You have one scary big brother. He took all of your luggage from my apartment. Lol. Talk to you soon.
Reyna membaca pesan singkat dari Chris itu dan termangu. Ia baru saja mau masuk ke dalam lift untuk turun.
"What the..." gumamnya pelan. Baru saja hendak menghubungi sahabatnya itu, sebuah pesan kembali masuk.
Meet me at the main lobby. I mean, in the car.
Edmund menatap sosok perempuan yang berjalan cepat keluar dari dalam gedung. Ia baru menyadari betapa cepatnya waktu berlalu. Sosok periang dan apa adanya itu sudah berubah menjadi sedikit pemalu dan anggun. Sepertinya ia harus mulai membiasakan diri untuk bergaul selayaknya dua orang dewasa, bukan lagi dengan anak di bawah umur seperti sepuluh tahun yang lalu.
"What did you do to my bestfriend?" Tanya Reyna begitu duduk di dalam mobil. Entah karena tubuhnya lelah atau bukan, tapi ia baru menyadari betapa nyamannya mobil Edmund. Tanpa sungkan ia melepas kedua high heels dan langsung bersandar dan memejamkan mata. Edmund hanya diam menyaksikan itu dan tersenyum.
"I did nothing. Why do women like to torture themselves with heels?" Jawabnya sambil menyalakan mesin mobil.
"Cause they work at steel buildings, Mr. Hall, not at some paddy fields. They need to wear something sturdy to torture the buildings back." Jawab Reyna asal. Tentu saja ia harus berpakaian formal karena masih dalam masa pelatihan. Namun tadi ia sudah memperhatikan banyak sekali staff di divisi-nya yang memakai sepatu tanpa hak, bahkan sport shoes. Hal itu membuatnya sedikit merasa lega.
"I see." Balas Edmund.
"Well, where do you live, Boss?"Kedua bibir Reyna terbuka lebar begitu mobil mereka masuk ke dalam halaman sebuah apartemen mewah.
"Oh my Lord..." gumamnya.
"My Lord too..." balas Edmund sambil tersenyum.Kekaguman itu masih berlanjut hingga mereka naik ke dalam lift dan berhenti tepat di dalam apartemen Edmund. Setelah meletakkan sepatu, tas, dan mantelnya, Reyna mengikuti Edmund berjalan menuju dapur. Pria itu menuang air putih ke dalam dua buah gelas dan menyodorkan salah satunya untuk Reyna.
"Come on. Let's take a tour." Ajak Edmund tak lama kemudian."Lantai satu, ruang tamu, ruang baca, dapur, ruang makan, ruang kerja. Kau bisa keliling sepuasmu setelah ini. Ayo naik ke lantai dua."
"Kakak tinggal sendiri?" Tanya Reyna. Logat khas Bali yang masih terdengar dari bibirnya berhasil membuat Edmund merindukan ibu dan tanah kelahirannya walau hanya untuk beberapa saat.
"I have one housemaid. Her name is Elda. You'll meet her tomorrow morning. She'll be here everyday from 9 a.m until 6 p.m"Lantai dua memiliki dekorasi yang sangat indah. Tidak seperti lantai satu yang bernuansa dingin dengan lampu serba mewah. Lantai ini terlihat mirip dengan ruang kerja Edmund di kantor tadi. Hampir semua perabotan terbuat dari kayu dan berwarna cokelat tua maupun muda. Terasa hangat dengan lampu-lampu kecil dengan sinar keemasan temaram yang mengarahkan jalan ke setiap ruangan. Di berbagai sudut ada tanaman hidup yang sepertinya sengaja di pelihara agar udara dalam apartemen tetap segar.
Reyna tersadar akan sesuatu. Edmund tidak pernah benar-benar meninggalkan Bali. Ia justru membawa Bali bersamanya. Semua bisa terlihat dari kantor, dan kini juga gaya penataan di dalam apartemen-nya.
"I like your home." Puji Reyna pelan dengan nada sungguh-sungguh.
Edmund kembali mengusap kepala Reyna. Gerakan refleks yang sudah tiga kali dilakukannya hari ini, di luar kendalinya. Sedetik kemudian ia mengedip dengan cepat dan mulai menunjuk ke berbagai arah.
"My room. Your room. Guest room. Another guest room. And another guest room. Lantai tiga di atas, gym, billiard, mini theater, laundry, dan ruang untuk bersantai.
"Kenapa kamar kita bersebelahan?" Tanya Reyna sambil memasang wajah curiga.
"Supaya aku bisa mendengar kalau kau membawa seseorang diam-diam ke sini." Jawab Edmund asal. "Hanya kamar itu yang ukurannya sama besar dengan kamarku. Yang lainnya tidak terlalu." Tambahnya lagi.
"You have mini theater in here?" Tanya Reyna lagi.
"Yeah."
"Damn, life's good."
"Come on, we'll see your room.""Wow." Ujar Reyna melihat interior yang ada di dalam kamarnya. Tak hanya itu, selain kamar mandi pribadi, kamar itu juga memiliki ruang ganti berukuran besar dengan susunan lemari kayu berkaca yang cukup memuat seluruh pakaian dan sepatu milik empat hingga lima orang.
"Kak, pakaian siapa ini?" Tanya Reyna bingung karena sebagian besar lemari-lemari itu sudah terisi. Bahkan sampai ke deretan laci yang berisi pakaian dalam.
"Yours."
"Hah? How? I mean, why? And when did you...?""Let's go check the bathroom."
"Wait. How do you even know my size?" Tanya Reyna yang ikut berjalan di belakang. Sedetik kemudian hidungnya menabrak punggung Edmund yang tiba-tiba berhenti dan berbalik menghadapnya.
"I know your size, Rey. Jawab Edmund dengan senyum iseng dan pandangan yang menyapu Reyna sekilas dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"It's not funny."
"Relax, I have assistants. Almost for everything. Silly, I know. But what can I do? I'm a busy guy."Elda did great. Everything is here. Beritahu aku kalau kau memerlukan yang lain." Ujar Edmund sambil memeriksa barang-barang di kamar mandi yang juga membuat Reyna tertegun tanpa suara. Melihat itu, Edmund menarik tangannya dan mendorongnya duduk di tempat tidur. Setelah itu ia berjongkok dengan satu kaki depannya.
"Rey look, yes I'm rich. You have to accept that. I was born with money, and now I have to live with that. There's nothing I can do about it." Ujar Edmund. Pandangannya terlihat mengamati reaksi Reyna dengan sedikit khawatir.
"I'm sorry. I'm not saying this is bad or something. Just having a little heart attack. I should've been expecting this, ever since I saw your buildings. But still..." Jawab Reyna sambil tersenyum.
"A little bit too much?" Tanya Edmund. Reyna menyengir pelan sambil menghela napas."You can take a shower. I'll make us dinner."
"Okay."Setengah jam kemudian Reyna turun ke dapur dengan handuk masih terlilit di rambutnya yang basah. Ia memakai salah satu baju tidur baru yang ada di lemari pakaian. Karena terlalu lelah, ia putuskan untuk membongkar isi kopernya besok pagi saja. Wangi makanan membuat langkahnya menjadi lebih cepat.
"Hungry?" Tanya Edmund dari dapur. Reyna mengangguk. Ia tersenyum melihat bentuk handuk yang terlilit seperti es krim di kepala Reyna.
"You cook every night?"
"Not really. But just in case, you can always find something to cook in there." Tunjuk Edmund ke arah kulkas.
"In case of what?"
"In case I'm not here."
"Lho, memang Kakak mau ke mana?"
"Just in case, Rey."
"How about ice creams and snacks?"
"Always full." Jawab Edmund dengan senyum kekanakan.
"That's all I need." Balas Reyna.
"That's all you need? You don't need me? That hurts." Jawab Edward tidak percaya sambil meletakkan satu tangan tepat di jantungnya. Reyna tidak menggubrisnya dan pergi mengambil air minum.Malam itu Reyna tidak bisa tidur. Selain belum terbiasa dengan ukuran kamar yang besar, ia juga kerap terkejut dengan suara petir yang menggelegar meski hujan belum turun. Ketika akan menutup tirai jendela, ia baru sadar kalau kamarnya memiliki balkon. Begitu juga dengan kamar di sebelahnya.
Merasa bosan, Reyna turun ke lantai satu. Beberapa lampu sudah dimatikan. Setelah berkeliling beberapa saat, ia mengambil sebuah buku dari ruang baca milik Edmund, kemudian menyalakan sebuah lampu kecil di ruang tamu dan menyalakan TV.
"Can't sleep?" Tanya Edmund dari belakang beberapa saat kemudian. Reyna menoleh dan mengangguk.
"Books at 1 a.m? Seriously?"
"You have a better catch?"
"How about warm milk and caramel popcorn?"Edmund menuang susu hangat ke dalam gelas dan mengambil mangkuk besar untuk popcorn yang masih ada di dalam oven. Ia melirik Reyna yang kini sudah berbaring di sofa.
Terbayang dalam benak Edmund, betapa seisi gedung kantornya akan gempar jika tahu ia sedang membuatkan camilan tengah malam untuk seorang calon staf riset yang baru satu hari masuk kerja dan menderita insomnia.
"Rey, ini..." ucapan itu terpotong karena gadis itu kini sudah terlelap dengan posisi menyamping ke arah TV. Edmund mendekat dan berlutut di depannya. Ia memperhatikan wajah itu dari dekat untuk beberapa saat, lalu tersenyum. Setelah itu ia duduk di atas karpet dan membelakangi Reyna. Punggungnya bersandar pada sofa itu.
"Baiklah, aku yang akan menghabiskan ini semua. Ujarnya sambil mengunyah popcorn dan mengganti saluran TV. Di luar petir menggelegar sekali lagi dan hujan deras mulai turun. Edmund menoleh lagi ke belakang. Ia mengira Reyna akan terbangun, tapi nyatanya tidak. Wajah yang tertidur pulas itu bergerak menunduk, begitu dekat dengan punggungnya.
"It's really nice, having you here." Ujar pria itu pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dawn (On Going)
RomanceEdmund Hall (Ed), 26 tahun, sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia meninggalkan New York dan mencoba memulai semuanya dari awal di Bali, di rumah ibunya, wanita berdarah Indonesia yang berprofesi sebagai pengajar tari. Di sana Edmund men...