New York, Edmund's Office
"Suze, how many schedules do we have?" Tanya Shawn pada asistennya siang itu.
"Zero. You two are free for the rest of the day." Jawab Suze sambil tersenyum. Shawn mengangguk dan berjalan masuk ke dalam ruangannya. Setelah beberapa langkah ia berbalik lagi.
"Ah, hampir saja aku lupa. Hubungi HR, ada salah satu anak baru yang sedang mereka latih. Namanya Clareyna. Suruh mereka mengantar anak itu ke ruanganku."Shawn duduk di kursi kerjanya dan melonggarkan dasi serta membuka jas-nya. Ia baru saja selesai menemani bos yang sudah seperti kakak laki-lakinya dalam rapat yang berlangsung cukup alot. Ketika rapat berlangsung tadi, ia sempat menerima sebuah email yang berisi CV seseorang yang namanya baru ia dengar dari Edmund tadi pagi.
Ada sesuatu yang berbeda, pikir Shawn. Edmund belum pernah meminta Elda, asisten pribadinya, untuk menyiapkan kamar tidur untuk siapapun di apartemen mewah itu. Bahkan untuk Tara sekalipun. Kalaupun menginap, wanita itu selalu pulang pagi harinya.
Oleh karena itu ia ingin bertemu dengan wanita muda bernama Clareyna ini. Yang mengejutkan Shawn adalah latar belakang wanita itu. Ia lahir dan dibesarkan di Bali. Nama sebuah tempat yang tidak pernah dibicarakan oleh Edmund, walaupun Shawn tau kalau atasannya memiliki ikatan erat dengan tanah yang konon dianggap sakral itu.
Sementara itu beberapa lantai di bawah, Reyna melirik jam tangannya sambil menelan ludah. Ia merasa sangat haus. Hampir tiga jam ia dan enam belas orang karyawan baru yang lain duduk di dalam ruangan dingin tanpa bergerak sedikit pun. Ini adalah hari pertama mereka menerima training di sebuah perusahaan raksasa yang dilamarnya beberapa bulan lalu.
Reyna melamar di Divisi Riset dan Pengembangan Produk. Sebelum mulai bekerja full time, ia harus menempuh pelatihan selama satu bulan. Hari pertama ini dilaluinya dengan berkenalan pada banyak sekali orang termasuk para seniornya. Setelah itu disusul dengan beberapa pesan penyambutan, sebelum akhirnya mereka mulai menerima sejumlah materi terkait pekerjaan masing-masing.
Kelas pelatihan itu dibubarkan sementara ketika jam makan siang dan semua peserta diarahkan untuk makan siang bersama di cafeteria yang sudah disiapkan oleh perusahaan.
"Miss Clareyna? Please come with me." Sapa sebuah suara dari belakang Reyna yang baru saja selesai merapikan barangnya. Ia menoleh. Ada seorang wanita berpenampilan sangat rapi dan elegan sedang tersenyum padanya.
"Me?"
"Yes, Miss." Jawab wanita itu lagi.
"Where?"Pertanyaan itu tidak di jawab. Reyna mengikuti langkah wanita itu dan tak lama kemudian mereka berdua sudah berada di dalam lift. Ia mencoba menahan senyum ketika melihat tombol menuju lantai paling atas ditekan oleh wanita tadi.
Baru setengah jalan, lift itu berhenti di sebuah lantai dan pintunya terbuka. Seorang pria tinggi berpenampilan super rapi masuk dengan kepala menunduk. Pria itu fokus membaca sesuatu di layar handphone-nya.
Detak jantung Reyna terasa berhenti untuk sesaat. Ia menatap punggung yang sedang berdiri membelakanginya.
Ten years...
Pandangan Reyna masih mengikuti sosok yang berdiri di depannya tadi hingga mereka keluar dari dalam lift. Pria itu berjalan ke arah yang berbeda dengannya.
"Miss?" Panggil suara yang membuyarkan konsentrasi Reyna. Wanita yang membawanya tadi menyuruhnya masuk ke dalam sebuah ruangan. Ketika sudah berada di dalam, pintu ditutup dari luar. Kini di ruangan yang besar itu hanya ada dirinya dan seorang pria yang sedang fokus menulis sesuatu di meja kerjanya.
"Ah, Miss Clareyna! Wait a second..." sapa pria itu sambil meletakkan pulpennya lalu bangkit dan berjalan ke arahnya. Ia memberi isyarat agar Reyna duduk di sofa yang ada di depan mereka. Pria itu memiliki wajah yang hangat.
"My name is Shawn Hewitt. I'm..."
"I know you, Mr. Hewitt. Anda adalah tangan kanan dari Mr. Hall. Perkenalkan, nama saya Clareyna Senja." Ujar Reyna sambil tersenyum sopan.
"Just Shawn, please. How do you know?"
"From my mother." Jawab Reyna tenang.Wajah di depannya mulai menunjukkan reaksi bingung sekaligus terkejut.
"And your mother is?" Tanya Shawn dengan senyum yang terukir lucu di bibirnya.
"Delina Hall."Shawn memajukan posisi duduknya begitu mendengar nama itu.
"You are...?"
"I am complicated, Shawn." Ujar Reyna mencoba menjelaskan statusnya sesingkat mungkin. "And I'll really appreciate, if you don't tell anybody about this." Lanjut Reyna lagi dengan nada suara serendah mungkin.
"I see." Sahut Shawn. Ia berdiri dan berjalan ke arah meja kerjanya. "Sir, she's here." Ucapnya sambil menekan tombol interkom di atas meja. Setelah itu ia menoleh lagi pada Reyna. "Follow me. He's waiting for you."Reyna dibawa melewati sebuah lorong panjang berdinding coklat tua dan lampu bercahaya keemasan yang bersinar temaram sebelum tiba di sebuah ruangan dua pintu yang terlihat begitu mewah. Aroma kayu yang sangat menenangkan langsung tercium begitu Shawn membuka salah satu pintu dan menyuruh Reyna masuk. Lagi-lagi ia ditinggal begitu saja di ruangan yang belum dikenalnya.
Ruangan itu begitu luas, hampir empat kali lebih luas dibandingkan dengan ruangan Shawn tadi. Hampir semua dekorasinya bernuansa cokelat gelap. Ada sebuah rak buku yang sangat besar dan menjulang tinggi di salah satu sudut ruangan. Lengkap dengan beberapa buah sofa untuk bersantai dan meja di depannya. Di sudut yang lain, meja dan sofa dengan penampilan yang lebih formal. Juga sebuah mini bar dengan jejeran botol wine yang terlihat mahal di bawah lampu yang temaram.
Di tengah-tengah ruangan, sebuah meja dan kursi kerja disusun membelakangi cahaya matahari yang masuk dari dari jendela berukuran besar di belakangnya. Kursi kerja itu sedang diputar menghadap ke arah jendela.
Reyna bisa melihat ada seseorang sedang duduk di kursi itu. Dan ia bisa menebak kalau itu adalah sosok yang sama yang tadi ditemuinya di dalam lift.
Tak ingin mengganggu, Reyna melangkah nyaris tanpa suara mendekati rak buku besar di sudut ruangan dan mulai melihat-lihat isinya. Ada sebuah buku yang menarik perhatiannya, namun terletak cukup tinggi. Keseimbangannya nyaris hilang ketika mencoba meraih buku itu. Ia sudah mempersiapkan diri untuk jatuh, namun sesuatu menahan pinggangnya.
"Masih saja ceroboh seperti dulu." Sapa suara seorang pria dari belakangnya. Reyna berbalik untuk melihat wajah si pemilik suara. Belum sempat melihat, tubuhnya langsung di tarik ke dalam pelukan dan ia diam tak bergerak.
"Ten years. How are you?"
"I'm fine. Still trying hard to get fat. How are you?" Jawab Reyna. Kini kepalanya diusap-usap dari belakang. Tak lama kemudian pelukan itu dilepas.Reyna menarik sosok yang memeluknya tadi ke arah jendela. Kini matanya bisa melihat semuanya dengan lebih jelas. Sebuah senyuman terukir di bibirnya.
"You're old." Ujar Reyna. Pria tadi tersenyum dan menyentil keningnya.
"Kau sudah makan?"
"Belum."
"Let's go."
"Wait. Gimana kalau ada orang yang lihat?" Tanya Reyna panik.
"I have a private lift, there. It goes straight to my car." Tunjuk pria itu ke sudut ruangan dan mulai berjalan. Reyna tersenyum dan mengekor dari belakang."Kak Edmund?"
"Hmm?"
"It's really nice to see you."
"I miss you too, kiddo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dawn (On Going)
RomantizmEdmund Hall (Ed), 26 tahun, sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia meninggalkan New York dan mencoba memulai semuanya dari awal di Bali, di rumah ibunya, wanita berdarah Indonesia yang berprofesi sebagai pengajar tari. Di sana Edmund men...