmund cuek sambil mulai makan. Di depannya Reyna mulai mengomel dalam bahasa gaul yang belum begitu dipahaminya.

"Hmm...kenyangnya..." ujar Reyna sambil meletakkan gelasnya. Ia memutar kursinya ke arah sinar matahari yang mulai terbenam dan meluruskan kedua kakinya yang panjang sambil tersenyum."
"Anak perempuan habis makan kok duduknya gitu..." tegur Delina. Gadis itu membetulkan sedikit posisinya.
"Di New York ada sunset view begini juga, Kak?"
"Sekolah di mana sih? New York kan bukan Kutub Utara." Jawab Edmund.
"Tapi pasti lebih cantik di sini kan?"

She's right, this is way more beautiful...

Keesokan paginya

"Udah kelar lulurannya, Kanjeng Ratu?" Sapa Chris pada Reyna yang baru masuk ke dalam mobil pagi itu. Selain Chris, di dalam mobil sudah ada Viona dan Hadi. Mereka akan pergi ke mall mencari berbagai perlengkapan sekolah bersama-sama, sebelum petualangan di bangku SMA dimulai.

Tidak satupun dari mereka yang memiliki SIM. Tapi karena keempatnya sudah bisa mengemudi dan bertubuh tinggi, mereka sering diam-diam bergantian pergi dengan mobil.

"Rey? Itu siapa?" Tanya Viona sambil menunjuk ke arah teras rumah Reyna.
"Kakak ketemu gede." Jawab Reyna cuek.
"Hah?" Sahut Chris, Viona dan Hadi kompak dengan raut wajah kaget.

"Iya, kakak aku. Besar di Amerika. Baru beberapa hari pulang ke sini."
"Ooo...." balas ketiga teman Reyna lagi. Tidak ada satu orangpun yang bertanya lebih jauh karena sebagai sahabat terdekat, mereka sudah tahu latar belakang hidup Reyna.
"Enggak mau sekalian diajak jalan-jalan?" Tanya Chris. Reyna menggeleng sambil melihat ke arah rumahnya sebelum mobil mereka mulai melaju.

Little Dawn (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang